48. Laboratorium Kontrol

3.2K 272 56
                                    

Gue putus sambungan video call tanpa pamit dan langsung beralih ke istri tersayang, "Kenapa nyebelin?"

Bulan mendengkus kesal. "Dosenku mau S3 ke Jerman bulan depan," katanya.

"Trus?" Gue bener-bener ngga ngerti, dosennya yang mau S3, Kenapa dia yang repot?

"Trus? Gimana TA-ku? Huhuhu," dia pura-pura nangis.

"Ya, diseleseinlah."

Dia noleh cepet sambil megangin lengan gue. "Temenin aku ke lab," pintanya penuh tekanan.

"Emang boleh?"

"Boleh, dong. Kenapa ngga?" keliatan banget maksa.

Dasar anak manja.

"Ayo, temenin," sekarang jadi merengek.

Hadeh, kuliah udah tinggal TA doang, gaya masih balita. Gue tutup laptop dan rapiin semua barang masuk ransel. Hari ini agendanya nemenin bidadari di kampus.

Orang-orang auto-ngeliatin begitu Bulan gandeng gue keluar area parkir. Baru tahu gimana rasanya jadi seleb. Jangan-jangan bentar lagi langsung muncul di suatu channel ghibah para degem.

Gedung kampus Teknik Elektro ini dibikin jauh lebih tinggi dari tanah, ngingetin ke rumah-rumah panggung yang ada di Sumatera atau Kalimantan. Jarak lantai dari tanah sekitar setengah meter, jadinya banyak mahasiswa yang duduk-duduk dengan kaki menjuntai santai.

Bulan ngajak naik tangga ke lantai atas, ngelewatin para mahasiswa yang ramai di selasar. "Nyantai aja, aku, kan, senior di sini." Emang sih, semua yang kebetulan ketemu pas tatapan pasti pada ngangguk atau ngasih senyum sambil sedikit nyapa, "Mbak."

Tapi yang disenyumin cuma ngeliat dikit trus melengos. "Senior jutek, ya?"

"Pencitraan, kalo ngga gitu, bakal banyak yang ngajak temenan."

Ha? Logika apa itu? Dia menghindari persahabatan? "Emang kenapa kalo ngajak temenan?"

"Bahaya!" udah, gitu aja katanya.

Bahaya apa? Tiba-tiba jadi inget kata-kata banci kaleng soal free drink. Apa itu juga ada hubungannya dengan bahaya pertemanan?

Naik ke lantai tiga, genggaman tangannya menguat. Langkah kaki yang tadi mantap, perlahan mulai melemah. Bulan langsung keliatan berbeda. Berkali-kali dia narik napas dan ngembusin udara lewat mulut.

Di depan ruangan berlabel Laboratorium Kontrol dan Instrumentasi, Bulan berhenti. Tangannya menggenggam makin erat.

"Ini pertama kali aku masuk sini lagi ngga sama Adrian," ujarnya lirih tanpa mengalihkan pandang dari pintu lab.

"Apa aku aja ga cukup?" Agak kesel, masih aja bawa-bawa Adrian, padahal katanya udah fix milih gue.

Dia noleh, ngasih senyum supermanis sambil bilang, "Iya, cukup." Tangannya kemudian membuka salah satu pintu kembar. Genggamannya makin erat, tapi kakinya belum melangkah juga. Perasaan gue jadi ga enak. Kayanya ada apa-apa sama lab ini.

Ruangan itu kosong dari manusia. Cuma ada beberapa meja panjang yang sengaja diatur agak merapat ke dinding. Di atasnya berbagai peralatan tergeletak tak beraturan. Agak ke tengah dari pintu masuk juga ada meja panjang warna biru yang lebih kosong. Isinya cuma beberapa bundel kertas.

Agak ke pojok, sebuah meja lagi yang kayanya  sengaja dijadiin pembatas. Di balik meja itu terbentang karpet hijau, mengingatkan pada barisan shaf di musholla-musholla kecil. Mungkin emang dipake buat tempat salat. Cukup luas juga untuk dijadiin tempat rebahan sejenak. Posisinya yang agak tersembunyi pun cocok buat sekadar bercinta sebentar buat melepas ketegangan.

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang