12. Aku Yang Salah

4K 261 33
                                    

"Tapi ada satu lubang besar," katanya lagi, "kenapa harus kamu?"

Gue narik napas panjang. Bulan keliatan berkali-kali lipat lebih cantik pas lagi bicara cerdas kaya gini. "Aku tahu."

"Tahu apa?" Bulan mengejar.

"Aku tahu alasannya."

"Apa?" Binar matanya ngegemesin. Bikin pengen nyiumin satu-satu.

Wait! Jangan mulai ngebayangin yang iya-iya. Mending kabur ke balkon. No Love No Sex, perjanjian terkonyol abad ini.

Angin laut menghantam wajah begitu pintu dibuka. Beban pikiran yang tadi bikin berat kepala kaya ikutan terbang ngga tahu ke mana.

Bulan ngikutin sambil ngejinjing gamis putihnya. Angin mainin rok, juga helaian rambut yang udah lepas dari ikatan. Binar matanya yang memancarkan keingintahuan, seolah-olah berkelip-kelip nunjukin kalo prosesor otaknya lagi kerja keras.

"Apa alasannya?" dia masih ngejar.

Gue diemin. Ngga pengen jawab. Lagian ngga perlu dijawab. "Kamu pernah menang main catur lawan ayahmu?" jelas, ini pengalihan pembicaraan. Kan, udah dibilang, ngga mau jawab.

Binar matanya tiba-tiba ngilang. Dia diem, terus ngomong pelan banget, nyaris ngga kedengeran, "Pernah." Perlahan dia puter badan, melangkah ke birai balkon. Di sana Bulan nyendarin perutnya yang kecil dan rata.

Angin laut maksa kelopak matanya buat nyipit. Susah payah dia nantang samudera di hadapan. "Satu kali," katanya, "trus ngga pernah lagi."

Ada nada sedih di sana. Nada yang bikin gue ragu buat lanjut nanya, tapi udah telanjur kepo, jadi tetep aja nanya, "Kapan?"

Dia nunduk, neymbnyiin tawa pahit. "Waktu TK."

"Hah?" Gue salah denger, kan? "Kamu ngalahin Om Hendro waktu TK? Pasti Om Hendro yang ngalah itu."

"Eh, enak aja! Ayah, tuh, ngga pernah ngalah, biarpun sama anak sendiri."

"Ngga mungkin! Kemaren aja aku maen tiga set sama Om Hendro, kalah semua. Masa bisa dikalahin sama anak TK."

"Ngga usah minder, aku emang jenius. Hahaha!"

Huh! Sombong!

"Ibu ngga sempet tahu kalo aku akhirnya berhasil ngalahin Ayah." Matanya nerawang jauh sampe batas horizon.

"Kenapa?"

"Malam itu, ibu ngga pulang," suaranya lirih dihempas angin. "Besoknya baru ibu datang," air menggenang di pelupuk matanya, "dalam bentuk jenazah."

Glek! Pantesan, cerita kemenangan ini malah bikin Bulan keliatan sedih banget.

Dia narik napas panjang, trus noleh sambil ngelempar senyum. "Pinter, ya ngalihin pembicaraan," katanya sambil ngerling jail.

Awan putih tipis berlapis-lapis di langit biru. Perasaan gue jadi ngga enak karena bikin kenangan lama yang mungkin udah susah payah dikubur dalam-dalam jadi naik lagi ke permukaan. "Sorry."

"Yah, itu masa lalu." Dia ngebungkuk, numpangin dagu di bilah birai balkon. "Sejak itu, aku hampir ngga pernah ngobrol lagi sama Ayah."

"Kenapa?" Ups. Kebiasaan nanya kenapa hampir setiap waktu. Dia noleh lagi, sedikit mendongak. Bikin gue ngerasa kaya objek penelitian yang lagi diamati.

Bulan ketawa kecil. Bukan karena geli, karena yang kedengeran  justru kepahitan. "Ayah sibuk. Aku ngga boleh deket-deket."

Manggut-manggut, nahan lidah biar ngga tanya kenapa. Ganti pertanyaan mungkin bisa jadi lebih baik. "Kehilangan istri bikin Om Hendro sibuk kerja, ya?"

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang