72. Please, Don't Leave Me!

2.9K 281 142
                                    

Jederrr! Spontan gue bangun. Telinga langsung waspada ngedengerin suara Si Ustadz dari speaker. "Dalam keluarga, suami adalah imam, pemimpin keluarga. Dia yang akan memandu, mau dibawa ke mana keluarga ini. Jika seorang suami tidak beriman, kira-kira ke mana keluarga ini akan mengarah?"

Spontan gue noleh ke bagian akhwat. Berharap bisa ngeliat Bulan, meski tahu itu ngga mungkin. Pembatas di antara kami terlalu tinggi.

Dalam hati berharap, pertanyaan yang dibacakan Si Ustadz bukan dari Bulan. Walau paham, harapan itu hampa. Kalaupun bukan dia yang bertanya, jawaban yang diberikan sudah cukup menohok hingga ke inti jantung.

Dalam perjalanan pulang dia diam. Sepuluh menit itu terasa seperti sepuluh abad. Tiba di apartemen, masih tak ada kata-kata. Bulan masuk mengucap salam, lalu melepas kerudung beserta gamis, berganti dengan kaus tanpa lengan dan celana pendek. Seperti biasa, hanya tanpa bicara.

Baiklah, tarik napas panjang, embuskan pelan-pelan. Kalo emang ini akhirnya, gue siap.

"Ayo, shalat," ajaknya ketika adzan Maghrib di aplikasi ponsel berbunyi.

"Kamu udah bisa shalat sendiri," gue jawab tanpa mengubah posisi dari duduk di ujung tempat tidur.

"Kamu ga mau lagi jadi imamku?" pertanyaan Bulan kedengeran beda.

Menatap matanya yang memohon, nyaris oleng gue. "Kayanya pelajaran dariku udah cukup. Kamu udah bisa shalat sendiri."

Bulan menggigit bibir. Beberapa saat dia hanya menatap. Seperti ingin bicara, tetapi tidak sanggup. Hanya sebentar, kemudian berbalik dan membentangkan sajadah di sisi tempat tidur.

Hati perih. Kaya keiris-iris ngeliat dia serius menggerakkan tiap persendian dalam gerakan shalat. Gue alihin perhatian dengan scrolling layar IG. Ngga ada yang menarik. Malah mata yang makin lama makin pedes.

Gue ga mau semua ini berakhir. Ngga dengan cara kaya gini. Tapi yang harus berakhir ga mungkin bisa dipertahankan.

Tiga raka'at diselesaikan Bulan dengan baik. Menutup rangkaian gerakan shalat, ia berdoa dengan tangan menangkup di muka.

Mata jadi makin pedes. Gila! Perasaan ga ada bawang di sini. Kenapa ada air mata? Gue tekan mata dengan tangan biar ga ada air yang netes.

"Sayang." Tiba-tiba Bulan udah duduk bersimpuh di hadapan. "Tadi aku nanya sama Pak Ustadz," lanjutnya menggenggam dua lutut gue.

Sialan! Ternyata beneran dia yang nanya.

"Apa hukumnya seorang istri yang beriman..."

Cukup! Sumpel mulutnya pake mulut juga. Ngga usah ngomong lagi.

"Kamu denger, ya, pertanyaannya?" katanya setengah terengah, setelah dua pasang bibir berpisah.

Gosh! Can't help it. Gue merosot, menjatuhkan diri tepat di hadapannya. Mendekap erat tubuhnya sambil berbisik, "Ngga usah dengerin."

Dia balas merangkul. Mengabaikan kata-kata gue dan mengajukan pertanyaan, "Gimana menurutmu?"

Itu pertanyaan buat dia, bukan buat gue. "Aku ga peduli apa kata orang."

"Tapi aku peduli. Peduli apa kata Allah."

Melonggarkan dekapan, menatap langsung ke matanya. "Sayang, aku cinta kamu, apa pun yang kamu imani. Karena bukan itu yang penting. Yang penting adalah bagaimana kamu menjalani kehidupan ini. Tanpa iman pun kita tetap bisa jadi dua orang baik yang saling mencintai."

Dia menatap dengan tatapan bingung.

"Kalo beriman malah bikin kamu pusing begini, ya, udah, lepasin aja." Gue mulai ga sabar.

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang