Selesai mengurusi chat dari si banci, masuk satu lagi dari nomor tak dikenal. "Assalamu'alaikum, Pak Kamal. Perkenalkan, saya Ahmad Sholihin. Bapak menginvestasikan uang limapuluh juta untuk perusahaan yang mau saya bikin."
Oh, Bapaknya si Humaira ternyata.
"Alhamdulillah, pagi ini PT. Argadaya Rahmat Semesta telah didaftarkan ke notaris. Pengurusan hingga jadi akta-nya kemungkinan membutuhkan waktu tiga bulan. Biayanya sampai dapet surat ijin usaha jasa konstruksi sekitar empatpuluh juta."
Wah, ngga cukup nih duitnya.
Belom sempet ngebales, masuk satu pesan lagi, "Alhamdulillah, sudah tertutupi, insyaaAllah dengan proyek pertama kita."
Lah? Akta notaris belom jadi, proyek udah ada?
"Pembangunan masjid buat pesantren di Jombang."
Gubrak! Proyek pertamanya ternyata bikin masjid. Semesta atau Tuhan yang lagi ngeledek gue?
Pak Ahmad ngga keliatan lagi typing. Jadi gue bales, "Syukurlah. Tapi ini proyek bener, kan? Bukan abal-abal?" Secara perusahaan aja belom resmi berdiri.
"Insyaa Allah bener, Pak. Yang ngasih langsung Ustadz pimpinan pesantrennya sendiri."
Baiklah, sedikit melegakan. Lagian gue ga berharap apa pun dari perusahaan ini. Emang niat awalnya bukan buat investasi. Cuman kesian aja kalo sampe diboongin.
"Ini Ustadz yang biasa ngisi kajian di masjid perumahan. Kemaren saya mau minta beliau ngisi tausiyah buat acara aqiqahannya Maira. Ngobrol-ngobrol, trus dia nawarin buat megang proyek masjid di pesantrennya. Alhamdulillah, berkah silaturahmi."
Gue ketikkan balasan. Tapi Pak Ahmad lebih dulu ngelanjutin chat-nya.
"Karena ini proyek pertama, dan buat bangun masjid pula, kami sepakat mematok tarif di bawah standar. Yang penting cukup buat nutupin biaya hidup dan biaya operasional. Anggap aja proyek charity, untuk menolong agama Allah. Semoga dengan begini, perusahaan kita pun ditolong oleh Allah."
Menolong agama Allah, menjadi penolong agama Allah, frase itu bergaung di ruang memori.
Selanjutnya muncul sebuah foto dengan caption, "Saya dan teman-teman kemarin setelah merumuskan PT. Argadaya Rahmat Semesta." Di situ, tampak Pak Ahmad dengan tiga orang lelaki lain sedang duduk melingkari sebuah meja persegi. Di atas meja ada kertas-kertas, bolpoin, hape, juga piring dan gelas kosong.
"Oya, aqiqahan Maira akan dilaksanakan pekan depan. Jika Bapak ada waktu, kami sangat mengharapkan kehadiran Bapak di rumah." Diikuti dengan sebuah link lokasi yang langsung membawa ke G-Maps.
"Saya ngga bisa janji, harus liat jadwal dulu." Cara halus buat nolak. Ya, kali mau ke Surabaya cuma buat aqiqahan doang. Tapi kalo inget kaya gimana rasanya gendong bayi, kayanya cukup worthed dibelain jauh-jauh ke sana.
***
Hari ini target gue cuma mempelajari seluk beluk perusahaan. Setelah itu cabut buat latihan singkat di dojang punya senior yang memilih berprofesi jadi pelatih taekwondo.
Udah lama banget ngga ngelemesin otot, badan auto-kaku-kaku diajak latihan kibon dongjak doang. Untung masih rutin lari keliling komplek tiap hari, jadi ngga terlalu parah kakunya. Senior gue yang sekarang udah jadi saboeumnim sampe geleng-geleng, "Ke mane aje, lo!"
Mau gimana lagi. Terakhir latihan taekwondo kayanya waktu jaman kuliah, berarti sekitar delapan tahun lalu. Tua banget gue.
Biar badan ngga kaget, sore ini latihan ringan doang, sekadar penyegaran. Trus dilanjut ke kontrakannya U-Bay di perbatasan Bekasi-Jakarta, biar ga terlalu jauh besok ke sasana tinju yang di-shareloc si banci kaleng tadi. Sekalian ngambil data video asli yang kemaren diambil dari server.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku, Bulan
عاطفيةWARNING 18+ Cerita ini pertama kali diterbitkan November 2019 dan tamat tahun 2020. Pada tahun 2021, Istriku, Bulan diplagiat dan saya menarik penerbitannya di wattpad. Cerita ini memang tidak diniatkan untuk dikomersilkan. Saya ingin agar maki...