73. From Zero To Zero

2.7K 274 151
                                    

Pagi itu gue ketok kamar Bulan.

Gila emang iman ini. Demi memperjuangkan satu kata itu, dia bisa tidur sendiri. Padahal dulu pas lagi jauh-jauhan aja, dia ngga bisa tidur sebelum telepon gue. Jadi inget dulu dia ketiduran dalam posisi duduk gara-gara nungguin gue yang ngga pulang-pulang dari rumah Ratna.

Sekarang, dia bahkan ngga mau sekamar lagi. Bulan bener-bener jadi mandiri demi mempertahankan iman. 

Holy shell! Kenapa malah jadi makin cinta saat akan berpisah gini? Rasanya pengen maki-maki Tuhan, tapi gimana caranya marah-marah pada sesuatu yang ngga ada?

Bulan buka pintu, masih pake baju tidur standarnya, kaus tanpa lengan dengan celana pendek yang cuma nutupin setengah paha.

"Aku pergi..."

"Sarapan dulu," sergahnya cepat, "aku udah order bubur ayam."

Well, okay. Ngga rugi juga. Mumpung blom resmi ditalak.

Kita duduk di sofa. Dia di ujung sana, gue di ujung sini.

Sialan! Biasanya kalo posisi gini, dia bakal ngerangkul tangan gue. Gila! Belom apa-apa, udah kangen.

"Aku udah telepon Hana," gue yang mulai duluan. Diem-dieman gini bikin tambah kangen.

Bulan ngga jawab, cuma noleh dan sedikit bergumam.

"Buat bikin surat penyerahan wewenang Presdir ke kamu. Jadi nanti kalo kamu balik Jakarta, langsung tengok kaya gimana kantor."

Dia mengembus napas pelan. "Apa harus gitu? Kamu bisa tetep jadi presdir aja. Surat kuasanya, kan, langsung dari ayah."

Lucu banget, ni anak. "Aku jadi presdir, kan, karena jadi menantunya Om Hendro. Kalo kita udah pisah, ya, ngga etis aku tetep di sana."

Bulan menyandarkan punggung dengan tangan bersedekap di dada. "Nanti aja, kalo Ayah udah keluar dari ruang isolasi, baru surat kuasanya dibalikin."

"Ngga!" Gue ubah posisi badan jadi menghadapnya. "Kenapa? Kamu ngga pede jadi presdir?"

Dia ngga jawab. Badannya melorot hingga kepala benar-benar terbaring di punggung sofa.

"Waktu aku tahu gimana kamu memperlakukan semua bonekamu, dan gimana kamu bisa mengelola rumah segede itu dengan sekian pekerja, aku sadar, kamu secara alami adalah seorang pemimpin. Sayang, ayahmu ngga kenal anaknya sendiri. Dan kayanya emang ngga berusaha mengenalmu lebih dekat. Padahal kalo sekali aja dia perhatiin gimana kamu ngelola kamar. Aku yakin dia juga akan punya pendapat yang sama denganku."

Bulan menyungging senyum. Tanpa mengangkat kepala dia menoleh, membuat kita saling menatap. "Kamu selalu gitu," katanya.

"Selalu gimana?"

"Selalu percaya kalo aku bisa lakukan lebih."

"Ngga juga. Aku percaya kamu bisa lakukan yang emang kamu bisa lakukan."

Dia tertawa kecil. "Kenapa waktu aku udah mutusin buat pisah sama kamu, kamu malah bikin aku tambah jatuh cinta?"

Aaaarghh! Dia baru aja narik kalimat itu keluar dari kepala gue. Sialan!

Suara bel pintu ngalihin perhatian. Pasti si abang ojol yang dateng bawa pesanan. "Aku aja." Gue langsung berdiri waktu dia bersiap melangkah demi berganti penampilan.

Yeah! Gue masih pengen menikmati saat-saat terakhir bisa ngeliat dia seterbuka itu. Mumpung masih boleh. Egois? Emang!

Bulan udah nyiapin dua mangkok dengan sendok. Kita makan masih diem-dieman.

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang