8. Prognosis

3.7K 268 35
                                    

Berkat kecanggihan teknologi memandu perjalanan, hanya butuh waktu lima menit buat nyampe di IGD. Sambil gendong Om Hendro di punggung, gue teriak-teriak minta tolong nyaris kaya orang gila.

Om Hendro dibaringin di brankar, waktunya ngambil napas dikit. Bener-bener dikit, karena kemudian ada perawat dateng nanya-nanya sambil bawa papan jalan, "Maaf, Pak. Penjaminnya siapa, ya?"

Hah? Penjamin? Ada orang mau mati, dia malah nanyain penjamin? "Saya. Tulis aja, Kamal Putra Ardinata."

"Maaf, Pak. Boleh pinjam KTP-nya?"

Ck! Urusan administrasi gini bener-bener bikin males. "Cepet tanganin Om saya, Mbak," gue keluarin KTP sambil pamer CC. Dan manjur, saat itu juga Om Hendro langsung ditangani. Dasar rumah sakit mata duitan.

Selesai urusan administrasi, gue langsung telepon nomor dokter yang tadi udah dikasih sama Mang Salam. "Kalo ada apa-apa," gitu katanya pas ngasih kunci mobil.

Hebat! Telepon langsung diangkat ngga pake lama. "Halo, asalamlekum," yang jawab suara cadel anak kecil.

"Eh?" Jadi ragu, bener ngga, nih nomernya? "Wa'alaikum salam. Ini bener nomornya dokter Ardan?"

"Iya, Abinya lagi bobo."

Oh, ternyata yang ngangkat anaknya. "Bangunin Abi, dong Dek. Bilang darurat, ya?"

Ngga terdengar apa pun, hanya suara gemerisik. Lalu, "Ngga bisa, Om. Kamalna dikunci."

Hadeh! "Gedor aja, Dek. Bilang darurat."

Lalu terdengar teriakan. "Abi! Abi! Ulatan!"

Kok ulatan? Siapa yang kena ulat? Wah, kebangetan, ni, anak, kecil-kecil sukanya nyindir. "Darurat, Dek. Bukan ulatan. Darurat!"

"Abi! Abi! Ulat!"

Omaigat! Sabar, Kamal. Sabar. Ini ujian.

"Ada apa?" Akhirnya kedengeran juga suara orang dewasa. Mungkin ibunya anak ini.

"Telepon, Umi," suara cadel si anak kecil lagi. Kemudian disambung dengan suara perempuan yang tadi, "Oh, halo. Ini siapa, ya?"

"Halo, Bu. Ini Kamal. Calon mantunya Pak Hendro. Sekarang Pak Hendro sedang di IGD. Bisa minta tolong Pak Dokter untuk memeriksa? Tadi saya dipesenin kalo ada apa-apa langsung telepon dokter Ardan."

"Oh." Lalu terdengar suara perempuan di latar belakang menjelaskan apa yang baru aja gue bilang.

"Halo," akhirnya suara laki-laki, "di rumah sakit mana?"

***

Dokter Ardan tiba setengah jam setelah gue share loc. Agak macet, katanya. Terserah, ngga penting. Yang penting Om Hendro langsung dapat penanganan tepat karena di rumah sakit ini ngga ada medical record-nya.

Begitu tahu siapa Om Hendro, pihak rumahsakit langsung jadi super antusias. Proses pemeriksaan langsung diawasi oleh manajer pelayanan. Bayangin, Pak Manajer ngorbanin tidurnya demi memastikan bahwa ada satu pasien dapetin pelayanan prima.

Dokter Ardan menceritakan situasi dan kondisi kesehatan Om Hendro seperlunya. Ia minta pihak rumahsakit ngelakuin operasi untuk mengeluarkan cairan yang menggenang di paru-paru, karena itulah biang keladi henti napas tadi.

Pihak rumah sakit setuju, tetapi menolak dokter Ardan untuk terlibat. Pak dokter yang penuh dedikasi ini jelas keberatan. Dia sudah menandatangani kontrak khusus dengan Om Hendro untuk menjadi penanggungjawab atas seluruh tindakan medis yang dilakukan pada pimpinan Purwaka Group itu.

Dan gue, makin kesel dengan perdebatan yang sebenernya cuma menjaga pundi-pundi uang. Ketika Pak Manajer datang, saat itu juga fokus beralih pada bagaimana cara mancing uang lebih banyak lagi.

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang