60. Jejak Digital

3.1K 241 53
                                    

Bangun dalam keadaan polos dan lapar. Udah lama ga kaya gini. Ga apa-apa dinikmati dulu barang semenit dua menit.

Istri kesayangan masih terpejam. Pertarungan melawan monster semalam memang melelahkan. Ngeliat dia terlelap sekarang, rasanya gue ga butuh matahari lagi. Bulan udah memancarkan cahaya sendiri. Ga bisa nahan senyum memandangnya.

Getar hape di nakas mengganggu kenikmatan. Telepon dari Esti. Mungkin mau laporan progress gosip kemaren.

"Halo, Mbak Esti. Gimana progress gosipnya?" langsung tembak biar cepet kelar.

"Oh, ya. Bagus, Pak. Gosip tentang Mbak Bulan mereda. Apalagi data dari server menunjukkan video yang berbeda. Tambahan lagi, ada postingan dari Ustadz pemilik ponpes di Jombang yang memperlihatkan Mbak Bulan pakai jilbab. Keren banget, Pak. Pencitraan yang bagus!"

"Oh, he he he." Ternyata Ustadz mengunggah foto bareng sebelum pulang kemaren.

"Iya, Pak. Alhamdulillah. Apalagi caption dari ustadznya yang bilang kalo Bapak adalah inspirator pendirian ponpesnya itu dan juga jadi investor saat pembangunan masjid."

Wadaw! Itu bukan cerita yang seratus persen bagus sebenernya.

"Sekarang gosipnya beralih, Pak," jelas Esti lagi.

"Beralih?"

"Sekarang Bapak yang jadi topik utamanya," kata-katanya pelan sekali kaya yang lagi ngegosipin topik rahasia.

"Kok, saya?"

Esti terdengar mengembus napas pelan. "Bapak belom baca WA saya?"

"Blom, saya baru bangun."

PR Purwaka Group itu mendeham singkat lalu berkata, "Baiknya Bapak tonton dulu video yang saya kirim, setelah itu baru kita pikirkan langkah counter-nya."

Kalimat Esti bikin dahi berkerut. "Emang video apa?"

"Liat aja, Pak," jawabnya singkat.

Jelas gue mengernyit. Tiba-tiba kaya ada kabut siap menghalau pagi terindah dalam hidup gue.

Bulan menggeliat, mengubah posisi jadi membelakangi. Ngga, gue ngga mau dipunggungin kaya gini. Gue susupin tangan ke bawah kepalanya. Kaya refleks, dia berbalik hingga kita berhadapan lagi.

Ha ha ha, ternyata ngga cuma gue yang bisa refleks meluk, dia juga punya refleks itu.

Bodo amatlah soal video yang dikirim Esti. Gue mau menikmati pagi terindah hingga batas paling tepi.

***

"Telepon dari Papa," kata Bulan ketika kita sama-sama baru keluar dari kamar mandi.

"Angkat aja." Gue masih ngeringin rambut dengan handuk kecil. Sekarang rambut gue sama baunya dengan rambut Bulan. Dia sendiri yang ngebalurin kepala gue pake shampo punya dia. "Biar kamu selalu inget aku," gitu katanya. Padahal ngga pake shampo yang sama pun, dia selalu ada dalam ingatan.

Gue ambil alih handuknya dan mulai ngegantiin tangannya untuk mengeringkan rambutnya. Dia menekan simbol telepon hijau di layar dan menyapa Papa. "Halo, Pa. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Suara Papa penuh penekanan. "Mana Kamal?"

Wadaw! Kenapa Papa jadi ngegas gini? "Di sini, Pa. Bulan nerima telepon pake speaker." Gue masih ngeringin rambut Bulan dari belakang. Biar pun sekarang wangi kepala kita sama, tapi menghirup aroma rambutnya tetap memberi sensasi yang berbeda.

"Kamu selingkuh?"

"Ha?" Auto-pause gue. "Selingkuh gimana?"

"Mama dapet videonya di grup keluarga besar. Gila kamu, Mal. Kaya gituan ngapain direkam?"

Istriku, BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang