🎼 ㅡ Kamu adalah rumah

140 36 3
                                    

My eyes naturally follow youEach step you take

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

My eyes naturally follow you
Each step you take.

🌻
Happy Reading
🌻

Mark melaju menuju rumah sakit. Saat sampai, ia melihat Edelweiss sedang duduk di kursi rodanya, ditemani Taeil dan Yuta di taman rumah sakit. Mark pun menghampiri mereka.

"Siang, Kak ... Siang, Edelweiss ...," sapa Mark.

"Baru pulang Mark?"

"Iya hehe, tadi ada yang diurus dulu ...."

"Bucin Mode On deh tuh. Nih gue serahin Edelweiss nya," dengus Yuta pura-pura kesal.

"Hehehe iya, Kak ...." Mark terkekeh. Lalu membawa Edelweiss berkeliling.

"Edelweiss udah makan?" tanya Mark. Edelweiss hanya mengangguk. Mark berjongkok di depan dan menatap Edelweiss.

"Kamu kenapa, hmm?" Mark merapikan rambut Edelweiss.

"Aku nggak suka kalo kamu berantem. Sama siapapun itu, dan masalah apapun itu. Apalagi sampe main fisik."

Mark terdiam menatap mata gadis itu, "Siapa yang bilang?"

"Lami sama Hina."

Mark menghela napas gusar. Mengusap wajahnya kasar dan berucap pelan, "Aku nggak suka Haechan ngerebut kamu dari aku. Dan yang tadi, aku nggak bisa nahan emosi aku."

"Haechan ngerebut aku? Mark, aku sama Haechan kan temenan. Sama kaya aku dan temen-temen yang lainnya."

"Tapi, kita berdua beda. Kita berdua teman dalam perasaan yang beda dari perasaan kita ke teman-teman lain. Karena itu aku nggak suka ada yang deketin kamu. Aku nggak mau kamu bahagia sama orang lain selain aku, untuk sekarang."

"Sampai kapanpun aku pasti bahagia sama kamu, Mark."

Mark menggeleng, dia menahan tangisnya. Bahunya bergetar dan tangannya menggenggam tangan Edelweiss.

"Aku sakit."

Edelweiss terdiam. Jantungnya tiba tiba berdegup kencang. Perasaannya menjadi gelisah.

"Maksud kamu?"

"Aku sakit. Aku-- kanker darah, stadium dua." Edelweiss menggeleng tidak percaya. Pandangannya nanar dan air matanya menetes.

"Aku nggak tau berapa lama lagi aku bisa hidup. Karena itu aku mau bahagiain kamu, Del."

"Kamu bisa sembuh, Mark. Kamu bisa sembuh."

Mark tertawa miris, mengacak rambutnya frustrasi, "Bahkan terakhir kali aku Check Up, dokter bilang fungsi ginjal aku melemah, Del. Aku bahkan nggak yakin--"

"Mark," tutur Edelweiss, menangkup kedua pipi Mark dengan tangannya, "Kamu nggak berhak mengatur takdir yang dikasih Tuhan ke kamu. Kamu nggak boleh menduga-duga sesuatu yang kamu nggak mau itu terjadi. Kamu bisa sembuh, dan kamu harus yakin dengan itu." Edelweiss terisak. Mark masih mematung di tempatnya. Perasaan bersalah timbul di benak Mark.

"Edelweiss? Mark?" Seseorang menghampiri mereka berdua. Jeno-- yang masih memakai seragam sekolahnya.

"Kalian kenapa woi? Edelweiss, lo nggak apa-apa?"

Edelweiss hanya mengangguk pelan, lalu menghapus air matanya.

"Kamu pulang dulu, makan siang, istirahat. Jangan lupa kabarin aku," ucap Edelweiss yang mulai tenang. .

"Nanti aku ke sini lagi. Maafin aku udah bawa berita buruk ini ke kamu. Aku pulang ya ...." Mark tersenyum kecil, mengacak-acak rambut gadisnya lalu pamit.

"Kabar buruk? Kabar buruk apa?" tanya Jeno bingung.

"Anterin gue ke ruangan, No."

"Ih jawab dulu atuh!"

Edelweiss menarik tangan Jeno hingga badannya condong. lalu Boom! Edelweiss mengecup hidung mancungnya.

"Nggak apa-apa. Lo ganteng banget hari ini." Edelweiss mendorong kursi roda nya mendahului Jeno yang mematung cengo.

"Woi lu tanggung jawab sepupu lo baper gini bego! Woi tuyul kosan! Sialan lu." Jeno mengejar Edelweiss dan menjitak kepalanya.

...🌱...

Haechan duduk di balkon kamarnya. Secangkir kopi Arabica dan lantunan musik dari Handphone menemaninya malam ini. Dan didepannya, sebuah buku Diary berwarna biru yang masih kosong.

Dia menganggap hari ini adalah hari yang sangat istimewa. Karena orang yang dia suka, mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Setelah 3 tahun terakhir, tak ada satupun orang yang peduli dengan hari ulang tahunnya, bahkan orang tuanya sendiri.

"Jangan lupa ditulis lho, apa aja yang lo mau tulis, asal jangan contekkan Matematika."

Ucapan Edelweiss itu membuatnya berpikir sejenak. Haechan bukan seorang yang suka menulis Diary. Dia tidak bisa mengungkapkan hal yang terjadi pada hari harinya denhan sebuah tulisan. Namun, ia tidak ingin membiarkan buku spesial ini kosong. Ditulisnya sebuah judul di lembar pertama buku itu. Aku dan Langit malam ini.

Pikirannya seketika menerawang. Akhirnya, kata demi kata ditulisnya di kertas putih itu. Haechan menuliskan sebuah lagu untuk gadis pujaannya, tentu saja.

Merasa cukup puas dengan lirik yang ditulisnya, Haechan mengambil gitarnya yang sudah lama tak ia mainkan. Mencoba membuat nada yang pas untuk lirik yang sudah ditulisnya, lalu memainkan chord gitarnya. Dan malam ini, sebuah lagu indah tertulis untuk seorang yang dicintainya, Stephina Edelweiss.

"Ternyata jenisan manusia kaya gue punya bakat terpendam nulis lagu," monolognya.

"Dasar Bucin." Haechan menyentil kepalanya sendiri, lalu masuk ke dalam kamarnya dan terlelap.



Jangan lupa Vote 🌱
See di next chapter




Publish : 11 Maret 2020
Revisi : 21 Juli 2020

Pulau Jingga ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang