🎼 ㅡ Selamat tidur, Bumi.

108 14 1
                                    

Terucap di bawah bulan yang meremang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terucap di bawah bulan yang meremang. Namamu, supaya tenang di sana.

🌻
Happy Reading
🌻

Haechan turun dari motornya dengan seplastik snack dan susu cokelat. Ia naik ke balkon kamar Edelweiss dan mengetuk pintu.

"Permisi, kiriman paket dari hatiku untuk nyonya Edelweiss," kata Haechan. Pintu balkon terbuka dan menampakkan Edelweiss dengan pakaian piyamanya dan juga bando kelinci.

"Lucunyaa," gemas Haechan.

"Nghehe aku lagi skincare makanya pake bando."

"Nih aku bawain. Kalo nggak salah minggu ini kamu lagi dapet ya?"

"Ssst! Kok kamu tau?"

"Kamu lupa sedekat apa kita dulu?"

"Hmm iya deh Echan ..."

"Kkk ... ya udah, aku pulang yaa. Titip salam buat kak Lucas. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Makasih ya Echan ... hati-hati di jalan ..."

"Siap!" Edelweiss tersenyum kecil lalu menutup pintu balkon kamarnya.

Haechan menutup pagar rumah Edelweiss dan berjalan menuju motornya. Namun, saat itu juga sebuah mobil berhenti di depan motornya.

"Tentang pelukkan untuk gadis yang menangis di tengah hujan deras malam itu ...."

Haechan menghela napasnya kala mendengar suara itu lagi. Ia segera memasang helmnya dan menaiki motor. Mark berhenti di depannya dengan raut bingung.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Mark datar.

"Kebetulan nggak ada yang ngelarang gue ke sini," jawab Haechan sekenanya. Mark mendecih pelan lalu membuka pagar rumah Edelweiss dan melewati Haechan begitu saja.

"Gue rasa tugas gue belum selesai."

Mark berbalik menghadap Haechan. Rahangnya mengeras. Ia tau ke arah mana pembicaraan Haechan barusan.

"Edelweiss udah jadi pacar gue!" geram Mark.

"Bukan berarti cuman lo yang bisa bikin dia bahagia." Haechan manyalakan mesin motornya dan melaju kencang. Mark melirik ke balkon kamar Edelweiss, gadis itu berdiri di sana dengan raut khawatir. Mark segera naik dan memeluk gadis itu.

"Kamu udah makan, sayang?" tanya Mark.

"Udah ... kamu?"

"Udah juga kok."

Edelweiss dan Mark duduk di bangku balkon dengan sebuah diary dan pulpen di tangan mereka. Menatap langit yang gelap tanpa bintang. Cahaya rembulan yang meredup tertutup awan hitam yang terlihat siap menumpahkan rintikkan hujan ke bumi.

Pulau Jingga ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang