Lelah. Lesu. Tidak bersemangat.
Reyhan duduk di kursi kebesaranya tanpa ada niat mengerjakan setumpuk berkas yang minta di belai.
Menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia menengadah dengan mata terpejam, merasa frustasi atas apa yang terjadi.
Otaknya terus memutar-mutar kegiatan keseharianya belakangan ini, mencari titik temu atas masalahnya. Perasaanya tidak ada yang salah. Semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi kenapa tingkah Ara terasa begitu aneh menurutnya selama seminggu ini.
Banyak terdiam, tidak seceria dulu dan yang membuatnya frustasi adalah Ara seolah sedang menjauhinya, menjaga jarak. Berbicara seperlunya, berinteraksi dengan kaku, pokonya ia berubah drastis.
Reyhan merasa bingung sekaligus frustasi. Sudah berulangkali bertanya tapi jawabanya tetaplah sama 'tidak apa-apa, 'tidak ada masalah apa pun'. Sekarang mereka seolah memiliki jarak.
Apa lagi di tambah sekarang ia yang sedang berada di indonesia. Menambah jarak yang semakin jauh.
Kenapa saat seperti ini perusahanya malah mendapatkan masalah penurunan saham. Tidak taukah bila ia sudah cukup pusing dengan masalah rumah tangganya. Apa lagi dirinya harus bertahan di sini selama empat hari, ia tidak yakin bisa sanggup bertahan lebih lama lagi. Bukan hanya merasa khawatir dengan hubunganya yang merenggang tapi ia juga merasa rindu dengan Aranya. Istrinya yang dulu.
Memijit pelipisnya pening. Ara benar-benar tidak ada niat membalas chat-nya. Di hubungi sulit sekali, kalau bukan karena ia mencari tau kabarnya dari para pekerja di rumahnya Reyhan mungkin tidak akan tau keadaan istrinya itu.
Tok tok tok
"Masuk" Reyhan berujar lirih. Rasanya tidak ada lagi semangat untuk bekerja lebih lama lagi. Ia ingin segera pulang, menemui istrinya dan menyelesaikan masalah di antara mereka.
Sang sekertaris memasuki ruangan dengan macbook di tanganya "Permisi pak, meeting akan segera di mulai, para direksi sudah menunggu pak" dengan lelah Reyhan bangkit berdiri. Sedikit membereskan penampilanya yang cukup berantakan dan kusut.
"Kamu sudah menyiapkan berkasnya?"
"Sudah pak"
"Baiklah, ayo" Reyhan berjalan lebih dulu di ekori sang sekertaris.
Untuk saat ini ia harus bisa fokus pada pekerjaanya dan menyelesaikannya secepat mungkin lalu pulang. Menemui istri tercintanya yang mungkin sedang ngambek.
.
Ara menyendokan bubur dengan toping suiran daging ayam, kacang goreng dan juga jangung manis itu ke arah Thalia. Menyuapi mommynya itu dengan telaten. Dia pasti merasa lelah setelah kemo tadi.
Rasanya hari-hari yang di lewatinya kemarin begitu kelabu. Tanpa semangat dan juga rasa takut serta cemas. Thalia memang sudah membaik akhir-akhir ini, mungkin karena efek sudah tidak meminum obat laknat itu lagi, tapi tetap saja ia merasa tetap takut terjadi sesuatu terhadapnya. Ia juga merasakan ketakutan sendiri kepada Reyhan akhir-akhir ini, seolah kalau ia lengah pria itu akan menyakitinya kapan saja.
Kadang ada perasaan bersalah juga yang mengerogotinya. Ia merasa tidak mengenal Reyhan. Mereka berteman sejak kecil. Bermain bersama, saling bertukar pikiran dan berbagi. Tapi Ara merasa tidak dapat sedikit pun menebak jalan pikirnya. Ara merasa menjadi orang asing yang tidak tau apa-apa tentang suaminya itu.
"Kenapa wajahmu pucat seperti ini sayang? Kamu sakit?" Thalia mengusap pipinya yang memang kehilangan ronanya.
"Tidak mom"
"Kamu sudah makan?"
"Sudah kok mom. Mommy tidak perlu khawatir" tersenyum lirih Ara kembali menyuapkan bubur buatanya itu pada Thalia.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Crazy 'BoyFriend'
Literatura Feminina⚠WARNING⚠ ADA BEBERAPA CAPTER MENGANDUNG KONTEN DEWASA 18+ 21+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA Gende:Chicklit Jangan pernah berharap pergi atau lari dariku. Atau aku tidak akan segan menghukumu, dengan hukuman yang lebih berat di setiap kau mencoba lar...