➹ 82. Tertangkap ➹

40 8 0
                                    

Setelah bukti terkumpul
Dia tidak akan bisa lari kemana pun

»»————><————««

     Kedua bola mata Alin melebar. Dia menatap tajam pada kertas ulangan yang terlihat hitam sebab ia dan Gendra memakai kacamata hitam serta hoodie couple — yang mereka beli ketika mengerjai Flora kala itu — untuk menyembunyikan luka memar mereka. Dan masker tak lupa mereka pakai juga. Dan untungnya Bu Wirli paham setelah keduanya menjelaskan sebelum masuk kelas tadi.

Alin sebal sebab ia tak tahu harus memulai mengerjakan dari mana. Semalam setelah tiba di rumah mereka langsung tidur, tidak sempat menyentuh buku secuil pun. Kalau Gendra dari lahir memang cerdas, sedangkan dirinya? Harus usaha ekstra dulu sebelum mendapatkan hasil bagus.

Otak gue blank, batin Alin memegang pelipisnya. Ia hanya membolak-balikkan kertas soal itu. Padahal ini hanya ulangan harian, tapi ia seolah menganggapnya serius. Bola mata Alin melirik ke cowok di sebelahnya. Dia melongo melihat Gendra dengan lancarnya menuliskan rumus-rumus matematika di kertas jawaban.

Sialan, gue harus ngapain kalau udah gini, batin Alin lagi. Dia menatap jam di atas papan tulis, dua puluh menit lagi bel akan berbunyi untuk istirahat. Dan kertas jawaban miliknya belum juga terisi, alias polos. Hanya tergores untuk nama, absen dan kelas. Alin berdecak pelan, mungkin Gendra juga mendengarnya. Jika ia terus-terusan diam maka waktu akan habis tanpa menulis apa pun.

Di samping cewek itu Gendra tertawa tanpa suara. Dia melirik Alin yang terus saja bingung harus melakukan apa. Baiklah, ia akan mempercepat sedikit mengerjakannya. Dua menit ke depan dia sudah menggeser kertas jawabannya ke hadapan Alin. Sontak saja cewek itu menendang kakinya sebelum menyalin cepat jawabannya.

Gendra tersenyum lebar. Kalau masalah menyalin dengan cepat dari dulu Alin memang jagonya. Buktinya saja tiga menit sebelum bel berbunyi cewek itu sudah menghela lega. Dan kembali menggeser kertasnya ke hadapan Gendra.

Sambil menunggu bel sebentar lagi berbunyi. Kaki Gendra iseng menendang kaki Alin, membuat cewek itu menatap ke arahnya. Dan menendang balik kaki Gendra. Begitu terus sampai bel berbunyi dan Bu Wirli berdiri guna mengambil kertas jawaban mereka.

Setelah Bu Wirli keluar kelas. Punggung Alin tersandar ke belakang. Dia benar-benar lega karena cepat menyalin jawaban Gendra. Kalau saja cowok itu lupa memberinya contekan, tamat sudah riwayatnya.

"Gimana? Gue kurang lama ya ngasih jawabannya?" tanya Gendra, dia melepas kacamata hitam serta menurunkan maskernya. Tersenyum jahil ke kekasihnya.

"Diem deh, jantung gue mau copot tadi." Alin juga melepaskan kacamata hitam serta menurunkan maskernya. Menatap tak suka pada cowok itu. "Nggak akan gue ngulangin kayak tadi lagi."

"Hilih, bukannya ini dulu pernah terjadi ya?"

Alin mengangguk, ia tahu bila ini juga pernah terjadi dulu. "Tapi itu bikin jantung gue mau copot, Gen. Pokoknya gue mau ini yang terakhir. Setelahnya gue mau belajar aja."

"Pilihan yang bagus." Tawa Gendra terdengar pelan. Dia menepuk-nepuk pelan puncak kepala Alin yang memakai topi hoodienya. "Mau ke kantin?"

"Dalam keadaan kayak gini?" tanya Alin menaikkan sebelah alisnya. Ia tak yakin akan keluar dengan penampilan aneh seperti ini.

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang