Omongan orang itu memang menusuk
Kebenaran asli tanpa ia tahu
Mungkin dibalik itu ada rasa yang busuk»»————><————««
Dengan takut Alin mengikuti langkah Gendra. Apa segitu gampangnya Ayah Gendra mau menerimanya lagi. Setidaknya sebagai sahabat Gendra. Alin rasanya trauma dengan tamparan yang diberikannya tempo hari. Rasa tamparan itu seakan terngiang di pipinya. Ini kali pertama Alin merasakan sebuah tamparan mendarat di pipinya. Biasanya ia hanya melihat, tapi kali ini merasakan. Selain sakit fisik. Hati ternyata juga merasakan sakitnya.
"Pagi, Ma," sapa Gendra ketika tiba di dapur dengan tetap menuntun Alin. Tante Nina menoleh. Tersenyum pada putranya, juga Alin. Meski beliau tahu ada rasa takut di diri Alin saat ini. Ini semua perbuatan suaminya yang dengan seenaknya menampar gadis yang begitu disayang oleh putranya. Beliau juga sudah berusaha untuk meyakinkan kembali jika kejadian yang didengarnya dan dilihatnya itu hanyalah ketidaksengajaan.
"Bagaimana kabar kamu, Windi?" tanya Tante Nina. Mencoba bersikap biasa dan mencairkan suasana di pagi ini. Mudah-mudahan usahanya ini tidak tersendat di tengah jalan. Dan berdo'a agar hubungan keluarga yang retak ini dapat menyatu kembali seperti sedia kala.
Perlahan Alin memperlihatkan wajahnya. Ingin menyunggingkan senyum seperti biasanya tapi rasanya susah sekali. "Ba-baik kok Tan."
"Syukurlah, kalian mau sekolah apa bolos lagi?"
"Bolos aja Ma, males ah mau sekolah," jawab Gendra seenaknya. Dia sengaja tidak memberitahu Mamanya mengenai ingatan Alin yang kembali.
"Enak saja!" protes tante Nina, "Kalian itu ada di kelas akhir. Seharusnya lebih ditingkatkan motivasi belajarnya. Mama nggak mau ya kalau kamu mengulang di tahun depan."
"Tenang aja Ma, otak kita encer kok. Meski bolos satu bulan pun peringkat kita akan tetap menjadi bintang kelas," ucap Gendra membanggakan diri.
"Mama pegang ucapan kalian berdua."
"Ya udah, Win. Duduk yuk," ajak Gendra kembali menarik Alin ke meja makan. Duduk bersisian seperti di kelas. Gendra menuangkan air ke gelas bening. Menyodorkannya pada Alin. "Minum dulu."
Alin menerimanya dan menurut apa yang dikatakan kekasihnya. Saat ini memang aman. Tapi bila Ayah Gendra sudah turun dan bergabung pada sarapan pagi ini. Hancurlah Alin. Ia meminumnya setengah, meletakkan kembali gelasnya di atas meja.
"Jangan keliatan gugup gitu dong, mana Windi yang pemberani itu. Hanya Papa gue, kalau macam-macam tinggal lawan aja, ya 'kan?"
"Tapi kita nggak boleh ngelawan orang tua 'kan?"
"Kalau orang tua itu mendidik yang nggak benar, ya kita harus membenarkan."
Alin mendengus pelan. Percuma saja memberitahu Gendra. Lelaki itu memang keras kepala. Alin mengambil gelas itu lagi, menegaknya hingga tandas. Gelas itu kosong, sama seperti waktu yang mulai berhenti. Suara dentuman sepatu pantofel menggema ketika menuruni tangga. Alin hanya melirik saja, tahu itu siapa. Ia diam. Tapi tidak menunduk seperti tadi. Mendadak rasa ketakutan itu sirna dan digantikan dengan kewaspadaan. Waspada kalau-kalau Om Arya melabraknya lagi dengan kesalahpahaman.
"Pagi Om!" sapa Flora ketika Om Arya tak jauh dari meja makan.
Ayah Gendra menyapa dengan senyuman manis. "Pagi Flora."
Gendra yang menyaksikan itu semua rasanya muak. Drama yang dibuat Flora memang mengagumkan. Tapi Gendra tidak akan terkecoh dengan tampangnya yang polos itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...