Jika semua berakhir seperti ini. Apa boleh buat. Semua kehidupan ada di tangan–Nya
[~~~~~~~]
Pagi. Langit biru tanpa awan. Matahari di ujung tombak. Ranting hijau berdentungan. Dua burung bersangkar di sarang. Menyiulkan nada cerah nan merdu. Tiang listrik menjulang angkasa. Kabel-kabel menjuntai panjang dari rumah ke rumah. Satu guyuran dari atas turun. Byur.
Setengah jam kemudian. Derap langkah menuruni tangga terdengar. Sampai di lantai dasar. Tidak ada seorang pun. Biasanya ada Rilo dan Citra di sofa dan meja makan juga penuh. Ada apa ini? Batinnya. "Bunda ...!"
Tidak ada jawaban.
"Ini pada ke mana sih?" bingung Alin menatap sekitar.
➷➷➷
Ramai. Menjadi topik utama pemandangan di sini. Ada keluarga Alin yang sengaja meninggalkan putri sulungnya sendiri di rumah. Dan Citra, Rilo juga hadir untuk penyambutan sahabat lamanya. Yang ditunggu selama setahun ini akhirnya dapat berjumpa juga.
Sorot bahagia mereka terjatuh pada seorang lelaki tinggi, tampan, serta berkulit putih. Cowok populer di sekolahnya. Memakai jaket berbulu di leher dengan panjang melebihi lutut. Celana hitam panjang serta kemeja kotak-kotaknya menambah kesan sempurna. Dan yah, di tangan kanan ada koper bawaannya. Kemudian di belakangnya ada tiga anggota keluarganya yang juga sama perfec seperti putra sulungnya.
Gendra lebih dulu mendekati Ayah Alin. Menyalaminya. Kemudian ke Bunda Alin. Menyalaminya dengan sopan. Lalu tangannya melayang ke atas dan bertos dengan Rilo dan memeluknya. Menyalurkan kerinduan dengan sahabat selama setahun terakhir. Tanpa sungkan, Citra juga merangkup leher Gendra. Gadis itu merasa punya salah dengan sahabatnya ini. Karna selama dia berangkat, tak pernah dirinya menghubungi Gendra. Dengan alasan takut bila dia menanyakan Alin.
"Windi mana?" tanya Gendra akhirnya. Setelah matanya berkeliaran mencari sosok gadis kecilnya itu. Barulah rangkuhan Citra terlepas. Ia menatap Rilo yang juga menatapnya.
"Em. Gini Gen, lo nggak capek 'kan?" ujar Rilo. Bertanya dahulu, padahal otaknya mencari suatu alasan yang tepat untuk menjawabnya.
Kepala Gendra tergeleng. Dia tak akan merasakan letih sebelum melihat gadis kecilnya. "Kenapa?"
Citra yang juga tak paham dengan gerak otak kekasihnya mengerutkan kening. Jika Rilo sudah ada alasan, kenapa tidak berkompromi dengan dirinya.
Hembusan nafas pelan Rilo keluarkan. Semoga otaknya ini dapat terlogiskan di telinga Gendra. "Gue mau ganti baju lo dengan seragam. Ikut kita ke sekolah dan temui Alin di sana. Buat dia terkejut. Pasalnya kita belum ngasih tahu dia kalo lo mau datang sekarang. Gimana?"
Senyum Citra perlahan merekah. Menganggukan kepala setuju. Ya, walau gadis itu sepertinya lupa dengan kata 'Gendra'. Mungkin saja jika menemuinya bisa langsung mengembalikan semua ingatannya. Semoga saja.
"Yaudah ayo!" ajak Gendra antusias. Dirinya juga setuju dengan pengutaraan Rilo. Dirinya ingin menanyakan beribu pertanyaan pada Alin langsung. Langsung dari bibir mungil itu.
➷➷➷
ʕノ)ᴥ(ヾʔ
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...