Melihat kemarahan di wajahmu
Hatiku tergoda malu
Debaran ini menyeru-nyeru
Tidak tahu apa yang dia mau»»————><————««
Cras ... Cras ... Cras ...
Sederas air mengguyurnya. Meski ini sudah malam dirinya tetap mandi tanpa melepaskan seragamnya. Dinginnya air di malam ini tak meruntuhkan niatnya untuk mandi. Alin terus menggosok lehernya sampai merah. Dirinya bodoh. Kenapa membiarkan cowok menyentuhnya dengan seenak jidat.
"Bunda ...," lirih Alin dalam isakannya. Tapi percuma juga dirinya mengadu pada Bundanya. Pasti Bundanya itu akan marah juga padanya. Alin berjanji ini untuk terakhir kalinya. Tidak mau dia dekat-dekat dengan cowok itu lagi. Cowok mana pun itu. Muak sudah dirinya dengan kejadian menghinakan ini.
Setengah jam berlalu Alin berdiri di bawah shower. Ia menanggalkan semua pakaian basahnya. Meraih handuk kuningnya dibalik pintu. Membalut tubuhnya dengan handuk. Sesekali Alin juga menyeka air matanya dan menghirup ingusnya kembali yang hampir jatuh. Keluar kamar mandi. Rasa dingin langsung menghinggapinya.
Ini adalah untuk kali terakhirnya. Tidak akan lagi Alin membiarkan seseorang mendekatinya atau menyentuhnya. Alin menahan nafas sebentar. Berusaha menghilangkan sesegukannya yang kian menjadi. Sebentar lagi Bunda pasti akan memanggilnya untuk turun makan malam.
•~~~•
Pagi kembali menyambut. Alin terbangun karna merasa hawa sekarang semakin dingin. Dari semalam dirinya tak bisa tidur karena kedinginan. AC sudah dimatikan, selimut tebal dirinya pakai. Masih saja hawa itu masuk ke tubuhnya. Kakinya satu persatu turun ke lantai. Rasa dingin itu kemudian menjalar dari telapak kaki hingga bulu kuduknya berdiri. "Dingin banget."
Alin memeluk tubuhnya sendiri. Beberapa menit kemudian dirinya baru berdiri. Dengan tegap menahan dingin yang marasuki dirinya. Dia melangkahkan kaki ke kamar mandi. Rasa dingin juga ia dapati selepas menginjak keramik kamar mandi. Beberapa menit Alin beradu dengan air hangat. Memang menyegarkan ketika berdiri dengan tubuh tersiram air hangat. Tapi selepas Alin keluar kamar mandi, kembali ia didatangi hawa dingin.
Sementara di bawah. Meja makan sudah penuh. Bangku Alin diisi oleh Gendra. Lelaki itu seakan melupakan kejadian kemarin. Terlihat dari tampangnya yang biasa saja. Tidak ada rasa khawatir atau apalah. Malah Gendra bercengkrama baik dengan keluarganya.
Derapan langkah kemudian terdengar. Gendra lebih dulu melihat ke arah tangga. Senyumnya semakin lebar mendapati cewek itu yang sepertinya akan lebih waspada terhadap dirinya. Tatapan mereka beradu. Alin berlagak sok cuek. Berusaha melupakan apa yang terjadi semalam.
Bunda berdiri. "Windi, sarapan dulu." Beliau memberi tempat agar putrinya itu bisa duduk dan makan dengan nyaman.
Alin menurut. Ia duduk di tempat Bunda tadi. Membalik piring putih yang sudah bersih. Mengambil secentong nasi, lauk, serta sayur sop ayam. Baru saja ia ingin mendaratkan sesuap nasi ke mulutnya. Kini terhenti di udara kala menyadari tatapan Gendra yang tak lepas dari dirinya. Lelaki itu memang sangat menyebalkan. Dengan berani menampakkan wajah setelah apa yang dia perbuat semalam. "Apa liat-liat!"
Gendra tersenyum geli. Tersenyum karna ada plaster yang menempel di leher Alin. Ia menggeleng kecil, lalu melanjutkan makannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...