➹ 43. Bad Day ➹

88 7 0
                                    

Sebuah kenangan berasal dari kenakalan

»»————><————««

     Waktu seolah mempermainkan manusia. Semester 2 telah dimasuki. Dalam kata, hitungan bulan ke depan akan terjadi sebuah perpisahan lagi. Yang di mana hatinya telah melekat erat pada gadis di sebelahnya ini. Masih bisakah dirinya bersabar untuk menunggu tahun depan lagi, yang nantinya bertemu di waktu keduanya sudah semakin dewasa.

"Win, latihan lo dimulai kapan? Soalnya ekstra basket gue dimulai pulang sekolah nanti, jadi agak sore."

Alin mendongkak, tanpa menghentikan jalannya di koridor ke kelasnya. "Sama, pulangnya tetep bareng ya?"

Gendra mengangguk pelan. "Kalo lo dulu yang selesai dan gue nggak ada di parkiran, lo bisa jemput gue di lapangan indoor, paham?"

"Paham sekali, tapi kalo lo duluan, tungguiin gue di ruang musik ya?" harap Alin memasang mata binarnya.

Gendra tidak bisa membalasnya dengan gelengan. Kepalanya kontan mengangguk, seolah terhipnotis dengan tatapan dan senyumannya. Baginya, itulah senjata ampuh yang mampu menariknya lebih dekat. Tapi jika melihat gadis itu tersakiti, sama saja mereka seperti membangunkan singa yang tidur. Tidak bisa dirinya diam saja ketika Alin merasakan sakit. Sekuat apa pun dirinya menyembunyikan rasa khawatir, maka semakin kuat juga dirinya tak rela melepaskannya.

"Btw, semester ini tempat duduknya di pindah ya? Kira-kira Bu Wirli bisa nggak ya nempatin kita duduk bareng kayak dulu?" tanya Alin memainkan alisnya pada Gendra.

Gendra mengangkat bahunya. Mana dirinya tahu dengan pikiran gurunya nanti. "Cenayang kali ya gue bisa nerawang pikiran Bu Wirli."

Tawa Alin meledak pelan, dia menggeleng geli mendengarnya. Saat tiba di bangkunya, Alin sempat mencubit pinggang Gendra secara maut. Membuat cowok itu memiringkan tubuhnya karna sakit. Gendra membalas dengan mengacak rambut Alin yang terlihat mulai panjang hampir menyamai sikunya. 

Gendra juga heran, kenapa rambut Alin begitu cepat untuk tumbuh dibanding rambut perempuan lainnya. Jika sekarang dipotong, dua bulan lagi mungkin akan kentara pertumbuhannya sampai mana. Tapi Gendra juga heran, rambut Alin tak pernah lebat meskipun pernah dipotong. Rambutnya begitu tipis dan tidak begitu lebat. Sangat mudah untuk menangkup semua rambutnya dalam satu genggaman.

Alin membenarkan rambutnya yang semrawut. Melirik Gendra yang sudah duduk di bangkunya. Ia mendudukkan tubuhnya di bangku. Menunggu guru tiba seperti yang lainnya.

Lalu bel masuk berbunyi, membuat semua murid benar-benar ada di dalam kelas. Selang beberapa menit Bu Wirli tiba dengan membawa tumpukan buku dan laptopnya yang berhiaskan stiker tulisan. Meletakkan barang yang dibawanya ke atas meja. Kemudian menghadap para muridnya.

"Selamat pagi," sapa Bu Wirli dengan senyum teduhnya.

"Pagi Bu ...," jawab kompak mereka.

"Baiklah, Ibu mau ngubah posisi duduk kalian. Semuanya berdiri ke belakang dengan tas kalian," perintah Bu Wirli.

Lantas semua berdiri mengikuti perintahnya. Sementara Bu Wirli memanggil satu persatu nama untuk duduk di tempat yang beliau tunjuk. Alin duduk di bangku Rilo masih dengan Citra di sebelahnya. Lalu Gendra ada tepat di belakang Alin dengan Rilo di sebelahnya. Dan yang menempati bangku Alin adalah Randu yang duduk dengan ketua kelas yang super kepo.

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang