Kepekaan harusnya lebih tinggi dari pelajaran materi
»»————><————««
Gendra berbaring di atas sofa panjang kamarnya. Menjadikan dua lipatan tangan sebagai bantal untuk melihat langit-langit. Lutut kaki kanannya terlipat untuk menyeimbangkan tubuhnya. Pikirannya berderap ke mana-mana, dari perasaannya pada sahabat kecilnya hingga tatapan binar Kakak kelasnya tadi.
Seharusnya ia sudah mengungkapkan perasaannya pada Alin. Agar tidak ada yang berani mendekati Alin lagi, ataupun menggodanya. Dan Gendra akui Alin itu berbeda dengan cewek-cewek lainnya. Dari sikap, penampilan, hingga cara pengungkapannya. Semua itu terlihat tulus dan suci dari matanya.
Satu hal lagi, Gendra menyukainya karna Alin adalah cewek periang. Yang membuat siapa saja ketika melihat sunggingan bibirnya akan tertarik bagai magnet. Gendra juga suka dengan gayanya yang biasa, tidak berlebihan dan tidak juga kurang. Semua pas seakan Tuhan menciptakannya dengan lebih dari kata sempurna.
Alin memang licik, takut dengan hal yang begitu kecil. Tapi berani dalam menghadapi masalah, hanya untuk tidak membuat orang di sekitarnya sedih karna hidupnya yang kelam. Alin sampai berani menahan masa-masa kelamnya sendiri. Tidak mau bercerita pada siapa pun tentang masalahnya, justru dia membuat semua orang disekitarnya ikut tertawa bersama. Semua yang nampak tak sebetulnya ada, dan yang ada tak sebetulnya nampak.
Gendra mendudukkan tubuhnya. "Apa yang harus gue lakuin agar lo tahu perasaan gue, Win?"
Ketukan pintu membuyarkan lamunan serta pikiran Gendra. Ia bangkit membuka pintu kamarnya, terlihat Mamanya berdiri dengan senyum teduhnya. "Ada apa, Ma?"
Mama Gendra menggeleng tersenyum, ia melebarkan pintu agar dirinya masuk. Menutup pintu kembali lalu menarik Gendra untuk duduk di tepi ranjangnya dengan saling berhadapan.
"Mama mau ngomong serius sama kamu, Gen," kata Mama menampakkan tampang seriusnya dengan menatap lekat Gendra.
"Seserius apa sih, Ma?"
"Mama nggak yakin kamu akan mau, tapi kalau kamu nggak ikut, Papa sama Mama pasti kepikiran."
"Langsung ke intinya aja, Ma," Gendra tak terlalu suka dengan belitan kalimat, jika ingin mengatakan sesuatu ya harus ke intinya saja.
"Kenaikan kelas nanti kamu akan sekolah di Autralia."
Gendra diam. Lidahnya kelu dan susah untuk mengeluarkan suara. Lalu tatapannya menerawang jauh. Di mana ketika awal duduk sebangku dengan Alin, mengenal dirinya yang polos dan bodoh akan pelajaran. Lalu tiba saatnya dia mengetahui keberadaan Alin sekolah. SMA 5, awal pertemuan yang menyedihkan, kemudian berangkat dan pulang bersama dengan membawa nama baik sekolah. Mengalami masa sulit tentang Sefi, setelah selesai, semua baik. Kenapa kepahitan dunia kembali datang.
"Gendra," seru Mama menyadarkan lamunan putranya dengan memegang tangan Gendra.
Gendra sadar akan dunianya. Matanya mendadak kabur entah karena apa. Dan dadanya sakit, suara itu tercekat ketat di tenggorokan. Seakan menghalangnya untuk melontarkan sesuatu.
"Itu masih lama Gen, tujuh bulan lagi. Kamu masih bisa ketemu sama Windi dan teman-teman kamu yang lain." Seulas senyum ringan terukir di bibir Mama Gendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...