Masih seperti dulu. Jika kamu masih ada di sebelahku, buat apa aku takut melawan mereka. Karna kamulah yang akan membelaku
»»————><————««
Mata Alin bergerak. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Hal yang ia tangkap dulu adalah cahaya lampu, ketika dirinya menggeliat. Ada hal aneh yang tersentuh kulitnya. Alin menoleh ke kiri, terpampang jelas ada cowok tertidur di sebelahnya dalam keadaan duduk.
Alin mendudukkan tubuhnya, langsung saja kepalanya terasa pening. "Aww," ringis Alin memegang tangan kirinya. Dia tak sengaja menyentuh kaki Gendra dengan buku-buku tangannya sehingga sedikit sakit.
Allin tak akan tahu bila ringisan itu mampu membangunkan Gendra dari tidurnya. Dia menegakkan tubuhnya seraya mengucek mata. Terlihat Alin tengah melihat-lihat tangannya yang terluka.
"Lo ngapain?"
Alin terperanjat mendengarnya. Dia menoleh kbelakang dengan mata kaget. "Ngagetin ih ...."
"Kapan bangun?"
"Baru aja." Alin kembali menghadap depan, melihat-lihat lukanya yang diperban, entah apa yang menarik dari lukanya itu.
Gendra diam sejenak sebelum langsung mendekap Alin dari belakang, menaruh kepalanya di bahu cewek itu dengan wajah menghadap leher jenjangnya. Sementara Alin menegang, apa lagi yang akan dilakukan cowok itu saat ini.
"Gue minta maaf, andai gue paham akan permintaan lo buat bicara sendiri ke Sefi lebih cepat. Gue nggak akan nyakitin lo. Maaf udah bentak lo, maaf udah nampar lo, maaf karna gue terlambat menyadari. Gue nggak mau kehilangan lo Win, kita bisa jadi sahabat lagi 'kan? Windi adalah bayangan Gendra. Selamanya akan begitu."
Alin semakin tegang dibuatnya. Bagaimana tidak, cowok itu berbicara dengan deruan nafas jelas di leher. Rasanya geli dan ingin sekali menghindar, tapi sepertinya Gendra masih ingin lebih lama dalam posisi seperti ini.
"Udah gue maafin, lo juga maafin gue 'kan?"
Gendra mengangguk. "Pasti, nggak ada sahabat yang nyakitin sahabatnya sendiri. Sekali lagi maaf." Gendra semakin mengeratkan pelukannya.
"Iya Gen."
Gendra melepaskan pelukannya. "Masak gih, gue laper," suruhnya.
Alin membalikkan badan dengan tumpuan tangan kanan. Memicingkan mata pada cowok yang kini telah memposisikan diri untuk tidur. "Lo ajalah," lempar Alin.
"Gantian dong, dulu lo ke rumah gue yang masak. Sekarang gue ke sini lo yang masak. Atau lo nggak bisa masak ya?" tuduh Gendra menunjuk wajah Alin.
"Enak aja, bisa dong. Gue masakin dulu," protes Alin mulai turun dari ranjang. Mengangkat semua rambutnya ke atas seraya berjalan ke meja rias. Mengambil pita pink yang tergeletak di sana. Lalu ia ingat sesuatu, Alin menatap Gendra yang juga menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...