Terikat dari kecil
Terhubung satu sama lain
Menghilangkan rasa benci
Demi sambungan tali»»————><————««
Braak!
Bantingan antara punggung tas dengan meja belajar terdengar keras. Hari ini adalah hari tersialnya. Bagaimana bisa lelaki itu menjahilinya dengan sangat keterlaluan. Masalah plaster yang ia cabut darinya masih dapat diterima. Tapi tidak dengan menyembunyikan buku tugasnya. Nafas Alin memburu geram. Tak pernah ia mendapatkan hukuman dengan berdiri di depan kelas. Sangat memalukan bagi murid teladan sepertinya. Sebenarnya apa yang cowok itu mau
Flashback
"Alin, di mana buku tugas kamu?"
Raut wajah Alin mulai kebingungan. Ia tak ingin dihukum. Jelas-jelas pagi tadi ia sudah memasukkan buku tugas itu ke dalam tasnya. Tidak mungkin hilang begitu saja. "Maaf Bu, sepertinya ketinggalan."
"Berdiri di depan kelas."
"Tapi, Bu."
"Berdiri Alin."
Flashback
"Arrgh!" Mengingat dirinya di perintah seperti itu sangatlah memalukan. Ditambah pelaku sebenarnya adalah Gendra. Lelaki yang duduk sebangku dengannya.
Flashback
Pulang sekolah. Masih dengan raut dingin tapi dalam hatinya jengkel. Alin melewati koridor bersama lelaki yang sama sekali dirinya tak suka. Sikapnya yang seenak sendiri serta keras kepala. Membuat Alin semakin tak tahan untuk lebih dekat dengan Gendra.
"Gimana rasanya dihukum di depan kelas?" Pertanyaan yang menjengkelkan. Pandangan sinis Alin kembali lemparkan pada Gendra. Tak ada niat sama sekali dalam diri Alin untuk menyahuti pertanyaan bodoh itu.
Gendra terkekeh geli. Senang rasanya membuat raut aneh di wajahnya. Ditambah sikap dingin Alin yang kian menjadi. "By the way, gue ada sesuatu buat lo."
Tidak ada gemingan. Alin masih fokus pada jalan di depan. Malas dirinya untuk menanggapi semua ocehannya. Lalu Gendra menunjukkan sebuah buku tepat di depan mata Alin. Membuat kontan Alin berhenti berjalan. Gendra juga menghentikan langkahnya. Guna melihat apa ekspresi kesal yang Alin tunjukkan.
Hitungan ketiga. Buku itu sudah ada digenggaman Alin. Matanya memerah padam pada Gendra. "Lo ...." Suara Alin tertahan. Dadanya naik turun menahan gejolak emosi. "Ergh!" Satu pukulan mentah mendarat di perut rata Gendra. Kemudian Alin pergi meninggalkannya sendiri. Sementara Gendra menahan sakit. Serasa mampu untuk berjalan lagi. Gendra mengejar Alin.
Merampas tangan Alin ketika sudah dekat. Menyeret Alin masuk ke mobilnya. Daripada Gendra membiarkan cewek beremosi di tengah jalan. Yang ada orang lain kena imbas.
Flashback
"Cowok brengsek!" frustasi Alin melemparkan asal bantalnya. Cukup sudah. Dirinya tak mau lagi bertemu dengan cowok menyebalkan seperti dia. Dirinya lelah. Lelah karna sudah bertahan didekat Gendra.
➷➷➷
Berbeda jauh dengan Gendra. Ia senang dan bahagia. Melihat raut kesal di wajah sahabatnya. Mungkin lain kali dirinya akan melakukan hal itu lagi. Tapi ekspresi bahagia itu sirna ketika dirinya masuk rumah dan mendapati beberapa tamu duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.
Ayah Gendra lebih dulu mengetahui putranya. "Eh! Gendra. Kamu sudah pulang. Duduk dulu di sini."
Mau tak mau dirinya harus menuruti Ayahnya itu. Lebih dulu Gendra menyalami orang tuanya serta tamu di sana. Dan bersalaman dengan gadis cantik yang sepertinya seumuran dengan dirinya. Dia memang cantik, tapi tidak semanis sahabatnya. Cantiknya itu sungguh membosankan di mata Gendra. Kemudian Gendra duduk di antara kedua keluarga dan harus berhadapan dengan cewek itu.
"Sepertinya dia menantu idaman," seru lelaki paruh baya di sebelah kirinya. Gendra tebak, beliau adalah Ayah dari cewek itu. Tapi tunggu. Kenapa beliau malah membahas tentang menantu? Sebenarnya apa yang mereka bicarakan di ruangan ini. Tatapan Gendra beralih ke Ayahnya.
"Apa maksudnya ini Pa?" Rasa penasaran pun bergejolak.
"Gendra." Ayah Gendra menenangkan "Om Gino ini teman kerja Papa. Perusahaan Papa sukses karna bantuan Om Gino. Dan hari ini, Om Gino ingin kamu menerima perjodohan ini. Putri Om Gino juga tidak kalah cantik, namanya Flora."
"Perjodohan?!"
"Iya, kamu mau 'kan? Setidaknya kali ini kalian berpacaran dulu, setelah lulus bisa kalian pikirkan sendiri bagaimana ke depannya," tutur Ayah Gendra lagi.
"Pa, bukannya Gendra tidak menghormati kesuksesan kalian. Tapi Gendra punya pilihan sendiri."
Mama Gendra membenarkan duduknya. "Sayang, sekarang Mama tanya. Siapa cewek pilihan kamu?"
"Windi." Mungkin dengan jujur seperti ini. Perjodohan ini akan batal. Dengan seenaknya mereka menjodohkan dirinya. Apakah mereka tidak berpikir dengan pilihannya sendiri.
"Sayang, tapi Windi lu—"
"Windi nggak lupa sama Gendra, Ma. Memorinya saja yang belum pulih. Windi pasti bisa mengingat Gendra lagi." Keyakinan Gendra tidak akan runtuh. Dirinya pasti bisa mengembalikan semua ingatan Alin. Dengan terus berada di sampingnya. Bukan malah menjauhinya.
"Intinya, Gendra menolak perjodohan ini." Tatapan Gendra beralih ke Om Gino, menjelaskannya dengan sopan. "Maaf Om, Gendra menolak perjodohan ini. Tapi Gendra mohon jangan lepaskan kerja sama Om dengan Papa."
"Lagipula Flora cewek yang cantik. Dia masih bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih pantas di banding saya." Kemudian Gendra berdiri dengan menenteng tas ranselnya menuju kamar. Baru tadi dirinya bahagia menjahili Alin dan langsung disuguhi kejadian tak pernah terpikirkan ini.
Ia melempar tasnya ke atas ranjang. Berjalan menuju balkon dan duduk di kursi sana. Menatap depan dengan rasa kesal. Tidak seharusnya kejadian ini terjadi. Lagipula apa untungnya bagi Ayahnya jika putra mereka dijodohkan. Yang ada putra putri mereka tidak akan bahagia.
"Shit! Seharusnya Mama tahu perasaan gue."
➷➷➷
"Seharusnya gue nggak selalu dekat dengan dia."
Alin juga duduk di balkon menghadap depan. Merutuki kebodohannya yang selalu nyaman bila dekat dengan Gendra. Entah karna apa juga. Dirinya tidak bisa meredam emosi terlalu lama pada Gendra. Seakan lelaki itu memiliki daya tarik yang kuat terhadap dirinya.
Gendra dan Alin sama-sama menghembuskan nafasnya. Berusaha menetralkan emosi. Masalah mereka memang berbeda. Tapi sebuah ikatan batin mereka sama. Memikirkan satu sama lain apa perasaan mereka sebenarnya terhadap lawan jenis. Ditambah mereka memang selalu bersama sejak kecil. Saling menolong dan melindungi. Tidak ada yang bisa memutuskan sebuah ikatan di antara keduanya. Kecuali sebelah pihak memang benar membencinya.
Andai saja Alin ingat semua itu. Kemungkinan dirinya tidak seemosi ini menghadapi sikap Gendra. Alin ingin-ingat semua masa kecilnya. Ingin-ingat siapa Gendra sebenarnya. Sepenting apa Gendra di dalam hidupnya. Sehingga Alin dengan begitu susah untuk melupakan cowok itu. Apalagi di saat Gendra tidak masuk tiga hari kemarin. Seakan hidupnya hampa dan sepi tanpa Gendra.
Ah! Kenapa Alin justru memikirkan cowok menyebalkan itu. Sial.
➷➷➷
ʕノ)ᴥ(ヾʔ
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...