➹ 50. Tak Diharapkan ➹

90 8 0
                                    

Kerap kali suasana, batin, raga berpencar ke segela penjuru. Membentuk suatu rasa yang memang tidak ada yang mau menerimanya. Sabar dan ikhlas sering dijadikan patokan sebagai obatnya

»»————><————««

     Dari sebuah pertemuan yang sama sekali tak terduga. Rasa jengkel, kalut akan emosi, baikan, rasa cemburu buta, lalu sebuah kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Drama hidup seakan mendomiman, puluhan konflik menjalar. Kini, ketika dua hati telah saling terikat. Selalu ada gunting tajam di sekitar mereka. Yang siap untuk memotong. Memisahkan keduanya.

Malam menyeruak. Tapi dalam ruangan ini terasa terang benerang. Semua lampu tertancap rapi di langit-langit. Derapan kanan kiri depan belakang terdengar nyaring dengan suara gelindingan di roda koper mereka.

Tautan tangan di sebelahnya menjadi tatapan utama Alin. Mungkin beberapa menit selanjutnya ia tak akan lagi merasakannya. Lalu kedua kakinya terhenti di dekat pintu akhir semua. Tangannya masih menggenggam erat dia. Berhadapan seolah sama-sama tidak mau berpisah. Tepat di belakang Gendra ada keluarganya yang berjalan pelan menuju pintu pemisah itu.

"Lo janji 'kan akan ngubungin gue terus?"

Senyuman, pejaman mata, disertai anggukan sebagai jawaban dari pertanyaannya. "Sebelum gue pergi gue mau lo jangan lupain gue kayak dulu."

"Iya, ya udah sana pergi."

Tangan Gendra melepaskan tautannya. Beralih memegang pipi kanan Alin. Sedikit menurunkan kepalanya dan kiss. Hanya sekilas, namun utuh. Tidak seperti biasanya yang hanya setengah-setengah. Lalu kembali menegakkan tubuhnya dengan mata binar karna ia mendapati dua bola mata sempurna bulat. Senyuman lebar di bibirnya juga tersungging indah. "Andai lo lupa, gue nggak segan ngelakuin hal tadi."

Gendra kembali meraup tubuh Alin ke dekapannya dengan satu tangan. Sebagai tanda terakhir ia menjumpai dia di sini. Dan menunggu satu tahun untuk bisa kembali menemuinnya. Kemudian melepasnya dan merelakannya. "Bye."

Gelindingan roda di kopernya berdering menjauh diiringi derap langkahnya. Mata Alin kembali berair. Seolah dua balon beriisi air berada di dalam rongga matanya lalu tertusuk duri tajam. Bocor. Jatuh mengalir di tanah putih membuat aliran sungai yang semakin lama makin deras. Menyaksikan punggung itu menjauh dan hilang seketika.

"Gendra ...," lirih Alin masih diam di pijakannya dengan lalu lalang semua orang di sekitar.

➷➷➷

     Bayangan bangunan tinggi, pepohononan, tiang lampu dan listrik berjalan di wajahnya yang keruh tidak seperti biasanya. Jiwanya hilang, mungkin tersangkut di jaket lelaki itu dan ikut pergi bersamanya. Ia diam, menatap luar jendela yang kian larut akan malam. Pikirannya melayang, menerawang jauh waktu dirinya kali pertama bersahabat dengan cowok yang tepatnya hari ini kembali meninggalkannya.

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang