➹ 67. Jadian ➹

57 5 0
                                    

Memang terdengar pemaksaan
Tapi, hatimu tidak keberatan

»»————><————««


   "Hah!" Hembusan nafas Alin keluarkan. "Kenapa harus di tempat sepi ini sih?"

Kerutan di dahi Alin tercetak jelas. Bingung dengan sikap Gendra. Alin sudah mau untuk diajak ke sebuah tempat sepi. Yang di mana banyak rimbunan pohon di sisi-sisinya serta sebuah danau di depannya. Sekarang ini, mereka berdiri di sebuah ujung jembatan kayu. Dengan pemandangan langit yang luas.

Gendra menggenggam kedua tangan Alin. Mengajaknya untuk berhadapan. Kedua bola mata Gendra menatap lekat mata Alin hingga Gendra dapat berkaca di mata itu. Hari ini. Gendra akan mengungkapkan segala isi hatinya pada Alin. Tanpa perlu ditunda lagi. "Windi."

Alin diam. Ditatap lekat seperti itu. Membuat jantungnya berdegub kencang. Alin memilin bibirnya gugup. Tapi ia tetap berusaha mengontrol jantungnya. Dapat Alin rasakan bila nafas Gendra panas. "Paan?"

Hembusan pelan Gendra lakukan. "Lo emang lupa sama gue. Tapi hati lo nggak, Win."

Tangan kiri Gendra menuntun tangan Alin. Meletakkannya di dada kirinya. Agar Alin juga mengetahui bila dirinya merasakan hal itu. "Lo bisa ngerasain 'kan? Gue suka sama lo."

"Setahun ini gue nggak bisa berhenti mikirin lo. Andai gue tahu lebih awal kalau lo ngalamin kecelakaan, gue pasti dateng ke sini. Gue akan berusaha buat lo ingat, Win. Gue Gendra. Gendra Avrilo Akbar. Orang yang selama tiga tahun bareng lo. Tapi gue baru sadar kalau gue suka sama lo semenjak kita pisah SMP."

"Setelah gue tahu lo sekolah SMA di mana. Gue langsung pindah sekolah ke SMA 5. Buat apa? Buat bisa bareng lo lagi. Setahun kita bersama lagi. Tertawa bareng. K esana-kesini bareng. Kita bagaikan perangko dan surat. Nggak ada yang bisa misahin kita."

"Kemudian waktu kembali menghalang. Kita pisah setahun. Gue pikir. Setahun nggak akan mudah buat lo lupa sama gue. Tapi nggak. Lo ngelupain gue, Win. Padahal gue udah berharap banget lo akan senang gue kembali ke sini."

"Gue nggak berharap banyak, Win. Gue cuma mau lo inget sama gue. Udah itu aja. Hanya satu tapi bermakna banyak bagi gue." Tangan Gendra langsung menarik tubuh Alin ke dalam dekapannya. Mendekapnya erat. Gendra rindu tubuh mungil Alin.

Air mata Gendra merebas ke pipinya. Ia tak dapat menahan rasa sedihnya mengingat Alin sudah melupakannya dan orang tuanya akan menjodohkan dirinya. Meski Gendra menolak. Kemungkinan keluarga Flora tidak akan setuju. Gendra rasa, Ayahnya akan membujuk segala hal agar dirinya mau.

"Gue cinta sama lo, Win," isakan Gendra terdengar. Sesegukannya juga terdengar. Tapi detik berikutnya semua seakan berhenti. Sunyi. Tiba-tiba tangan Gendra perlahan meluruh. Perlahan juga kelopak matanya meredup. Entah kenapa kepala Gendra terasa sakit. Dunia ini seakan berputar baginya. Kedua retinanya berkali-kali ke atas agar matanya tak segera tertutup. Tapi semua sia-sia. "Win ... di."

"Gendra!" Secara kontan Alin memeluk tubuh Gendra. Karna tak kuasa menopang tubuh Gendra. Alin sampai terduduk untuk menahannya. Menaruh kepala Gendra ke pangkuannya. Dengan tubuh Gendra yang tengkurap serta kepalanya yang tertoleh ke arah danau. Alin menepuk pelan pipi Gendra. "Gen, bangun."

Kepala Alin ke sana-kemari sembari menyikap anak rambutnya ke belakang telinga. Di tempat seperti ini mana ada orang selain keduanya. Rasa panik menyelimuti Alin. Ia berkali-kali mencoba membangunkan Gendra. Tapi selalu gagal. Ketika tangan Alin tak sengaja memegang dahi Gendra. Spontan Alin langsung menjauhkannya. Menatap lekat Gendra. Dahinya panas. Alin mencoba memegang lehernya. Jauh lebih panas. Astaga!

Alin membungkuk. Telapak tangan kananya menangkup wajah Gendra. Mencoba berbisik di telinganya. "Gendra gue mohon bangun."

Mendengar samar-samar suara di dekat telinganya. Kelopak mata Gendra bergerak pelan. Selepas terbuka. Ia merasakan sesuatu yang dingin di dagunya. Tangan Gendra memegang sesuatu di dagunya itu. Setelah merabanya Gendra tahu. Lalu Gendra mendongkak. Matanya langsung terkunci dengan kedua bola mata Alin dengan jarak yang begitu dekat.

"Lo- lo nggak papa?" Nafas Alin juga tertahan ketika mengetahui jarak ini.

Senyum Gendra terulas. Dia membalik tubuh menjadi terlentang dan menahan Alin untuk tidak merubah posisinya. Gendra mencoba bersuara dengan parau. "Ada untungnya juga gue pingsan."

Barulah Alin menegakkan punggungnya. Melemparkan tatapan sinis pada Gendra. Baru saja dirinya merasa khawatir dan langsung tersuguhi kejengkelan kembali. "Udah ah! Yuk pulang."

Gendra menggeleng. "Gue belum ngomong ke intinya."

"Ya udah cepetan ngomong."

"Gue mau lo jadi pacar gue." Cepat, singkat dan jelas. Hanya satu kalimat mampu membuat jantung Alin kembali berdisko. "Gimana? Lo harus mau!"

"Hah?! Ini mah pemaksaan."

"Gue nggak maksa. Gue tahu lo bakal mau."

"Kepedean. Gue tolak."

"Masak?" Sebelah alis Gendra terangkat.

"Ya udah."

Gendra berusaha duduk. Meski kepalanya kembali pening. Ia tetap tahan. Mendekat ke arah Alin lalu kembali mendekapnya. Dapat Gendra rasakan deguban yang sama di jantung Alin. "Kalo emang lo nggak suka sama gue. Kenapa lo deg-degan?"

Spontan Alin mendorong tubuh Gendra menjauh darinya. Memegang jantungnya sendiri. Benar. Kenapa dirinya deg-degan? Tidak mungkin bukan jika Alin juga menyukai cowok menjengkelkan itu.

Gendra menahan tubuhnya dengan kedua tangan. Tangan kirinya langsung memegang pelipisnya. Helaan pelan Gendra hembuskan. Mencoba menahan rasa pusingnya. Alin yang melihat Gendra kesakitan. Langsung merangkak mendekati Gendra. "Maaf, gue lupa kalo lo demam."

Gendra kembali menangkap mata khawatir itu. "Kita akan pulang setelah lo mau jadi pacar gue."

Alin mendesah kesal. "Iya gue mau. Puas lo? Yuk pulang." Alin berdiri, hendak melangkahkan kakinya. Alin mengurungkannya. Menatap bawah di mana lelaki yang kini telah berstatus menjadi kekasihnya masih belum juga berdiri. Satu tangan Alin ulurkan. Tanpa Alin berucap Gendra pasti paham.

Lengkungan sebelah alis Gendra terlihat. Gendra sudah paham. Sudah pasti ia tengah mengerjai Alin. "Apa? Gue nggak bawa bunga atau coklat yang kayak di sinetron itu."

"Tapi gue bawa hati buat lo."

Decakan pelan Alin tunjukkan. Memutar malas bola matanya. Alin jadi tidak yakin bila Gendra tak tahu maksudnya. "Ayo! Gue bantu berdiri."

Gendra mengangguk. Mengulas senyum semanis mungkin. Menerima uluran tangan Alin kemudian berdiri. Rasa pening langsung menghinggap di kepala Gendra. Alin yang paham dengan kondisi Gendra. Langsung menjuntaikan salah satu tangan Gendra ke lehernya dan tangannya merangkul ke pinggang Gendra. "Masih bisa jalan 'kan?"

Gendra menggeleng. Ia merangkul Alin dengan kedua tangannya dari samping. Menelehkan kepalanya ke bahu Alin. Memejamkan kedua matanya. Biarlah Alin yang menuntun dirinya. "Lo bisa nyetir 'kan?"

"Bisa."

➷➷➷

ʕノ)ᴥ(ヾʔ

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang