➹ 64. Cukup Sekali ➹

54 5 0
                                    

Ketidakhadiranmu membuatku bimbang
Entah karna apa
Saat aku berada didekatmu
Justru kejengkelan yang aku dapatkan

»»————><————««

     Tiga hari sudah Alin duduk sendiri di kelasnya. Awalnya Alin berusaha untuk tidak peduli. Karna itulah keinginannya. Tapi sudah lima kali dirinya terus meliriki bangku kosong di sebelahnya. Di hati kecilnya ia ingin tahu apa yang terjadi dengan Gendra. Mungkinkah ini salahnya karna mengakui jika ia lupa akan Gendra. Tidak! Ini bukan salahnya. Lagipula ucapannya tempo hari sudah benar. Benar mengakui apa yang selama ini ia ingin lontarkan.

Jika Gendra tak menyukainya apa yang salah dari dirinya. Itu salahnya. Ah sudahlah! Alin rasanya ingin pergi jauh dari kehidupan ini. Kesal dengan semua drama yang terjadi di sini. Tidak ada yang logis. Semuanya aneh. Alin mengaduk es degannya dengan sedotan hijau. Pikirannya mendadak hilang. Hilang memandang bangku-bangku berisi di kantin ini. Kenapa rasanya sepi sekali jika tidak ada Gendra di sebelahnya.

Meski Citra dan Rilo ada di dekatnya. Serasa tidak klop dan plong jika Gendra tidak ikut serta. Setelah dirinya berada di sebelah Gendra, rasa jengkel menyelimuti. Sekaligus ada debaran di jantungnya. Alin pernah membaca sesuatu, entah itu apa. Yang dirinya ingat. Jika debaran jantung datang tiba-tiba di saat ada lelaki di dekatnya. Artinya ia jatuh cinta. Astaga?! Apa mungkin dirinya suka dengan Gendra itu?

Gelengan kepala Alin tunjukkan seraya menunduk dan sadar. Dirinya tak mau terjun ke hati cowok itu. Tidak ingin sama sekali. Lagi pun untuk apa dirinya peduli. Pergelangan tangan Alin terangkat. Menampakkan jam tangan kecilnya yang berwarna putih. Waktu di sana sudah menunjukkan sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Alin berdiri. Memberi perhatian pada Citra dan Rilo.

"Mau ke mana?" Semburan tanya langsung keluar dari bibir tipis Citra.

"Kelas."

Citra segera mencekal tangan Alin agar tidak pergi dulu. Gadis itu terhenti, menunjukkan kerutan lipat ganda di keningnya. "Duduk sebentar," suruh Citra menarik tangannya kembali.

"Apa sih?" sebal Alin, meski begitu dirinya tetap kembali duduk. "Paan?" tanyanya tak sabaran.

"Pulang sekolah kita mau ke rumah Gendra. Lo harus ikut."

"Nggak," tolak Alin langsung. Apa pedulinya sehingga harus menjenguk lelaki itu. Bukankah ini yang dirinya mau. Tapi sebongkah hati kecilnya ingin sekali menjenguk cowok itu. Tidak! Bantah diri Alin sendiri. Dirinya tak boleh ikut campur lagi dalam hidup Gendra. Berhenti di sini.

"Ayolah Lin, lo kan sahabatnya," keukeh Citra terus membujuk Alin agar mau. Dalam benaknya, Gendra seperti ini mungkin karna kejujuran Alin tempo hari. Dan itu membuat dirinya dan Rilo merasa bersalah karna terlambat memberitahunya.

Alin diam sejenak. Menimang-nimang keputusannya. Tidak ada pilihan yang dirinya mau. Menemui Gendra, sangatlah tidak mungkin. Jika tidak menemuinya. Ada keganjalan di hatinya. Dan itu terus mengganggu pikirannya. Shit! Umpat Alin dalam hati. Dirinya lemah dalam memilih keputusan. Salah satu kelemahannya. Memutuskan sesuatu.

Hembusan nafas Alin keluarkan perlahan. Mengontrol emosinya sebentar saja. Apa salahnya juga jika harus ke rumah itu lagi. Hanya menjenguknya, kemudian pergi. Beres. Oke. Alin sudah putuskan. "Apa kata nanti."

➷➷➷

     Hembusan angin sore menerpa. Gorden tipis melayang-layang. Sama seperti pikiran dan hatinya. Lampu tak kembali hidup. Penerangan datang dari luar jendela. Tak begitu terang. Duduk di balkon bersandar pintu balkon kaca. Wajahnya pucat pasi. Tatapannya kosong di depan. Terkurung sendiri di kamarnya selama tiga hari tanpa melakukan apa-apa. Tanpa membersihkan diri, tanpa menyentuh makanan, tanpa bertemu orang.

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang