Jika tidak tahu apa-apa
Tolong diam»»————><————««
"Menginap di sini?" tanya Om Aldo masih tak percaya.
Gendra mengangguk santai. "Iya Om. Gendra bosan di rumah, boleh ya Om?"
"Tapi bukannya calon tunangan kamu tinggal di sana ya, Gen? Kenapa kamu malah ingin menginap di sini?" tanya Tante Wahyu kelewat heran. Serta takut Mama Gendra akan salah paham pada keluarganya ini nanti.
"Justru itu Tan, aku nggak suka kalau Flora tinggal di sana. Cuma jadi parasit di hidup aku. Memangnya siapa juga yang menerima perjodohan itu," jawab Gendra, seakan orang tua Alin juga orang tuanya.
"Kalo keluarga kamu salah paham gimana, Gen?" tanya Alin akhirnya setelah diam cukup lama di sebelah Gendra.
"Ya tinggal dijelasin aja apa susahnya sih," jawab Gendra lagi, kelewat enteng.
Om Aldo mengangguk. "Terserah kamu saja. Yang penting keluarga kita tidak mau tanggung jawab kalau-kalau Ayah kamu marah."
"Jadi, boleh Om?" tanya Gendra memastikan.
"Iya," jawab Om Aldo.
"Makasih Om, akhirnya," seru Gendra lebay.
"Kamu mau tidur di mana, Gen?" Tante Wahyu kembali bertanya.
"Satu kamar sama Windi."
Kontan Alin melotot pada Gendra, dengan seenak jidat lelaki itu mengucapkannya tanpa harus disaring dulu. Tidak tahu apa jika tatapan kedua orang tuanya tengah menyelidik.
Gendra yang kelewat paham pun angkat suara. "Santai aja Om, Tan. Gendra nggak akan apa-apain Windi kok. Lagipula pas di rumah aku Windi tidur satu ranjang sama aku. Nggak ada apa-apa kan?"
"Tapi kan ... Gen." Tante Wahyu nampak khawatir, seolah waspada pada cowok remaja itu.
"Tenang Tan, seandainya Windi hamil kan Gendra bisa langsung nikahin dia. Gampang toh," jawab Gendra. Otaknya memang setumpul pensil bangunan.
"Udahlah, Gen. Ngomong sama lo nggak ada gunanya," kesal Alin. Ia berdiri, menarik tangan Gendra untuk segera pergi. "Kita ke atas, Yah."
Tante Wahyu merubah posisi duduknya menghadap suaminya. "Yah, yang Bunda takuti itu Papanya Gendra balik menyalahkan Windi."
Ayah Alin menatap sang istri. Beliau nampak biasa saja. Seolah semua akan baik-baik saja. "Tenang aja Bun, Gendra pasti bisa ngatasin semua itu. Ayah percaya sama dia."
"Terserah Ayah deh, kalau terjadi apa-apa Ayah ya yang tanggung jawab. Bunda nggak ikut-ikutan." Tante Wahyu menegaskan.
"Ayah juga nggak ikut-ikutan, itu urusan mereka. Urusan Ayah itu yang satu ini." Dengan seenaknya Om Aldo menyambar pipi tante Wahyu kemudian pergi.
"Ayah ...," kesalnya.
➷➷➷
Dok dok dok
Gedoran itu Alin berikan untuk pintu kamar mandinya. Alin tidak terima ini. Dirinya dulu yang bangun justru Gendra yang masuk kamar mandi duluan. "Cepetan dong."
"Belum juga nyentuh sabun," teriak Gendra dari dalam.
Alin mendengus. Ia menghentikan gedorannya. Beralih duduk di tepi ranjang, menunggu pastinya. Alin benci menunggu-nunggu seperti ini. Sungguh membosankan, lantas dia merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit begitu lama. Seakan di atas sana ada yang lebih menarik baginya. Kedua mata Alin tertutup. Dirinya masih tak percaya, hanya dengan sekali kecupan penuh di bibir dapat memulihkan ingatannya yang hilang. Bahkan ingatan itu semakin kuat menurutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...