Mentari bersinar cerah
Kenapa wajahmu tidak?
Seolah perlakuan ini tak lumrah
Apa kau tidak menyukainya?»»————><————««
Bulan menampakkan dirinya dengan cantik. Bentuk sabitnya sebagai mahkota langit. Butiran dayang di sekeliling menambah keagungannya. Dan mata itu menatapnya detail. Berdiri di balkon dengan kedua tangan menyangga di pembatas coklat. Piyama pendeknya sudah siap untuk dipakai tidur. Tapi mengingat pembicaraan Tante Nina siang tadi. Membuat kantuknya sirna begitu saja.
Flashback
Taman belakang yang indah. Kedua perempuan berbeda umur ini duduk bersisian di kursi santai anyaman hitam putih. Udara sejuk disertai kicauan burung peliharaan beliau menambah kesan keasrian di rumah mewah ini.
"Windi, Tante tahu kamu lupa ingatan karna kecelakaan setahun yang lalu." Tante Nina langsung menuju topik pembicaraan.
Tatapan Alin begitu saja teralih langsung pada wanita di sebelahnya yang menatap bunga-bunga bermekaran. Siapa yang memberitahu dia? Ya, mungkin saja Bundanya. Entah kenapa otaknya langsung tertuju ke sana. Jadi, sekarang sandiwaranya lenyap. Untuk apa dirinya berpura-pura ingat jika wanita di sebelahnya ini sudah tahu kebenarannya.
Tante Nina menoleh ke samping. Kedua bola matanya langsung bertemu dengan gadis manis itu. Senyum sabitnya timbul. "Kamu pasti bertanya kenapa Tante bisa tahu 'kan?"
Alin diam. Tak menjawab atau melakukan apa pun selain menatap wanita itu. Mungkin ujung-ujungnya nanti beliau akan menjawab dari salah satu keluarganya. Ya sudahlah. Tapi jika anak beliau sampai tahu apa yang terjadi dengannya. Akan gawat urusannya nanti. Alin diam tak menunjukkan rasa gusar di dadanya.
"Bunda kamu yang beritahu Tante."
Kan!
Tante Nina kembali menatap depan. "Jika Tante, Balqis, dan Om Arya tahu kalau kamu lupa ingatan. Tidak akan menjadi masalah. Tapi Gendra." Tatapannya kembali mengarah ke mata Alin. Alin bisa melihat kedua mata itu tengah berkaca-kaca
"Dia sayang sama kamu. Dia teman kecil kamu, selama tiga tahun kamu menjadi teman spesialnya. Kalian berpisah tiga tahun ketika memasuki SMP. Tapi Gendra dengan gencar mencari sekolah SMA kamu. Alhasil bertemu, kalian bersama kembali di kelas sepuluh. Dan kembali berpisah saat memasuki kelas sebelas."
"Andai pekerjaan Om Arya bisa ditunda sebentar. Mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Kamu kecelakaan sehabis pulang dari bandara mengantarkan kami, Win. Tapi apalah daya, Yang Maha Kuasa sudah menentukan takdir seperti ini."
Tante Nina menunduk. Menyeka serebak air di pelupuk matanya. Dirinya merasa bersalah mengingat cerita dari sahabatnya, Wahyu mengenai putrinya. "Tapi sudahlah, kamu masih mengingat Gendra, bukan?"
Kini giliran tatapan Alin yang menunduk. Jadi, ini yang dirinya dapatkan setelah menunggu penjelasan Bundanya dua hari yang lalu. Logis. Tapi dirinya tidak dapat mencerna semua kata-katanya. Teman spesial? Selain sahabat, berarti dirinya adalah perempuan yang diunggulkan di kehidupan Gendra. Dan dirinya dengan tega akan membalas suatu perbuatan yang datang dari mimpi. Jahatkah dirinya?
"Windi, masih ingat sama Gendra 'kan?" Tante Nina kembali bersuara saat tidak mendengar sebuah suara di sebelahnya.
Alin berdiri, tetap menenggelamkan wajahnya. "Aku pulang dulu, Tan," pamit Alin mengambil tasnya di kursi. Tanpa jawaban dirinya sudah melenggang pergi dari rumah ini. Sempat juga dirinya melihat seorang lelaki berdiri tak jauh darinya. Bodoh. Alin masa bodoh pada cowok yang menganggap dirinya wanita spesial. Alin tetap melangkah cepat keluar rumah. Berlari menuju rumahnya. Tak perlu dirinya susah-susah menunggu taxi.
Flashback
Alin melangkah meninggalkan balkon. Duduk di tepi ranjang memandang kosong meja belajarnya. Kenapa masalah seakan terus berdatangan padanya. Terutama cowok itu. Jika sudah tahu sisi lain dari cowok itu. Bagaimana dirinya bisa membalas kekesalannya pada Gendra. Cowok itu terlalu baik. Meski sekarang dirinya tidak merasakan perlakuan manis darinya. Tapi hatinya begitu terhenyak mendengar penuturan Tante Nina.
Kata-kata seorang Ibu memang mujarab. Bisa terkabul bila memang tujuannya baik bagi sang buah hati. Ribet sudah masalahnya. Mau direncakan bagaimanapun. Mungkin Gendra akan sabar menghadapinya. Contohnya tadi siang, dirinya berkata dingin dan kasar pada Gendra di mobil. Tapi tetap saja lelaki itu sabar menghadapinya.
Jika dicoba membuat lelaki itu kesal. Alin akan lihat apa yang terjadi. Semisal dia pasti marah. Sampai mana kesabaran dia menghadapi sikapnya yang di matanya berubah. Alis Alin terangkat sebelah membentuk bulan sabit di luar sana. "Gue harus bisa buat lo kesel sama gue. Kalau bisa pergi jauh-jauh."
Tubuhnya terpelanting ke belakang dengan telapak kaki masih menyentuh lantai. Di otaknya memikirkan sebuah rencana yang akan membuat Gendra kesal padanya. Suatu hal yang dingin, seperti tidak menghiraukan ucapannya atau hal yang lebih membuatnya tak betah berada di sebelahnya.
"Gue pasti bisa buat lo pergi jauh-jauh dari mimpi dan kehidupan gue."
➷➷➷
Ayam berkokok keras. Sinar mentari turun melewati sela-sela jendela serta pantulan kaca. Menyinari wajah yang masih saja terlelap. Mungkin kelelahan karna semalam terlalu memikirkan hal yang tidak penting bagi semua orang. Tapi penting bagi dirinya. Sebenarnya dirinya sudah terbangun, tapi terlalu malas untuk membuka matanya, apalagi harus menyentuh air. Lagipula sekarang tanggal merah. Suatu hal yang wajib untuk berkelung di bawah selimut tebal kesukaannya.
Pintu berdecit. Alin tahu ada seseorang yang datang. Palingan juga Bundanya, sebentar lagi mungkin akan duduk di sebelahnya, menggoyangkan tubuhnya serta memanggil namanya agar terbangun. Bodoh amat, dirinya tidak akan bangun. Bermalas-malasan seperti ini lebih menyenangkan dibanding beraktivitas diluar.
Bruuk!
"Windi bangun!" teriak Gendra sehabis melompat ke ranjang Alin. Melompat-lompat seperti anak kecil di sebelah Alin. Membuat kasur itu tenggelam dan muncul berkali-kali. Serta guncangan hebat bagi Alin yang sangat malas. Beberapa detik dirinya tidak peduli dengan enjakan di kasurnya. Nanti juga lelaki itu akan pergi sendiri jika sudah lelah.
Semenit kemudian Gendra menidurkan tubuhnya di sebelah Alin. Menatap gadis manis itu dari dekat. Rasanya aneh saat menatap Alin tertidur dengan pulas. Dadanya naik turun karna merasa lelah lompat-lompat di pagi hari. "Windi ... bangun dong."
"Kita lari pagi yuk."
"Hm," gumam Alin sembari mengangkat selimutnya melebihi kepala. Jantungnya mendadak tak karuan saat ditatap dekat olehnya. Entah itu benar atau tidak, tapi dirinya merasakan itu.
"Bangun atau gue bertindak?"
"Bodoh," jawab Alin tanpa mengubah posisinya.
Gendra mendudukkan tubuhnya. Menarik kasar selimut Alin hingga terjatuh ke lantai. Alisnya terangkat saat gadis itu melotot padanya. Senyum licik terbit di sudut bibirnya. "Lari pagi yok, jarang-jarang loh gue ngajak lo."
"Enggak," keukeh Alin memiringkan tubuhnya, mengambil guling dan memeluknya erat.
Tidak ada pilihan lain. Gendra turun dari ranjang. Berkacak pinggang di sebelah Alin. Merampas guling itu lalu menggendong Alin ala bridal style ke kamar mandi.
"Turunin!" teriak Alin terus memukuli dada Gendra dengan keras.
"Suruh siapa lo nakal. Sekarang mandi dan bersiap." Gendra baru menurunkan Alin tepat di bawah showwer. Dengan senyum dia menyalakan showwer sampai air itu jatuh di atas Alin dan mengguyur tubuhnya.
Ia masih berdiri di hadapan Alin. Memperhatikan wajahnya yang gelagapan karna yang keluar adalah air dingin. Tak lama tatapannya terbalas dengan diamnya Alin. "Apa lo liat-liat? Puas?"
➷➷➷
ʕノ)ᴥ(ヾʔ
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Novela JuvenilBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...