➹ 77. Awal Dari Semua ➹

58 7 0
                                    

Masa depan selalu tak terduga

»»————><————««

   Setelah lama memikirkan cara matang untuk menyingkirkan Alin. Akhirnya Flora menemukan titik terang. Ia dengan yakin bila rencananya ini berakhir baik bagi dirinya dan keluarganya. Rencana ini Flora lakukan lusa. Dapat Flora prediksi, Alin tidak akan lagi menampakkan wajahnya di hadapan Gendra ataupun keluarganya. Sangat yakin.

Meski acara pertunangannya tidak dapat di majukan. Tidak masalah bagi seorang Flora. Dengan berjalannya rencana ini, maka Alin tidak akan bisa menghancurkan acara pertunangannya yang akan diadakan empat hari lagi. Tinggal hitungan jari, maka keluarganya akan bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Yaitu menguasai perusahaan Ayah Gendra.

"Liat aja Win, lo nggak akan bisa ngalangin rencana gue lagi. Semua terkontrol dan terkendali di tangan gue. Termasuk kehidupan lo."

"Besok adalah hari terakhir lo tampil di hadapan Gendra."

➷➷➷

     Om Arya terdiam termenung di kursi kantornya. Ponsel hitamnya ia putar-putar selalu, otaknya masih bercabang dengan ucapan putranya kemarin. Apa mungkin mereka, satu keluarga mempunyai siasat tertentu dengan memanfaatkan putri cantiknya? Entahlah, beliau hanya dapat menerka-nerka. Jika dirinya bertindak gegabah, siapa tahu itu hanya bujukan putranya. Atau memang benar adanya?

Beliau membenarkan posisi duduknya menjadi bersandar di kursi rajanya. Hari ini tidak ada meeting atau pertemuan dengan klien. Jadi dirinya agak bersantai sedikit. Setidaknya ada waktu bagi ia untuk memikirkan ulang dengan acara perjodohan ini.

Di setiap keputusan pasti ada resiko. Hanya kalimat itu yang terngiang di otak Om Arya. Beliau mencoba menerawang masa depan. Seandainya perjodohan ini dilakukan dengan Gendra yang merasa terpaksa dan Alin yang merasa kehilangan. Tunggu! Om Arya kembali menegakkan tubuhnya. Ia hampir melupakan sesuatu. Alin.

Gadis itu adalah sahabat putranya sejak kecil. Ke mana-mana selalu bersama. Kemudian terpisah di SMP. Sampai lulus Gendra diterima di SMA Negeri 2, tiga bulan ke depan Gendra meminta untuk pindah sekolah ke SMA Negeri 5. Di sana ia kembali berteman dengan Alin. Lalu terpisah lagi ketika kenaikan kelas 11 Gendra ia ajak ke luar negeri untuk satu tahun. Dan tahun ini, hubungan kedua sahabat itu semakin dekat sampai Gendra berani menyentuh gadis itu.

Gendra keukeh menolak perjodohan ini dengan alasan bila ia mencintai sahabatnya itu. Dan ingin terus berada di sebelah gadis itu. Sampai di sini, beliau menyimpulkan. Bahwa Gendra memang tidak menyukai Flora, secantik apa pun gadis itu. Sementara dirinya, agresif ingin menjodohkan Gendra dengan alasan Ayah Flora akan membantu perusahaan yang berada di ambang kehancuran ini. Karna ada karyawan bendahara perusahaan yang korupsi hampir 45℅ dari uang kantor. Maka, uang perusahaan ini membutuhkan kas secepatnya. Di saat itu juga Ayah Flora datang dan menawarkan bantuan dengan perjanjian anaknya dijodohnya dengan Gendra.

Oke! Dirinya sadar. Bila Gino yang awalnya menjadi karyawan biasa di kantor ini. Dengan gampang membalik telapak tangan ia menawarkan bantuan itu. Bila dipikir secara logika. Dapat darimana uang itu? Perlukah ia memperdalam pengetahuan tentang asal-usul Gino?

Tanpa pikir panjang. Om Arya segera bangkit dan menghampiri ruangan Gino di ruang khusus. Tidak seperti bulan-bulan kemarin yang bergabung dengan karyawan lainnya.

Tanpa permisi Om Arya langsung membuka lebar pintu kaca blur itu. Terlihat Om Gino yang tengah duduk di kursi kerja dengan membelakangi dirinya. Sepertinya dia tengah mengobrol melalui telepon. Om Arya diam dulu tanpa menimbulkan suara. Ia ingin memperhatikan apa yang diucapkan oleh lelaki itu.

"Aduh ... Flora, kamu itu bisa hemat sedikit nggak? Bukannya kemarin sudah Papi transfer sepuluh juta? Masa iya sekarang kamu minta lagi?" omel Om Gino masih dengan posisinya. Seakan tak sadar dengan seseorang di belakangnya.

"Pi! Cuma minta lima juta lagi kok. Jangan pelit deh. Atau Papi mau Flora nggak bujuk Gendra? Mau?"

"Oh ... jadi kamu ancam Papi dengan tidak lagi membujuk Gendra? Gitu? Memang kamu mau hidup pas-pasan lagi? Iya?!"

"Ugh! Intinya Flora minta lima juta lagi."

"Iya iya, Papi tranfer sekarang. Tapi jangan lupa dengan tugas kamu buat Gendra suka sama kamu."

"Iya Pi."

Selanjutnya Om Gino menurunkan ponselnya dari daun telinga seraya memutar kursi kerjanya menghadap depan. Yang awalnya santai, kini berubah tegang ketika mengetahui ada seseorang yang mengintip pembicaraannya tadi. Beliau meneguk salivanya dengan tatapan tak percaya.

Jangan bilang dia mendengar semuanya, batin Om Gino.

Beliau tersenyum menanggapi ketegangan di wajah Om Gino. "Maaf Pak, saya lupa mengetok pintu. Ini ada berkas yang sudah kami selesaikan."

Karyawan cantik itu menghampiri lebih dekat meja Om Gino. Meletakkan tumpukan tiga map beda warna di hadapan Om Gino. Tersenyum kemudian berbalik lagi untuk keluar ruangan.

"Eh tunggu," cegah Om Gino, membuat karyawan itu terpaksa berbalik arah di tempatnya.

"Iya Pak, ada apa?"

"Kamu ... dengar pembicaraan saya tadi?"

"Maaf Pak, saya tidak tahu jika bapak tengah menghubungi seseorang tadi."

Akhirnya Om Gino bernafas lega. "Ya sudah, kembali bekerja."

"Baik Pak."

Setelah karyawan tersebut pergi. Om Gino benar-benar bernafas lega. Setidaknya tidak ada yang tahu rahasia ini selain keluarganya.

➷➷➷

     Mobil mewah putih terparkir rapi di parkiran cafe. Ia segera masuk ke tempat tersebut dengan otak memikirkan kata-kata itu.

Hidup pas-pasan lagi? Batin Om Arya, apa maksudnya?

Beliau duduk di meja pesanannya. Tidak terlalu jauh dari pintu utama cafe. Om Arya menunggu resah putranya. Ia ingin meminta bantuan pada putranya itu untuk menelusuri lebih lanjut siapa Gino sebenarnya.

Senyum tipis Om Arya akhirnya timbul kala melihat Gendra datang dan duduk di hadapanya.

"Ada apa lagi, Pa?" tanya Gendra, nadanya sedikit melunak. Tidak seperti pertemuan awal itu.

"Bisa bantuin Papa?"

"Bantu apa?"

"Cari tahu seluk beluk keluarga Flora. Ada sedikit keraguan di hati Papa, Gen."

Kernyitannya dahi timbul. Gendra menjadi penasaran. Kenapa Ayahnya tiba-tiba mengatakan itu.

"Kamu bisa 'kan?"

Meskipun rasa penasaran itu tetap berkecamuk. Gendra langsung menurunkan dagu, dengan kata lain dia menyanggupi keinginan Ayahnya.

"Kenapa Papa tiba-tiba mau Gendra menyelidiki kehidupan Om Gino?"

"Tadi, ketika Papa menghampiri ruangan Gino. Papa sempat dengar dalam pembicaraan dia dengan orang di ponselnya. Yang Papa dengar, dia hidup dalam serba pas-pasan. Tentu orang yang mendengarnya akan berpikir macam-macam. Kenapa orang konglomengrat seperti itu bisa berpikir bila hidupnya pas-pasan."

Gendra memotong, "Apa Papa pernah ke rumahnya?"

Om Arya menggeleng pelan.

"Ya udah Pa, nanti Gendra cari tahu."

Om Arya tersenyum tipis. "Terima kasih ya."

Untuk kesekian lama akhirnya Gendra menunjukkan senyumannya. Walau itu senyum yang tipis, Om Arya masih bisa memakluminya.

➷➷➷

ʕノ)ᴥ(ヾʔ

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang