Ketika rasa timbul dengan figur baru dan masih ada lampauan lalu
»»————><————««
Semua bersorak bahagia, kelulusan kembali merayap dalam hidup mereka dan ini untuk kedua kalinya. Masuk ke jenjang lebih tinggi, Sekolah Menengah Akhir. Ada yang bahagia, histeris karena akan berpisah dan ada juga yang sudah merebaskan air di mana-mana. Berbeda dengan gadis mungil itu, dia hanya duduk manis di kursi putih besi sendirian. Menjauh dari keramaian yang ada, cewek itu memang susah untuk diajak ke keramaian. Karena memang tidak suka berbicara banyak, cukup teman paling akrabnya saja yang dapat mendengarkan cerita panjang lebarnya.
Gadis berzodiak pisces itu menatap kosong depan, untuk kedua kalinya dia akan berpisah dengan cowok yang dia sukai selama setahun ini. Tidak banyak yang terjadi, sebab lelaki itu sangat pendiam, tidak seperti ... cowok di masa SDnya. Yang selalu membantu dirinya dalam hal pembullyan. Oke, ia akui bahwa di SMP ini hampir tidak ada pembullyan, hanya saja di kelas delapan dia kembali mendapatkannya.
Entah apa yang terjadi waktu itu, intinya dia merasa seakan kembali ke lampau. Dalam hati dirinya berdo'a agar di masa SMA nanti ia dapat bertemu dengan teman yang lebih bersolidaritas daripada ini. Yang masih memiliki sifat kekanak-kanakan, tidak mau mengalah satu sama lain. Dan berharap juga orang tuanya tidak akan salah pilih dalam memilih sekolah untuknya. Ia tak mau kembali melihat keluarganya bertengkar gegara bingung memilihkan sekolah untuknya karena nilai yang rendah. Tapi kali ini, ia yakin akan masuk ke SMA favorit, nilainya sekarang tengah melonjak sebab hasil dari kerja kerasnya selama ini.
Seorang gadis berhobi menulis diary itu selalu membandingkan antara hal lalu dan sekarang. Dia banyak belajar dari kejadian masa lalu, ada susah, senang, terpuruk, dan bagaimana merasakan apa itu bahagia. Seingatnya, dirinya hanya bahagia setelah mendapat kejuaraan di mana-mana. Dalam hal olimpiade, menulis, membaca, hingga paduan suara ia ikuti semua dan membuahkan hasil manis.
Dirinya memang bahagia, Tante, Om, Nenek, semua bahagia, kecuali keluarga kecilnya. Setiap kali dirinya menang, seharusnya mereka bahagia, tambah menyemangati dirinya dalam hal akademik atu non akademik. Tapi ini apa, justru hal ini yang membuat ia semakin down untuk melakukan hal. Tanpa adanya pujian, seruan seperti yang ia harapkan, hadiah, atau apa, dirinya tak mendapatkannya secuil pun dari orang tua. Tapi bagaimana jika kedua adiknya yang mendapatkan itu? Tas, adiknya dapat karna menang membaca tartil sekota. Sepatu, adiknya dapat ketika olimpiade IPA menang. Diajak jalan-jalan adiknya dapat ketika dia berulang tahun.
Inilah yang membuatnya muak, selalu diasingkan. Kapan dirinya dapat itu semua? Tidak bisakah mereka adil? Dirinya juga putri pertamanya. Kenapa selalu terasingkan? Setiap kali ia bertanya baik-baik, mengapa dirinya tidak pernah diperlakukan manis seperti itu? Lalu mereka selalu menjawab,"Dirimu sudah besar, seharusnya mengalah pada adik-adikmu. Dulu kamu juga pernah mendapat perhatian seperti ini. Tidak bisakah dirimu berpikir dewasa?"
Meski nada suaranya lembut bak melodi, tetap saja kata itu sumbang di telinganya. Dirinya akui ia iri, iri pada saudara kandung sendiri. Ia ingat bagaimana dulu ketika masih berumur empat tahun hingga sekarang, dia ingat betul kejadian detailnya.
Dari dulu dirinya pendiam, tidak suka diajak mengobrol. Banyak sekali hujatan dan bullyan pada dirinya dulu karna dirinya tak bisa apa-apa. Dulu ia memang bodoh, matematika saja pernah mendapatkan nol. Tapi sekarang, di saat dirinya sudah menguasai hal itu, kenapa tidak ada penghargaan? Kenapa semua terasa seakan sia-sia bagi dirinya. Hanya demi mendapatkan kebahagiaan dari orang tuanya, ia ingin menyimpan barang hasil peberian Ayah atau Mamanya. Ia ingin memeluknya sambil berkata, "Aku anak kalian, tidak bisakah kalian paham dengan perasaanku yang selalu hancur kala melihat hanya adikku yang mendapatkan kasih sayang itu?"
➷➷➷
Surga di telapak kaki ibu, semua tahu akan itu. Jangan membantah perintah orang tua, dengarkan nasihatnya dan ingat larangannya. Semua anak pasti pernah mendengar itu dari mulut ibu mereka. Serta belaian kasih sayang diujung kepala mereka dan kecupan manis di kening dan pipi mereka. Sadarkah mereka masih ada seorang anak yang belum mendapatkan itu sebelum ibu mereka pergi dari hadapannya?
Saat ini gadis berambut sebahu hitam lurus memandang pemandangan itu. Bisakah ia menempati posisi itu? Yang di mana ibunya membelai sayang rambutnya dan mengucapkan, "Belajar yang rajin biar dapat juara."
Tapi dirinya sudah mendapatkan banyak juara, sertifikat dan pialanya sudah menghiasi ruang tamu dan kamarnya. Masih kurangkah itu semua?
"Hai, Lin," sapa teman sekelasnya dengan menepuk bahu kiri dan memutari tubuh belakangnya untuk duduk di kursi depan.
Dengan senyum simpul Alin membalas, "Hai."
Singkat, namun banyak pengartian. Dari segi nada dan perasaan, itu menurut Alin. Memang, satu kata sangat tak berarti bagi orang yang tak menyadarinya. Tapi Alin sangat paham akan tiga huruf itu.
"Hai Lin, tumben pagi," seru Rilo langsung duduk di sebelah Alin yang hanya dibatasi oleh jalan para murid.
Kali ini Alin menaruh pandangan penuh pada cowok itu, cowok yang selalu membantunya dalam hal sekecil pun. Membuat dirinya kembali teringat pada sosok cowok masa SDnya. Tapi bedanya cowok itu lebih banyak tingkah. Sedangkan dia, tidak banyak bicara dan tingkahnya sangatlah bermanfaat. Tentu banyak yang mengincarnya sampai ia sendiri tak boleh berdekatan dengannya. Padahal cowok itulah yang lebih dulu mendekatinya dan mengajaknya ngobrol basa-basi.
"Yee, malah diem. Jawab apa kek," kata Rilo menyenggol bahu Alin.
Entah sejak kapan cowok itu sudah duduk lebih dekat dengannya. Alias menempati bangku Citra yang duduk di sebelahnya. Terpaksa Alin menoleh padanya dalam jarak sedekat ini.
"Nggak papa." Rilo memanyumkan bibirnya kala Alin kembali menatap soal-soal di hadapannya, setidaknya bisakah cewek itu peka sedikit mengapa dirinya berbuat seperti ini.
"Lin, gue punya buku baru loh, novel dari penulis yang debut di bulan ini. Dia seumuran kayak kita, orang Jakarta pusat," cerocos Rilo ingin membuat Alin kembali memperhatikannya, setidaknya berilah respon.
Alin kembali menatap Rilo datar. "Gue boleh lihat bukunya?"
"Nih." Rilo menggeser buku novelnya ke hadapan Alin.
Alin melihatnya sekilas, dia langsung menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Berani-beraninya dia menunjukkan buku yang bercover menyeramkan itu. Ditambah warna darah dan hitamnya mendominan. Seakan buku itu asli terlumur darah.
"Rilo, buang buku itu," kata Alin tetap pada posisinya.
"Nggak mau, ceritanya bagus kok, malah gue nangis bacanya," kata Rilo malah mengambil alih buku itu dan membaca halaman terakhir yang ia batasi dengan pembatas buku.
"Kalau gitu gue pergi," kesal Alin beranjak dari tempatnya, dia berjalan murung ke luar kelas, bel masuk masih lama juga.
"Eh," seru Rilo spontan menaruh buku itu di meja sebelum mengejar Alin sebelum cewek itu pergi jauh.
"Udah tiga bulan kenal masa nggak ingat kalo gue benci cerita horor, dia tu— aduh ...." Omelannya berakhir kala tak sengaja menabrak dada seseorang dan berakhir dirinya yang jatuh duduk.
Terlihat sebuah tangan besar mengulur di hadapan Alin, tanpa melihat wajahnya ia langsung mengambil uluran tangan itu dan berdiri kembali. Dia sibuk membersihkan roknya yang sedikit kotor. "Maaf ya, gue nggak senga—"
Apa ini? Batin Alin berkecamuk tak karuan. Ia sampai menghentikan permintaan maafnya. Antara senang, sedih, kesal, dan lainnya. Mata mereka bertemu setelah bertahun-tahun lamanya. Seakan waktu berhenti untuk keduanya dalam tatapan satu sama lain.
"Ge-Gendra ...?"
➷➷➷
ʕノ)ᴥ(ヾʔ
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...