➹ 62. Bimbang ➹

55 6 0
                                    

Sebuah keputusan kubuat
Kemudian penyesalan tiba
Kenapa? Ia pun tahu

»»————><————««


   Alisnya mendatar menyatu. Manyuman bibir tercetak jelas. Tatapan sinis ke sana kemari. Termasuk cowok di sebelahnya. Lari pagi hari ini membuatnya tidak sehat, melainkan kesal. Cowok itu dengan berani menggendong dirinya sampai masuk ke kamar mandi. Dan sampai bisa dibilang memandikan dirinya. Sahabat macam apa jika memperlakukan dirinya dengan tidak senonoh itu. Untung dirinya cepat sadar dan mengusir cowok itu dari kamar mandi. Sebelum dirinya terlucuti olehnya.


Larinya standart saja. Alin tahu kakinya tak sebegitu panjang. Tapi kenapa lelaki di sebelahnya terus mengimbangi larinya yang dapat dibilang lambat. Seperhatian itukah dia padanya. Sepertinya Alin harus pandai memilih suasana dan tempat untuk membuat lelaki di sebelahnya ini kesal.

Kaki Alin dengan begitu saja melangkah cepat di depan Gendra. Berusaha tidak sejajar dengan langkah cowok itu. Detik berikutnya Gendra sudah ada di sampingya lagi. Alin kembali mempercepat larinya. Detiknya lagi, Gendra sudah ada di sampingnya. Terus saja begitu sampai berhenti. Alin terhenti di dekat minimarket karna merasa lelah. Dan nafasnya juga tersenggal-senggal.

Gendra tersenyum di sebelah Alin. "Itu yang lo bilang lari?" remehnya.

Alin membungkuk memegang kedua lututnya. Dadanya naik turun tak terkendali. Sampai hembusan nafas kasar ia keluarkan. Menegakkan tubuhnya dengan menekan pinggang. Agak mendongkak menatap dingin cowok itu. "Gue sadar kalo kaki gue pendek."

Mata Gendra meneliti dari ujung sepatu Alin, lutut, pinggang, dada, leher, sampai ujung kepalanya. Lalu alisnya terangkat dengan lengkungan ke bawah sudut bibirnya. Tatapannya seperti meremeh tubuh yang dimiliki Alin. "Lo lebih tinggi kok."

Kernyitan Alin terlihat. Lebih tinggi? Ia rasa sama saja sejak setahun ini. Apanya yang berbeda? Atau Gendra tengah menghinanya atau hanya menghibur dirinya? Lelaki misterius? "Otak lo miring? Dari dulu gue ya kayak gini."

Gelengan kepala Gendra lihatkan. Tangannya terangkat, samping telapak tangannya menyentuh bahu. "Dulu lo segini." Lalu tangan itu kembali terangkat hingga sisi telapak tangan Gendra menyentuh dagu. "Sekarang lo segini, ada perubahan 'kan?"

Alin mengangguk mengiyakan saja. Tatapannya kemudian menuju ke sebuah toko minimarket. "Gue mau beli minuman dulu." Tanpa kembali menatap Gendra. Alin langsung melangkahkan kakinya ke jalanan untuk menyeberang.

Gendra tak sengaja melihat arah laju motor yang akan menghempaskan Alin dengan cepat. Matanya menajam pada keberadaan Alin yang pas di depan motor itu. Segera tangannya menarik lengan atas Alin untuk segera menyinkir dari jalan. "Windi awas!" Tubuhnya juga terhuyung ke samping untuk menghindari motor yang melaju cepat di depannya.

Alin sudah di dekapannya. Tatapan tajam Gendra lemparkan pada punggung seseorang berjaket abu-abu itu. Sudah tahu jalanan ini rawan akan anak kecil dan orang. Masih saja melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Jika ada sesuatu, memang dia mau menanggungnya. Dan tentu dia menjawab tidak. Semua orang memang seperti itu. Tidak mau disalahkan tapi menyalahkan orang lain. Seharusnya dia intropeksi diri sebelum melakukan hal.

Kedua bola mata Alin tak lepas dari Gendra. Rahang kokoh lelaki itu memang sempurna. Terlihat dari jarak dekat ini dia memang tampan. Bagaimana bisa cowok setampan ini menjadi sahabat kecilnya dan menjadikan dirinya sebagai wanita spesial di dalam hidupnya. Dirinya yang beruntung atau lelaki itu yang salah memilih.

Mata Gendra beralih menatap Alin. Mereka melempar pandang dalam diam. Detik berikutnya, Alin sadar dan menegakkan tubuhnya dengan sempurna. Tapi tidak sesempurna yang di bayangkan. Mendadak kakinya terkilir dan berakhir kembali ke pelukan Gendra untuk menopang tubuhnya. Ia sendiri agak terkejut saat merasakan sakit luar biasa di pergelangan kakinya.

"Nggak papa?" tanya Gendra dengan raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Ia membantu Alin untuk duduk di trotoar kecil. Meluruskan kedua kakinya. Lalu melepas salah sepatu Alin yang di dalamnya terdapat luka yang ia tahu. Alin terkilir.

"Lo mau ngapain?" tanya Alin sebelum Gendra membantunya. Sebenarnya tak masalah juga jika dia membantunya seperti ini. Tapi ia takut bila cowok itu akan memintanya imbalan atau pamrih akan segala hal.

Tatapan mereka bertemu. Gendra sontak berhenti untuk memijat pergelangan kaki Alin. Dari dirinya datang ke Indonesia Alin selalu bersikap aneh. Seakan dirinya adalah orang terasing bagi dirinya. Atau memang benar Citra dan Rilo, bila Alin tengah mengalami kecelakaan dan lupa ingatan. Termasuk dirinya.

"Gue cuma mau bantu lo," beritahu Gendra. Ia kembali pada pergelangan kaki Alin. Mengurutnya pelan agar cewek itu tidak terlalu merasakan sakitnya. Beberapa menit Alin biarkan Gendra mengurut kakinya. Rasanya memang sakit. Tapi tetap dirinya diam, daripada teriak histeris yang membuat Alin malu setengah mati.

Gendra berdiri. "Gue beli minuman dulu. Kaki lo nggak papa kok." Dia berbalik, melihat kanan kiri untuk menyeberang. Serasa aman ia melangkahkan kakinya ke minimarket tak jauh di tempatnya berhenti. Alin masih mengamati Gendra. Cowok itu memperlakukan dirinya dengan manis. Lalu nantinya ia akan membuat kesal lelaki itu.

Alin berdiri. Ia akan pergi sebelum Gendra kembali. Ini adalah kesempatan pertamanya untuk membuat Gendra merasa kesal kepadanya. Alin mencoba untuk melawan rasa iba atau kasihan pada cowok itu. Biarlah dirinya dianggap sebagai teman spesial atau wanita partnernya. Yang penting rasa kesalnya bisa terbalas.

Dengan jalan tertatih-tatih Alin melangkah menjauh dari tempatnya. Kepalanya terus tertoleh ke belakang untuk mengawasi saja. Ketika ia melihat Gendra sudah akan keluar dari minimarket. Alin bersembunyi dibalik pohon besar yang ia rasa cukup untuk menyembunyikan tubuh kecilnya. Tetap dirinya mewaspadai Gendra dengan berkali-kali melihat ke belakang.

Gendra sudah menyeberang dengan dua botol di tangannya. Tapi matanya sudah tidak menemukan sahabatnya itu. Matanya menyapu taman ini. Ke segala penjuru dirinya mencari sosok sahabatnya itu. Sampai akhirnya dirinya berteriak "Windi ...." Tidak ada sahutan.

Helaan nafas ia hembuskan. Semarah itukah sahabatnya sehingga meninggalkan dirinya sendiri di sini. Setidaknya dia menghubungi dirinya sebelum pergi. Padahal Alin sudah mau saling menukar nomor kemarin. Tidak mungkin dia melupakan hal seperti itu. Di mana sahabatnya yang dulu. Selalu nyaman bila dekat dengan dirinya. Tersenyum bersama dirinya dan melakukan hal bersama. Tidak cuek dan sampai berani meninggalkan dirinya di sini.

Alin kembali menatap depan. Bersandar di batang pohon besar. Kenapa rasa bersalah menyelimutinya? Ini keputusannya. Tidak mungkin ia akan kembali menghampiri Gendra dan mengatakan dirinya habis jalan-jalan sebentar. Tidak mungkin! Lalu rasa bimbang ikut masuk ke hati dan pikirannya. Kenapa dengan dirinya? Selama ini tak pernah ia memikirkan kembali keputusan yang dirinya ambil. Hentakan kaki Alin lakukan, tidak terlalu menimbulkan suara yang keras karna kakinya semakin sakit.

➷➷➷

ʕノ)ᴥ(ヾʔ

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang