➹ 68. Masalah Baru ➹

49 5 0
                                    

Terkadang kita menganggap bila hidup tidak adil
Hingga membuat timbul perasaan iri

»»————><————««

   Gendra keluar dari mobil selepas Alin membukakan pintu untuknya. Tanpa aba-aba Gendra sudah merangkul Alin manja dari samping seperti tadi. Alin juga merangkul pinggang Gendra seperti awal. Entah mengapa Alin justru tidak merasa keberatan akan hal perlakuan tersebut. Seakan semua tindakan Gendra adalah hal yang wajar.

"Itu mobil siapa, Gen?" tanya Alin ketika melihat sebuah mobil mewah yang pasti bukan milik keluarga Gendra. Dan karna mata Gendra sudah malas untuk terbuka. Gendra hanya membalas dengan gelengan kepala.

Tangan Alin yang terbebas membuka pintu utama rumah ini. Keduanya masuk. Alin kontan berhenti di depan pintu karna merasa tidak enak dengan beberapa orang di sana. "Kenapa berhenti? Tuntun gue juga ke kamar."

"A-ada tamu, Gen," bisik Alin nyaris tak ada suara.

Gendra perlahan membuka matanya. Menegakkan tubuhnya ketika tahu siapa tamu itu. Keluarga Flora. "Abaikan." Gendra menggenggam tangan Alin, membawa Alin langsung naik ke kamarnya. Semenjak kemarin keluarga Flora datang. Papa dan Mamanya memaksa Gendra untuk menerima perjodohan itu. Mungkin untuk sementara Gendra membiarkan mereka. Gendra menutup pintu kamarnya.

"Untuk sementara jangan ke bawah."

"Mereka siapa?"

Gendra berjalan ke ranjangnya. Duduk di tepi dengan menghadap Alin. "Keluarga Flora. Cewek itu yang akan jadi tunangan gue."

Perasaan Alin mendadak kacau. Angin topan seakan meremuk semua harapan terpendam. "Kalo lo emang udah punya calon tunangan. Kenapa minta gue jadi pacar lo?"

"Karna gue lebih milih lo. Flora memang cantik, tapi hati gue cuma ada lo."

Blush. Bunga-bunga langsung bermekaran dalam diri Alin. Berusaha Alin menetralkan detak jantungnya. Hembusan pelan Alin keluarkan. Melangkahkan kakinya ke Gendra yang tengah menunduk memegangi kepalanya. Siku Gendra bertumpu pada pahanya. "Masih pusing?"

Gendra menggeleng.

"Jangan alasan. Tidur aja." Alin mendorong keras bahu Gendra hingga jatuh terlentang. "Tidur!"

"Kasar banget sih."

"Tidur gue bilang," tegas Alin dengan menekan pinggangnya.

Dan sementara di bawah. Kedua kepala keluarga nampak serius membicarakan sesuatu. Membuat Flora bosan dengan perdebatan mereka. "Mi, Flora keluar ya?"

Tante Nina yang mendengarnya langsung mendahului ucapan Mama Flora. "Kamu gabung aja sama Gendra dan Windi di atas."

"Nggak ganggu mereka, Tan?"

"Mereka hanya sahabat."

Wajah Flora mendadak girang. "Ya udah Tan, Flora ke atas dulu." Dengan gesit Flora menuju atas tanpa melunturkan senyuman menghiasi wajahnya

"Aww," lirih Alin ketika merasakan sakit di pergelangan kaki saat hendak berbalik tadi. Dan Gendra kontan mendudukkan tubuhnya untuk menangkap tubuh Alin yang akan jatuh. Sampai akhirnya tubuh Alin terjatuh duluan ke pinggiran ranjang. Karna bangun secara cepat pula membuat Gendra kembali merasakan pening di kepalanya. Hingga tanpa sadar Gendra mengunci tubuh Alin di atas ranjang.

Di saat itu juga. Pintu terbuka. Menampilkan sosok Flora berdiri menegang di ambang pintu. Menyaksikan adegan yang tak seharusnya Flora lihat. Senyuman Flora sudah hilang, digantikan dengan rasa sesak menumpuk di dadanya. Flora menutup pintunya kembali.

"Gendra ...," kesal Alin baru sadar dan mendorong bahu Gendra hingga terlentang menyamping. Sementara Gendra hanya senyum-senyum tidak jelas. Alin berdiri. Melemparkan tasnya ke sebelah Gendra kemudian pergi ke kamar mandi.

Setelah Alin masuk ke kamar mandi. Mata Gendra bergerak ke pintu yang tertutup. Senyum smirknya timbul. Gendra tahu Flora tadi melihat semuanya. Mungkin Flora sudah berpikir macam-macam. Dan membuat semuanya menjadi salah paham.

Alin keluar dengan seragam terlepas dan digantikan dengan baju santai kaos serta celana selutut yang jelas bekas lipatan. Dia melipat asal seragamnya kemudian dimasukkan ke tas ransel seraya berucap, "Gue akan pulang setelah tamu di bawah pulang."

"Nggak usah pulang. Temenin gue."

Tatapan Alin mengganas pada Gendra. "Nggak, nggak, nggak, kan ada Flora."

"Windi! Jangan pernah ngomongin dia di depan gue."

Alin mengabaikan ucapan Gendra. Beralih menyentuh dahi Gendra dengan punggung tangannya. Masih terasa panas. Alin akan menarik kembali tangannya. Tapi malah terasa tertahan. Bola mata Alin memutar ketika tahu tangan Gendra yang menahannya. "Jangan aneh-aneh deh."

"Lo di sini aja ya?"

"Iya."

"Makasih." Secara spontan Gendra menarik tangan Alin sehingga jatuh di atas tubuhnya. Mendekap Alin dengan erat seakan tak mau kehilangan. "Tidur di sini ya?"

"I- iya." Suara Alin mendadak tercekat. Dalam posisi seperti ini mana bisa suaranya keluar secara normal. Alin berusaha mengambil jarak dengan berkali-kali mengangkat tubuhnya. Tapi selalu tertahan dengan tangan Gendra. "Lepasin, Gen."

"Gue masih kangen sama lo, diem sebentar aja."

"Tapi Gen ...." Bukan perlakuan Gendra yang membuat Alin tak nyaman. Tapi kecupan berkali-kali di pipinya yang membuat Alin geli. Padahal Alin sudah berinisiatif untuk tidak terlalu dekat dengan Gendra. Tapi justru kejadian ini terulang lagi.

Ceklek!

"Gendra!" Kontan Gendra melepaskan Alin dan Alin langsung duduk. Menatap beberapa orang yang menangkap basah keduanya. Ayah Gendra berderap cepat menuju Alin dengan tatapan tak bersahabat. "Dasar cewek kurang ajar."

Plak! Alin sampai tersungkur ke bawah saking kerasnya tamparan itu.

"Papa!" Gendra tak terima itu. Ia langsung duduk di bawah dan mendekap Alin untuk menenangkannya. Tatapan Gendra tajam pada Ayahnya setelah melihat ada bekas merah di pipi Alin. "Kenapa Papa jadi kasar? Papa tahu kan siapa Windi."

"Dia bukan lagi sahabat kamu, Gen. Dia sudah lupa sama kamu. Apa untungnya kamu masih mempertahankan dia? Papa sudah temukan cewek yang lebih memperhatikan kamu," ucap Ayah Gendra dengan telunjuk terus bergerak ke arah Alin. Untuk memperjelas bila ucapannya itu memang tertuju pada Alin.

Alin berdiri dengan diikuti Gendra yang menatapnya bingung. Dengan keberanian Alin menatap Ayah Gendra. "Saya memang lupa sama Gendra Om. Tapi Om harus tahu perasaan Gendra. Saya tidak akan ke sini kalau bukan keinginan Gendra. Saya juga berusaha menjadi Windi yang diinginkan Gendra. Karna saya menghargai perasaannya terhadap saya."

"Seharusnya Om lebih tahu perasaanya dibanding saya. Apa Om tahu kalau sekarang Gendra demam? Tidak bukan. Jadi, saya akan di sini sampai Gendra sembuh. Terserah Om mau memperlakukan saya seperti apa. Tapi saya akan tetap di sini."

"Sudah ada Flora, sebaiknya kamu pergi," tegas Ayah Gendra.

"Sudahlah Yan, biarkan saja mereka," seru Om Gino menenangkan suasana.

"Tapi Gin ...."

"Perjanjian kita tidak akan batal bukan, jadi biarkan mereka beberapa waktu."

Helaan nafas Ayah Gendra keluarkan. Menatap sinis Alin sebelum dirinya beranjak keluar dengan diikuti semua. Pintu tertutup.

Alin baru menunduk dan merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa dengan berani ia melawan orang yang lebih tua. Padahal orang tuanya tidak pernah mengajarkan hal itu. Segulir air jatuh. Rasa bersalah tercekat di tenggorokannya. Dan keluar melalui air mata itu.

Gendra membalik tubuh Alin menghadapnya lalu mendekapnya. "Lo nggak salah, Win. Lo udah ngelakuin hal yang bener. Dan semoga bokap gue bisa sadar."

Alin menangis dalam diam. Apa yang akan Alin katakan pada orang tuanya jika Mama Gendra memberitahu Bundanya nanti. Kenapa masalah selalu datang.

➷➷➷

ʕノ)ᴥ(ヾʔ

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang