Bila hanya sebuah wacana lalu kapan jadinya?
»»————><————««
Setelah tiga hari bermalam di rumah sakit. Akhirnya Alin diperbolehkan pulang. Sekarang ia berada di kamarnya sendiri. Tidak lagi tinggal di appartement. Ia jadi punya pelajaran tersendiri setelah kejadian itu. Yaitu memanfaatkan kebersamaan keluarga, tidak lagi harus menyendiri hanya meratapi masalah.
Alin duduk di depan meja riasnya. Mengambil buku novel yang ia ingat dibelikan oleh Gendra ketika di Singapore waktu itu. Tak sengaja juga dirinya melihat benda hitam melingkar di pergelangan tangan kanannya.
"Gendra banyak bantu gue. Tapi kenapa kayaknya dia ngehindar dari gue saat di sekolah?"
"Kak Windi!" Suara cempreng itu menggema di kamar Alin, ia sampai menutup telinganya. Alin memutar tubuhnya 90 derajat. Terlihat bocah kecil berlari menghampirinya.
"Kenapa harus teriak sih?" gemas Alin mencubit pipi gembul adik terakhirnya.
"Kata Kak Erlin, besok lusa Bunda ulang tahun. Kakak udah ada hadiahnya belum?" ucap Khoiril dengan bibir tipisnya.
Alin menoleh ke kanan, lebih tepatnya ke kalender. 5 Oktober. Senyum Alin mengembang, kembali menatap adiknya. "Kak Erlin mana?"
"Ada di dapur."
"Ayo ke sana." Alin berdiri, menuntun Khoiril ke bawah di mana adik keduanya berada.
"Erlin," panggil Alin ketika dia ada di depannya yang hanya dibatasi meja dapur.
"Apaan?" judes Erlin.
Alin menggendong Khoiril untuk duduk di meja dapur. "Kamu ada rencana buat kejutannya Bunda?" tanyanya dulu.
"Nggak, tapi aku pengen buat kue sendiri sebagai hadiah ke Bunda," jujur Erlin seraya mengaduk adonannya.
Alin dan Khoiril saling pandang, kemudian tawa mereka pecah. Mereka tahu bila anak kedua itu tidak bisa memasak dan sekarang ingin menghadiahi Bundanya dengan kue buatannya sendiri.
"Kakak saranin jangan, aku takut Bunda sakit perut nanti, hahaha" tawa Alin lanjut.
Erlin menghentikan tangannya, memandang Kakaknya yang super menyebalkan bagi dirinya. "Bunda aja nggak masalah kenapa Kakak yang sewot? Emang Kakak mau hadiah apa ke Bunda?"
Tawanya berhenti, begitu juga Khoiril. "Kakak sih maunya buat pesta kecil-kecilan di taman belakang. Dengan nuansa biru putih dan kita undang semua keluarga. Kalo hadiah Kakak belum pikir, gimana?"
"Boleh tuh Kak," setuju Khoiril.
"Aku sih iya aja, tapi lebih bagus nuansa pink sama merah. Lebih enak dilihat," usul Erlin.
"Bagusan hijau, lebih menyatu sama alam," usul Khoiril.
"Lebih cerah biru," protes Alin.
"Elegan merah," protes Erlin.
"Lebih segar hijau," protes Khoiril.
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...