➹ 59. Apakah Itu? ➹

63 4 0
                                    

    Mereka berjumpa
Tapi tak tahu siapa dia
Takdir menyatukan
Namun, berkesan memisahkan

»»————><————««

     "Siapa Gendra?"

Mata Ayah lebih dulu teralih ke Bunda. Kemudian Bunda pun menatap Ayah. Mereka saling menatap heran. Alin jadi tak sabar, kenapa nama Gendra kerap menggencarkan semuanya. Apa sosok lelaki itu sangat dikagumi, dicari. Aneh! Ini lagi. Erlin, adik pertamanya menyenggol siku Khoiril anak bungsu yang sudah kelas 4 SD. Kedua bocah itu juga saling menatap. Seakan menyuruh untuk mendahului menjawab. Beberapa menit ruangan ini sunyi.

"Kenapa diam?" Suara Alin kembali terangkat. Seharusnya mereka langsung menjawab agar rasa penasarannya berkurang. Kalau bisa sampai hilang. Lipatan dahi ia tunjukkan kala Bunda dan Ayahnya masih saja bergeming. Lalu Bunda kembali menatap Alin, siap untuk menjelaskan.

"Bisakah kamu tunggu sampai lusa?"

Mata Alin menyipit. Kenapa ditunda lagi. Ada yang anehkah jika dijelaskan sekarang juga. "Kenapa tidak sekarang?"

"Kamu akan tahu sendiri, Windi." Suara Ayah terangkat. Akhirnya lelaki itu bersuara juga. Ia jadi tahu setelah mengamati, bila Ayahnya irit suara.

Sebelah alis Alin terangkat membuat lengkungan sabit. Tatapannya sudah normal tapi hatinya sedikit menyesal. "Kenapa tidak kalian yang menjelaskannya sekarang?"

"Aku akan diam mendengarkan."

Gelengan Bunda terlihat, lengkap dengan senyuman teduhnya. "Kamu akan tahu sendiri nanti. Dia pasti bisa mengembalikan semua ingatanmu nanti."

Alin sontak berdiri, mendecitkan kursi dengan keramik putih lantai. "Kenapa semua memaksaku untuk mengingat Gendra?"

"Sepenting itukah dia bagi hidupku?!"

"Kalau benar dia sahabatku, kenapa dia pergi ninggalin aku, Bun?!"

"Aku benci sama dia!"

Alin berbalik ke kamarnya dengan berlari. Lupuk matanya sudah tergerai banyak air matanya. Dan sebentar lagi mungkin akan jebol. Seperti bendungan yang sudah menampung banyak air disertai ledakan bom di bendungan itu. Dan bom itu adalah rasa sakit di hatinya.

"Windi!" panggil Bunda seraya berdiri, beliau ingin menjemput putrinya. Tapi tangannya keburu tercekal oleh suaminya. Om Aldo menggeleng pelan. Berharap istrinya membiarkan putrinya untuk sendiri dulu. Setelah cukup tenang. Tante Wahyu kembali mendudukkan tubuhnya di kursi.

Di lain sisi, Alin berdiri dibalik pintu kamarnya. Bersandar. Lalu tubuhnya perlahan meluruh ke bawah. Hingga meringkuk dengan tangisnya yang pecah tertahan. Ia benci jika harus mengeluarkan air dari matanya. Satu hal lagi. Cowok itu. Siapa sebenarnya dia?!

Kenapa dia selalu mengusik hidupnya? Lusa. Hari itu, hari Kamis. Dirinya akan menunggu hari itu. Ia ingin tahu kenapa orang tuanya tidak mau menjelaskan dan menunggu hari Kamis. Tangisnya hilang. Digantikan dengan rasa menunggu. Alin bangkit seraya menghapus air matanya. Berjalan menuju ranjang.

"Gue akan tunggu lo Gendra."

"Cowok yang selama ini ngusik kehidupan gue."

"Sahabat bullshit!"

➷➷➷

     Lusa menjelang. Hari yang ditunggunya akhirnya datang. Pagi ini, dirinya harus mencari tahu alasan mengapa kedua orang tuanya belum juga menceritakan sosok lelaki yang kembali mendatanginya di mimpi semalam. Menjengkelkan jika harus bertemu bayangan tampan itu setiap malam atau setiap dirinya terlelap. Seakan tidak ada hal lain yang masuk ke mimpinya selain sekelebat bayangan lelaki.

Derap langkah terdengar dari atas menuju bawah melalui anak tangga. Suara itu menggema di rumah besar ini. Tidak ada lagi suara percakapan atau dentingan sendok seperti pagi biasanya. Matanya bergerak menyapu ruangan dari anak tangga ketiga dari bawah. Sunyi. Tidak ada manusia satupun selain dirinya di sini.

"Bunda!" panggil Alin sedikit berteriak sembari melanjutkan jalannya ke lantai dasar. Biasanya Rilo dan Citra sudah stand by di ruang tengah. Sekarang di mana sejoli itu.

"Ini pada ke mana sih?" heran Alin berdiri di sebelah meja makan. Mereka boleh saja pergi tanpa mengabarinya, tapi tidak dengan meja makan yang kosong. "Apa-apaan ini," kesal Alin melihat meja makannya yang bersih.

Tatapan sinis Alin lemparkan pada meja makan itu. Kemudian melangkahkan kakinya keluar rumah. Membanting pintu rumahnya dengan keras. Sampai Pak Uje, tukang kebun di taman depan terperanjat terkejut. Beliau mengelus dadanya saking terkejutnya. Dan menoleh ke nona majikannya yang tengah melangkah lebar menuju gerbang dengan raut kesal.

Alin berdiri di depan gerbang rumahnya. Ia melambaikan tangan pada taxi yang akan melintasinya. Taxi itu berhenti tepat di depannya. Lalu dirinya membuka pintu mobil jok belakang. Masuk dan duduk tenang. Tapi hatinya masih kesal, dirinya berangkat sekolah dengan sendiri tanpa perut diisi. 

Di sekolah. Alin kembali melangkahkan kakinya ke koridor. Dengan tampang dingin ia melintasi para murid di pinggiran. Seolah memberi jalan padanya. Dan tatapan para cowok, sudah menjadi sarapan paginya.

"Hai Alin," sapa cowok tak jauh di sebelahnya.

Tanpa senyuman Alin menjawab. "Hai."

Tak hanya sekali dirinya menbalas sapaan itu. Setidaknya dirinya sudah memberi respon. Tangannya menyikap rambut panjangnya ke belakang. Meletakkan tas ransel biru dongker ke atas meja. Rupanya Citra, yang duduk di sebelahnya belum datang. Atau memang dia tidak masuk. Lantas kenapa tidak mengabarinya dulu.

Alin duduk di tempatnya. Menyumpal kedua telinga dengan earphone. Mengambil buku novel di dalam tasnya. Dan duduk tenang sampai bel berbunyi. Ia sengaja tak terlalu mengeraskan suaranya agar terdengar bel.

Sementara Rilo dan Citra berjalan menuju kelasnya. Dengan seorang lelaki populer di sekolah ini setahun lalu. Dan sekarang pun, lelaki itu menggencarkan seluruh koridor. Terutama kaum hawa. Mereka sampai ternganga melihat cowok populer itu kembali lagi setelah menghilang satu tahun. Bahkan sampai ada yang menjerit tertahan saking senangnya melihat cowok itu kembali ke sekolah ini. Bagi adik kelas, mereka mengira dia adalah anak baru.

Ketiga orang itu bergegas ke kelas 12 IPA 1. Guna menemui seseorang yang menjadi topik pikiran lelaki itu. Gendra berhenti di ambang pintu. Matanya menyapu kelas itu. Sampai menemukan seorang gadis yang ia yakini adalah sahabatnya. Lantas Gendra langsung duduk di sebelahnya. Menatap sendu wajah bagian samping yang selama ini ia rindukan. Air matanya hampir keluar jika dia tidak segera mengalihkan tatapannya ke atas. Setelah bisa menetralkan nafas dan jantungnya. Ia mencoba tersenyum, lalu bersuara. "Windi."

Alin membalik lembaran novelnya. Sekilas dirinya mendengar seseorang memanggilnya. Entah itu siapa, untuk memastikannya. Alin menolehkan kepalanya ke samping.

Deg

Tatapannya terkunci pada mata coklat itu. Alin diam dengan nafas teratur. Tapi kenapa dirinya tidak bisa beralih dari mata itu. Sampai sebuah suara dari dia terdengar. Dan membuyarkan lamunannya.

Gendra tersenyum lebar. "Hai Windi." Rasanya Gendra tak sabar ingin mendekapnya erat.

"Ha-Hai," balas Alin hampir terbata. Ini sebenarnya ada apa. Ia merasa bila cowok di hadapannya ini sudah tak asing di matanya. Otaknya berputar keras. Siapa tahu ada seseorang yang terlewatkan. Dan yah. Ia ingat. Lelaki ini adalah. "Gendra."

➷➷➷

ʕノ)ᴥ(ヾʔ

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang