➹ 70. Inikah Adil? ➹

53 5 0
                                    

Jika sudah terikat memang susah untuk dipisahkan

»»————><————««

   Gendra mengambil handuk di gantungan sebelah pintu kamar mandi. Lalu membuka pintu kamar mandi. Kejanggalan itu selalu ada setiap kali masuk ke sini. "Apa cuma perasaan gue aja ya?"

Di saat dia membuka tirai yang menutup bak mandi. Dari situlah dirinya dikejutkan dengan sosok manusia terendam dalam bak kamar mandinya. Mata Gendra melebar seiiring dengan mulutnya. Handuk yang di pegangannya tadi sudah terjatuh. Dengan perasaan yang campur aduk. Gendra mengangkat pelan kepalanya, memunculkan dari permukaan air untuk melihat siapa dia.

"Windi." Suaranya nyaris tak keluar mengetahui siapa dia. Buru-buru Gendra mengeluarkan Alin dari bak mandi. Seluruh tubuhnya sudah memucat karna kedinginan. Dan pikiran Gendra sudah kacau saat itu juga. Dirinya tak berani mengeluarkan suara, hanya sekadar berteriak pun tak mampu. Ia melepas semua ikatan di tangan, kaki, serta mulutnya. Mengguncang tubuh Alin agar dia bangun.

"Windi please buka mata lo." Hanya ada satu cara untuk memastikannya dia hidup atau tidak. Gendra membungkuk, menempelkan telinganya ke dada Alin yang di mana jantung itu berada. Senyum Gendra terulas ketika masih mendengar detak jantungnya berpacu. Tidak berpikir panjang lagi, Gendra langsung memberi nafas buatan untuk mengeluarkan air yang ada di paru-parunya. Dan untuk menyadarkannya.

"Uhuk uhuk." Air itu keluar bersamaan dengan kesadaran Alin. Gendra merasa lega karna akhirnya tidak mengenaskan. Mata Alin terbuka. Tapi tidak mampu untuk bergerak. Hanya bisa menggerakkan bola matanya. Yang pertama kali dirinya lihat ada Gendra. Dan rasa dingin di tempat ini.

"Windi, akhirnya lo sadar. Sekarang bilang sama gue, siapa dalang dibalik semua ini?"

Alin diam. Masih tidak mampu untuk mengangkat suaranya. Menetralkan nafasnya saja masih kesusahan. Gendra kembali mengguncang pelan tubuh Alin. "Jawab, siapa?"

Mata Alin kembali terpejam. Ada satu rasa yang pernah dirinya rasakan. Tapi saat untuk mengingatnya rasanya sulit sekali. "Di-ngin."

Gendra menggeleng pelan. Ia lupa bila Alin tengah kedinginan. Gendra menggendong tubuh Alin ala bridal style ke ranjangnya. Merebahkan tubuh basah itu di atas ranjang. Gendra mengaktifkan mesin penghangat ruangan yang terletak di sudut-sudut ruangan. Tak lupa juga Gendra mengunci kamarnya. Agar tidak ada yang tahu keadaan Alin seperti ini. Jika mereka tahu, kemungkinan Alin yang akan diusir dari rumah ini.

Lima menit kemudian ruangan ini sudah menghangat. Gendra duduk di tepi ranjang. Mengusap pelan puncak kepala Alin. "Windi, kalo lo u—"

"Haciih." Alin memiringkan tubuhnya menghadap Gendra. Melipat kakinya dan meringkuk seperti rubah tidur. Alin bersin disertai batuk berkali-kali. "Dingin."

Alis Gendra menurun. Padahal ruangan ini sudah hangat. Gendra saja sudah berpeluh dan Alin masih merasa kedinginan. Lalu apa lagi yang harus dirinya lakukan agar Alin bisa merasakan kehangatan. "Windi, ini udah hangat. Lo mau apa?"

"Rasa tadi, gue mau ingat semua." Gendra menghela nafas. Rasa apa? Alin menjawab pertanyannya atau mengigau?

"Lakuin lagi, gue mohon," ucapnya dengan mata tertutup.

"Windi, gue nggak paham apa yang lo omongin."

Gendra berdiri. Menaikkan selimut ke Alin. Gendra membuka pintu kamarnya. Sedikit berlari menuruni tangga untuk menemui Mamanya. "Ikut Gendra sekarang, Ma," ajak Gendra langsung menarik tangan Mamanya yang tengah makan.

"Gendra, kamu kenapa?" heran Tante Nina ketika mengikuti putranya dan berusaha menahan tubuhnya.

Om Arya berdiri. "Gendra cukup!"

"Apa yang membuat kamu menjadi anak kurang ajar seperti ini?!"

Gendra kontan menghentikan langkahnya. Melepas cekalan di tangan Mamanya. Ia beralih menatap Ayahnya dan berjalan ke arah kepala keluarga itu. "Windi semalaman ada di dalam bath-up Gendra dengan keadaan terikat."

"Sekarang dia sakit dan apa Gendra harus membiarkannya?! Kalau Papa nggak tau apa-apa tolong diam."

Plak! Satu tamparan mendarat mentah di pipi Gendra. Tapi Gendra bukan lelaki yang lengah. Dengan berani ia juga menatap Ayahnya. "Papa yang berubah! Semenjak keluarga Flora datang. Keluarga kita hancur!"

"Papa bukan Papa yang Gendra kenal. Papa Gendra seharusnya baik, sukar menolong. Tapi sekarang, Papa sudah terhasut oleh Om Gino. Karna perjodohan itu, keluarga kita hancur dan Windi yang kena imbasnya. Jika sudah fatal seperti ini. Siapa yang akan jadi pelakunya? Keluarga Flora."

"Gendra cukup! Jangan kamu rendahkan keluarga Flora. Om Gino banyak membantu Papa dalam bisnis ini. Jika tidak ada dia, usaha Papa akan bangkrut."

"Nggak akan bangkrut, Pa! Om Aldo jauh lebih sukses dari Om Gino. Kenapa Papa mencari yang jauh bila didekat Papa masih ada? Atau Papa memang sengaja ingin menghancurkan persahabatan Gendra dengan Windi, iya?!"

Ayah Gendra diam. Beliau kehabisan kata-kata untuk menjawab putranya. "Kenapa Papa diam? Baru sadar jika Om Aldo sudah sukses dan mengalahkan perusahaan Papa? Seharusnya dari awal Papa itu mikir. Pikirkan perasaan Gendra ke Windi, Pa. Apa Papa mau ngeliat Gendra tersiksa dengan perjodohan itu?"

"Sementara di hati Gendra itu cuma ada Windi. Windi Pa, cuma Windi. Bukan karir yang seharusnya Papa pikirkan, tapi masa depan anak-anak Papa."

Gendra menyudahi ucapannya. Beralih kembali dengan menuntun Mamanya ke kamarnya. Karna masih ada urusan yang harus Gendra selesaikan. Mencari pelaku yang berani mengusik Alin. Sampai di dalam kamarnya, Gendra masih tak menatap Mamanya. "Gendra minta tolong buat gantiin baju Windi. Kalo butuh sesuatu Gendra ada di luar."

Gendra kembali berbalik, menutup pintunya dan berdiri bersandar dibalik pintu. Tatapannya ke bawah, Ayahnya masih ada di tempat. Mungkin Ayahnya sudah sadar dengan tindakan yang beliau ambil. Satu lagi, cewek itu. Seakan tak terusik dengan perdebatan tadi. Flora hanya diam tetap melahap makanannya. Seolah kejadian tadilah yang ditunggunya. Gendra jadi curiga pada Flora. Hanya sehari ini Alin dan Flora tinggal bersamaan di rumahnya. Dan kejadian pada Alin sama sekali tak terduga.

Gendra terus mengawasi Flora dari bawah. Jika keluarganya, tidak mungkin mereka melakukan hal keji pada Alin. Karna sudah lama Alin sering kali tinggal di sini dan tidak terjadi apa-apa. Hanya satu yang Gendra simpulkan. Yaitu Flora. Tidak salah lagi. Pasti cewek itu yang melakukannya. Jika cewek itu tidak mengakuinya. Di hari esok dia pasti mengakuinya.

Gendra berdiri tegak. Mondar-mandir tidak jelas di depan pintu kamarnya. Menunggu adalah hal yang membosankan. Tak lama pintu terbuka. Gendra berbalik. "Butuh sesuatu?"

Tante Nina menggeleng. "Mama mau ngomong sama kamu, Gen."

Tatapan Gendra ke sana-kemari asalkan tidak tatapan teduh Mamanya. "Apa?"

"Jangan memperburuk keadaan, Sayang. Papa kamu memang mau bangkrut jika tidak ada Om Gino."

Tatapan Gendra langsung tertuju pada Mamanya. "Jadi Mama lebih memilih Papa dibanding perasaan Gendra? Kalau gitu kalian berdua sama saja."

"Gendra bukan itu maksud Mama, Sayang."

Gendra langsung menutup pintunya. Tidak peduli Mamanya mengatakan apa. Gendra mengunci pintu. Ia berbalik dan melihat Alin yang terlelap. Gendra mendekatinya. Duduk di tepi ranjang. Mengusap pelan puncak kepala Alin.

"Kemarin gue yang sakit, sekarang elo. Apa ini yang namanya adil?"

➷➷➷

ʕノ)ᴥ(ヾʔ

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang