➹ 54. Sekelebat Bayangan ➹

82 7 0
                                    

Hitam dan sama sekali tidak terlihat. Satu hal yang selalu mengganggu pikiranku saat ini

»»————><————««

     Pintu terbuka. Menampilkan desain rumah yang mewah dan menarik. Satu hal yang ditangkap mata Alin saat ini. Satu foto yang berbingkai di ruang tengah. Di dalam foto itu ada lima orang dan salah satunya dirinya. Tubuhnya digiring masuk, lalu dituntun naik entah ke mana. Pintu putih terbuka, menampilkan kesan kamar yang menurutnya menyegarkan karna bernuansa biru putih.

Sambil menuntun Alin untuk lebih dalam memasuki kamarnya. Bunda Alin angkat suara, "Ini kamar kamu, kalau butuh apa-apa, bisa langsung ke bawah."

Alin duduk di bibir ranjang dengan Bundanya di hadapannya. "Bunda ke bawah dulu, kamu istirahat ya." Satu kecupan mendarat di dahi Alin secara sekilas, kemudian dengan senyuman beliau pergi selepas menutup pintunya.

Mata Alin bergerak menyapu ruangan ini. Lumayan, batinnya. Karna malas untuk melakukan apa-apa, akhirnya Alin merubuhkan tubuhnya di atas ranjang. Membenarkan posisi tidurnya dengan nyaman. Menarik selimut putihnya hingga batas leher, memiringkan tubuhnya dengan memeluk guling. Dalam hitungan detik ke depan, arwahnya sudah berkeliaran di alam lain.

➷➷➷

     Kabut putih, suasana gelap karna banyak ditumbuhi pohon dan semak belukar. Alin merasa takut ketika melintasinya. Lalu sebuah cahaya datang. Mata Alin terpejam ke samping karna menyilaukan matanya. Detik ketika kedua matanya ia buka. Ada seseorang di depan. Ia tidak bisa melihat dengan jelas karna itu seperti bayangan saja. Bayangan itu tinggi, bahunya tegap, dan rambutnya sedikit jambul. Sepertinya seorang lelaki.

"Halo, lo siapa?" tanya Alin sedikit mendekatinya. Bukannya akan terlihat jelas, bayangan itu malah pergi. Mumpung masih bisa diikuti, Alin mulai mengikutinya dengan terus-terusan menatap sekeliling.

Bukan hutan plantas lagi, setelah melewati sekelebat kabut putih. Yang Alin lihat adalah sebuah sekolah bercat hijau. Di benak Alin, sekilas dirinya seperti pernah ke sekolah ini. Tapi entah kapan.

"Eh!" latah Alin ketika ada bocah kecil melintas di hadapannya. Ia mengikuti ke mana bocah laki-laki itu berlari hingga membawanya ke sebuah tempat yang ada kursi persegi panjang satu, di depannya ada taman kecil yang banyak ditumbuhi bunga, kemudian di samping kanan kursi itu ada sepetak kolam yang berisi ikan. Mata Alin juga tak sengaja membaca tulisan yang tertancap di badan pohon tak begitu tinggi itu. Kolam lele.

Di sana Alin kembali dikejutkan dengan bocah perempuan yang tiba-tiba melewatinya. Sekarang ada dua bocah di hadapannya yang tengah memberi roti kecil ke dalam kolam. Kepala Alin sedikit termiring karna sepertinya mengenal siapa bocah perempuan itu. Dan bocah cowok itu, dirinya pernah melihatnya. Dan lagi-lagi dirinya lupa.

"Windi lihat, ikannya agak gemukan 'kan?" kata bocah cowok itu dengan terus menyuapi ikan-ikan itu dengan roti kecil.

"Windi? Maksudnya cewek itu gue? Apa maksudnya ini?" Alin hanya bisa menatap mereka dari pijakannya. Dan masih bertanya-tanya siapa sebenarnya bocah cowok itu? Kenapa dia terlihat akrab sekali pada dirinya sewaktu kecil?

Alin hendak melangkah lebih pada mereka, tapi keburu tangannya ditarik ke belakang. Sewaktu dirinya membuka mata, bukan kolam itu lagi. Melainkan sebuah kelas yang rusuh, mungkin ditinggal oleh gurunya.

"Dasar bodoh! Ini kan di kali 3, kenapa hasilnya 8?" Suara bocah itu berhasil membuat Alin menoleh ke arahnya yang ada tepat di hadapannya. Lagi, ia melihat dua bocah beda jenis yang sempat dirinya lihat di kolam lele tadi.

"Makanya ajarin," rutuk bocah perempuan itu dengan mengerucutkan bibir kecilnya.

"Halah, emang dasar otaknya lemot," sindir bocah cowok itu.

Alin masih diam memandang adu mulut keduanya. Sampai semuanya pergi seperti debu yang terhempas angin pantai. Kini, hanya ada satu warna. Putih, dan itu pun tidak ada apa-apa, seakan dirinya hidup sendiri di dunia putih tanpa batas. Alin berputar ke segala arah, tapi semuanya kosong. Tidak ada siapa-siapa, satu benda pun tidak ada.

Kemudian ada bayangan yang tiba-tiba melintasinya. Alin menoleh, tapi hilang. Lalu ada lagi, dirinya menoleh dan hilang. Hingga dirinya merasa takut. Sampai ada yang mencekram lehernya dari belakang. Membuat Alin susah untuk bernafas. Kedua tangannya menarik-narik lengan itu agar segera terlepas darinya.

"Leh ... pas ...."

"Ingatlah siapa yang selalu ada di sisimu."

➷➷➷

     Dengan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Alin terbangun dan mendudukkan tubuhnya. Nafasnya memburu, dadanya naik turun mengatur nafas. Seakan dirinya benar-benar tercekik oleh tangan itu.

"Kenapa mimpi itu terasa nyata?"

Kepala Alin tertoleh ke jendela balkon. Gordennya masih terbuka, memperlihatkan langit gelap di luar sana. Satu persatu kakinya ia turunkan ke lantai. Lalu berdiri menuju kamar mandi. Hanya sekadar membersihkan wajahnya di depan wastafel. Lalu mengambil handuk kecil di sebelah wastafel, mengeringkan daerah wajahnya. Meletakkan kembali handuk itu di tempat semula. Kemudian berbalik keluar kamar mandi, duduk di hadapan meja rias.

Gegara membasuh wajah tadi, perban di dahinya menjadi basah. Dan dirinya tidak bisa mengganti perbannya sendiri. Tangannya bergerak mengambil kotak obat di hadapannya. Membawanya ke bawah, mencari seseorang yang bisa membantunya untuk menggantikan perbannya dengan yang baru.

Di luar kamar. Lebih tepatnya di depan pintu kamarnya. Mata Alin menyapu seluruh rumah ini. Besar dan luas, tapi seperti tak berpenghuni. Lalu siapa yang bisa dirinya mintai bantuan?

"Kak Windi," panggil suara kecil tak jauh di sebelahnya. Alin menoleh dan mendapati bocah kecil. Dia berjalan menghampirinya dengan kaki kecilnya.

"Kamu siapa?"

"Yah." Khoiril nampak kecewa, ia berhenti di sebelah Alin dengan bibir manyum. "Aku Khoiril, adik kedua Kakak. Masa lupa?"

Alin menggeleng. "Maaf."

"Lupakan, Kak Windi mau ke mana?"

"Bunda ada?"

"Ada di kamarnya, ayo," ajak Khoiril mengambil tangan Alin yang terbebas, menggandengnya ke kamar sang Bunda.

Alin merasa kesal dengan semua ini. Kenapa dirinya lupa semua. Keluarga, saudara, teman, sampai kamarnya sendiri saja dirinya lupa. Apa kecelakaan yang menimpa dirinya segitu parah hingga membuat berbagai memori yang tersimpan baik langsung hilang begitu saja.

Besok dirinya akan kembali bersekolah. Ia juga lupa di mana letak sekolahnya, jangankan letak, nama sekolahnya saja dirinya lupa. Lalu mungkin di sekolah nanti, ia akan lupa semuanya. Memulai semua dari awal. Persis seperti bocah yang baru keluar dari rumah. Ayam yang baru mengenal dunia luar.

Mungkin akan sedikit memalukan jika dirinya menanyakan hal yang seharusnya semua orang tahu pada temannya nanti. Apa dirinya harus diam saja? Atau bertingkah seperti biasanya? Tapi entahlah. Yang ia ingat hanya Citra dan Rilo. Karna mereka berdua yang sering menampakkan diri di depannya.

➷➷➷

ʕノ)ᴥ(ヾʔ

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang