Bertahan didekatnya akan lebih membuatmu sengsara
»»————><————««
Malam menjelang. Dengan telaten Alin mengganti kompres di dahi Gendra. Kemudian menaikan selimutnya. Karna ini malam, pasti udara dingin akan masuk melalui jendela. Jadi Alin mengambil remot AC dan mematikan ACnya. Gendra sudah tertidur. Tidak tega Alin untuk mengganggu Gendra dengan alasan menemaninya. Alhasil dia mengambil ponselnya. Berderap pelan menuju balkon. Duduk di sofa dengan menghadap depan yang berbalut pemandangan langit malam.
Tak lama ponsel Alin bergetar di genggamannya. Melihat siapa yang menelpon membuat ingatan Alin tertuju pada kejadian sore tadi. Semoga saja Bundanya tidak menayakan hal mengenai tadi. Alin mengangkatnya, menempelkan layar ponsel di daun telinga.
"Halo Bun."
"Kamu di mana Sayang, Bunda sudah nunggu loh."
"Maaf Bun, Windi lupa ngabari. Windi tidur di rumah Gendra sehari ya Bun? Gendra lagi sakit."
"Sayang, kenapa nggak pulang saja. Bukankah Gendra sudah punya tunangan?"
"Windi tahu Bun, tapi ini permintaan Gendra. Windi minta maaf Bun, apa Tante Nina memberitahu Bunda sesuatu?"
"Iya, Bunda saranin, setelah ini. Kamu jauhi Gendra. Cari sahabat lain saja. Lagipula Citra dan Rilo ada. Kamu ngerti 'kan?"
"Tapi Bun—"
"Windi, ini permintaan Bunda. Jauhi Gendra kalau kamu nggak mau tersakiti."
"Windi nggak masalah mau ditampar lagi sama Om Arya, Bun. Windi cuma mau ada di samping Gendra. Meski Windi masih belum ingat Gendra. Tapi Windi ada rasa sama dia, Bun."
"Bunda tahu itu, Sayang. Gendra suka sama kamu, begitu juga kamu. Bunda juga nggak bisa misahin kalian begitu saja. Kebersamaan kalian sejak kecil membuat hubungan kalian semakin erat. Tolong pahami perasaan Bunda sayang. Bunda nggak bisa ngeliat kamu tersiksa seperti tadi. Bunda juga merasakan rasa sakit itu."
"Windi minta maaf. Aku tahu kalau Windi salah. Tapi untuk masalah ini, aku mohon biarkan Windi yang menghadapinya sendiri. Bunda sudah banyak membantu Windi. Lagipula Windi sudah besar. Windi tahu apa yang harus Windi lakukan ke depannya. Termasuk mempertahankan Gendra."
Helaan terdengar di seberang. "Terserah kamu Sayang, Bunda akan mendukung keputusan kamu."
"Makasih Bun."
"Kamu tidur ya Sayang, ini sudah malam."
"Iya Bun."
Setelah itu sambungan terputus. Alin meletakkan ponselnya di sebelah. Menyandarkan punggung ke belakang. Rasanya sangat menyakitkan jika harus memilih keputusan. Alin memejamkan mata. Menaikkan kedua kakinya dan merinkuk di sofa. Semoga pagi besok menjadi pagi yang menyenangkan. Detik berikutnya Alin terlelap. Mengabaikan rasa dingin yang menusuk tubuhnya hingga tulang iga. Yang Alin pikirkan hanyalah kesembuhan Gendra.
Di luar kamar Gendra. Semua lampu dimatikan. Flora mengendap-endap naik ke kamar Gendra. Cewek itu tidak pulang dengan alasan akan beradaptasi dengan keluarga Gendra. Dan mencoba untuk meyakinkan Gendra agar mau bertunangan dengan dirinya. Perlahan Flora menurunkan knop pintu dan membukanya sepelan mungkin. Flora melihat sekeliling. Kamar ini gelap dan cahaya biru dari bulan saja yang masuk. Gendra terbaring di ranjangnya.
Lalu mata Flora mencari sosok Alin. Dan menemukannya di sofa balkon. Flora menutup pintu kembali. Berderap pelan ke arah Alin. Di tengah perjalanan Flora mengeluarkan sebuah kain yang sudah tercampur biusan. Sampai di belakang Alin. Segera Flora mendekap mulut Alin dengan kain itu. Awalnya Alin sadar dan meronta, tapi perlahan gadis itu kembali terlelap. Flora menunjukkan senyum liciknya. Berjalan ke depan Alin. Mengeluarkan tali dari saku celananya. Mengikat kedua tangan serta kaki Alin. Tak lupa juga menutup mulut Alin dengan kain.
Kemudian menyeret pelan cewek itu ke kamar mandi Gendra. Memasukkan Alin ke bath-up. Menyalakan kran air dingin hingga memenuhi bak mandi itu. Beberapa menit Flora berdiri berkacak pinggang di depan Alin menunggu air itu penuh. Flora berangan bila pagi nanti Alin akan sakit. Itu adalah pembalasannya karna berani mengacaukan pertunangannya yang sudah di tetapkan satu bulan lagi.
Flora mematikan krannya. Menekan kepala Alin agar tenggelam. Menutup bak mandi itu dengan tirai putih. Tugasnya selesai. Flora segera keluar dari kamar mandi dan kamar Gendra. Dia tidak menyangka bila tugasnya berjalan lancar seperti ini.
➷➷➷
Pagi menjelang. Gendra yang merasa kedinginan menaikkan selimutnya hingga batas leher. Serasa mengganjal di dahinya Gendra meraba. Dan menemukan sebuah kain yang sudah dingin di dahinya. Lalu mata Gendra bergerak membuka. Awalnya buram kemudian lebih jelas. "Windi."
Tidak ada jawaban. Gendra terpaksa duduk. Dirinya sudah nampak segar. Tidak lagi merasakan meriang atau pusing seperti kemarin. Hanya saja dingin. Butuh dekapan hangat dari kekasihnya itu. Gendra turun dari ranjang. Berderap menuju balkon. Pintu balkon terbuka lebar. Tidak ada tanda-tanda akan kekasihnya di sini. Tapi Gendra melihat ponsel Alin tergeletak di sofa. Lalu di mana cewek itu?
"Masa iya pulang sih."
Badan Gendra bergetar. Rasa dingin di pagi ini membuatnya ingin mengeluarkan air kecil. Tanpa basa-basi Gendra berlari kecil ke kamar mandi. Awalnya ada yang aneh di kamar mandinya ini. Tapi Gendra buru-buru mengeluarkan air maninya. Selepasnya Gendra mencuci muka di wastafel. Menatap dirinya di cermin. Kembali Gendra melihat sebuah keganjalan. Ada yang aneh di kamar mandinya ini.
Sebelum Gendra sadar. Suara Mamanya menggema di bawah. Dan Gendra pikir Alin sudah di bawah. Justru itu ia segera menutup kamar mandinya dan keluar dari kamar. Tidak sadar bila di dalam bak mandi tersebut ada orang yang dicarinya sejak tadi. Alin masih belum sadar karna udara yang Alin hirup adalah air, bukan oksigen.
"Ma, Windi ada?" tanya Gendra langsung ketika melihat Bundanya meletakkan mangkuk di atas meja makan.
Tante Nina menggeleng. "Bukannya ada di kamar kamu ya?"
"Windi nggak ada."
"Mungkin pulang."
"Tapi HP sama tasnya masih ada di kamar Gendra. Nggak mungkin kan Windi pulang nggak bawa itu semua."
"Kita cari nanti, sekarang kamu makan apa mandi dulu? Ini sudah siang loh."
"Gendra ma—"
"Makan dulu ya? Aku temenin," seru Flora tiba-tiba datang. Cewek itu sudah lengkap dengan seragam dan tasnya.
Tatapan Gendra tak secerah tadi. "Ngapain lo nginep di sini?"
"Ya ... untuk berjaga-jaga saja. Siapa tahu kamu butuh aku," pede Flora mengibaskan rambutnya ke belakang.
"Ada Windi, jadi lo nggak perlu repot-repot jaga gue. Gendra mandi dulu Ma."
Gawat nih, batin Flora. Dengan cepat ia menahan lengan Gendra. "Sarapan dulu ya? Mumpung ada gue nih."
Dengan sabar Gendra melepaskan tangan Flora. "Gue mau mandi. Kalo lo mau sarapan, sarapan aja," ucap Gendra dengan intonasi pelan. Kesabarannya masih ada.
"Ayolah Gen, please," mohon Flora.
"Pendirian gue nggak akan berubah." Gendra kembali melangkahkan kakinya ke atas.
Tatapan Flora mengikuti Gendra. Semoga Windi udah mati!
➷➷➷
ʕノ)ᴥ(ヾʔ
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...