Ketika satu benda terlupa. Kita akan mengambilnya dan membawanya. Tapi bagaimana jika seseorang yang sangat berpengaruh terhadap kita dilupakan begitu saja?
»»————><————««
1 bulan ke depan
Koma. Satu hal tersebut yang membuat siapa saja lupa akan dunia. Lupa akan orang yang menunggu kapan kita kembali memandang dunia. Banyak orang yang keluar masuk ruangan ini hanya sekadar untuk memberi bingkisan serta mendo'akan kesembuhannya. Termasuk perwakilan dari SMA 5, guru-guru, dan Valdi sebagai ketua band.
Dan saat ini. Ruangan ini kembali sepi. Hanya ada Bunda Alin yang tetap setia duduk di sebelah brankar putrinya. Sementara suaminya tetap bekerja. Telapak tangan Tante Wahyu ada di genggaman Alin. Berusaha menyalurkan semangat pada putrinya.
"Windi, kamu nggak capek tidur terus? Bangun Sayang. Bunda kangen sama kamu, apa kamu akan bangun setelah Bunda bilang kalo Bunda sayang ... sama kamu."
"Bunda sayang sama kamu. Tapi Bunda memberinya dengan cara Bunda sendiri. Kalo kamu mau tahu, bangun dulu Sayang. Bangun dan buat Bundamu ini tersenyum."
Kepala Tante Wahyu ia tenggelamkan di tangannya yang masih menggenggam tangan Alin. Rasa kantuknya memang menyerang, tapi ia berusaha untuk tidak terlelap.
Tapi keajaiban Tuhan selalu ada. Detik ini. Gadis yang berbalut perban di kepala, siku kiri, lengan atas kanan, dan kedua lututnya. Mulai menggerakkan kedua kelopak matanya, lalu menggerakkan jari-jari tangan hingga mulai merasakan dan genggaman tangan yang juga menggenggamnya.
Bunda Alin sedikit tersentak saat tangannya ada yang meremas lembut jarinya. Ia menegakkan tubuhnya dengan tatapan terbuka pada putrinya yang ternyata sudah sadar. Beliau berdiri, tangan kiri yang terbebas mengelus pelan puncak kepala Alin. "Sayang ...."
Kedua mata Alin sudah terbuka. Matanya berjalan melihat sekitar yang terlihat asing baginya. Sampai ia melihat wajah seseorang di dekatnya. Ingin mengingat siapa dia, tapi rasanya susah sekali. "Si ... apa, kamu ...?"
Deg
Belaian di puncak kepala Alin seketika terhenti. Tante Wahyu menegakkan tubuhnya, menatap tak percaya dengan ucapan putrinya dengan memberi pertanyaan itu. "Ini Bunda sayang," lirihnya.
Alin menggeleng pelan. "Aku nggak ingat. Apa-apa."
Tante Wahyu sudah tak kuasa. Jarinya langsung memencet tombol merah di atas nakas guna memanggil dokter yang merawat putrinya selama ini. Pintu terbuka. Kedua pasang mata menatap pintu. Tapi bukan dokter, melainkan Citra dan Rilo yang memang sering datang ke ruangan ini.
Keduanya memberi salam, menyambar tangan Bunda untuk mereka salami. Kemudian Citra dan Rilo sama-sama menunjukkan senyum senang karna sahabatnya sudah sadar. "Alin sudah siuman, Tan? Kapan?" tanya Citra.
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...