➹ 24. Tersiksa Sendiri ➹

112 11 0
                                    

Terbiasa menyendiri memang selalu susah. Susah ingin menceritakan kepada siapa masalah kita sebenarnya

»»————><————««

     Diam. Satu kata yang mengartikan sosok cewek yang duduk di kepala ranjang dengan bersandar melipat kedua kakinya. Semua lampu ia matikan, tirainya juga tak ada yang terbuka. Semua tertutup rapat.

Waktu di mana seharusnya ia duduk di kursi dengan memperhatikan penjelasan guru. Justru dirinya duduk sendiri di tempat gelap ini. Menatap kosong depan dengan pikiran melayang ke mana-mana.

... Lo bukan hanya penghancur, tapi juga pembawa sial

Alin menggelengkan kepalanya. "Itu bukan Gendra, Gendra nggak mungkin ngomong gitu ke gue. Dia cowok baik, orang yang selalu bantu gue. DIA BUKAN GENDRA!" frustasi Alin melempar bantal dan gulingnya ke sembarang arah.

Ia turun, mengacak-acak semua barangnya di atas meja. Terlalu shock dengan kejadian tadi. Apalagi cowok itu berani main tangan padanya.

"Arrgh!" Alin terduduk di sebelah meja rias, kamarnya sudah berantakan bak kapal pecah, kini hanya terdengar suara tangisannya yang menggelegar. Penampilannya terlihat tak karuan karna masalah ini terlalu dirinya pikirkan. Hingga kepalanya terasa sakit dan berdenyut hebat.

"Gendra ... gue butuh perhatian lo ... gue udah anggap lo sebagian dari hidup gue. Karna cuma lo yang paham diri gue sebenarnya ...."

➷➷➷

     Gendra mendengus sebal. Haruskah di sekolah ini ada cewek spesies Sefi. Sejak kejadian tadi pagi, cewek itu selalu mengintilinya ke mana-mana. Perlahan Gendra melepaskan tangan cewek itu di lengannya.

"Gue mau pulang," kata Gendra memberitahunya, dalam artian dirinya tak mau berlama-lama dengan Sefi.

"Ayolah Gen, jangan naruh hati di Alin. Lo tahu sendiri 'kan tadi pagi, dia orangnya kayak gimana. Kita jalan sebentar yuk," ajak Sefi masih tetap menggelanyuti lengan Gendra di sepanjang koridor.

Cewek itu memang tak punya urat malu. Justru Gendra yang merasa risih. Dia kembali menurunkan tangan Sefi. "Gue mau pulang, dan berhenti ngikutin gue."

"Alin lo anggap bayangan, lalu kenapa gue nggak?" cibir Sefi cemberut.

Gendra menatap matanya lekat, membuat Sefi jadi salah tingkah dibuatnya. "Jangan samain lo sama Alin, bagaimanapun juga, she's my first woman. Paham?"

"Hanya karna cewek pertama lo anggap dia segitunya. Gimana kalo gue ganti jadi di mana ada Gendra di situ ada Sefi. Lebih pantes 'kan?" keukeh Sefi terus menggoda Gendra.

"Sama sekali enggak, di mana ada Gendra di situ ada Windi. Windi teman kecil gue yang sekarang dipanggil Alin, akan tetap jadi bayangan gue. Dia sakit, gue juga. Gue marah ke dia karna gue nunjukin kalo gue sayang sama dia. Dia salah dan gue benerin, lo sama sekali nggak bisa disamain, ngerti?" tekan Gendra. Melihat kebungkamannya, dia segera melenggang pergi.

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang