➹ 60. Berbeda ➹

59 6 0
                                    

Keanehan menjalar
Rasa ingin tahu melebar
Ingin berucap 'apa kabar?'
Tapi, terhenti di tenggorokan

»»————><————««

     Senyuman itu semakin lebar. Dalam artian, dia masih mengingat dirinya. Dan ucapan Citra dan Rilo di sepanjang jalan tadi. Mungkin mereka hanya menakut-nakuti dirinya saja.

"Gue nggak yakin Alin bakal ingat sama lo, Gen. Tapi mudah-mudahan aja dia ingat sama lo yang selama ini selalu ada di sisi dia," ucap Citra takut-takut.

"Emang kenapa?" heran Gendra. Untuk apa dia menjelaskan hal yang tak mungkin. Sahabatnya itu pasti mengingatnya. Tiga tahun waktu berpisah di SMP saja Alin ingat. Lalu cuma setahun untuk apa gadis itu lupa.

"Kalo semisal Alin nggak ingat sama lo. Lo bisa marahin kita yang nggak ngasih tahu lo selama ini," kata Rilo mencoba mengambil alih hati Gendra.

"Kalian ngomong apa sih. Windi pasti ingat sama gue," yakin Gendra seyakinnya.

Tapi jika dipikir-pikir lagi. Saat itu, raut Rilo dan Citra begitu serius. Membuat Gendra tak yakin sepenuhnya. "Lo masih inget sama gue?"

Anggukan mantap Alin tunjukkan dengan tampangnya yang dingin. Bagaimana dirinya bisa lupa jika sosok bayangan di mimpinya itu memanglah dia. Setelah Alin mendetail lekuk wajahnya yang memang tampan. "Gimana gue bisa lupa sama cowok yang selalu hadir di mimpi gue."

Lalu sorakan sekelas terdengar. Mereka pasti mengira bila Alin terus memimpikan Gendra di tiap malamnya. Mereka salah. Alin hanya memimpikan bayangannya yang terus mengusik dirinya setiap malam. Dan kali ini. Dirinya akan mencari tahu sendiri siapa Gendra sebenarnya. Sampai dia menjadi sahabatnya. Tapi Alin sudah melupakan persahabatan itu. Kini tinggallah pencarian. Mencari kebenaran atas semuanya.

➷➷➷

     Mereka jalan berdua menuju parkiran. Sebenarnya bisa saja Alin menolak untuk diajak pulang bersama Gendra dan memilih bersama dua sahabatnya itu. Tapi untuk menelusup masuk ke seluk beluk cowok di sebelahnya ini. Dirinya harus selalu ada di sebelahnya.

Stir kanan Gendra lakukan. Mata cowok itu bergerak sekilas ke arah Alin yang diam menatap depan. "Tumben diam."

Kini tatapan Alin yang beralih penuh ke cowok itu. "Males ngomong aja," balasnya dingin.

"Biasanya kan lo paling cerewet. Ceritain kek kerinduan lo ke gue saat gue ada di Australia."

Kepala Alin bergerak ke arah jendela. Menatap jalan di luaran sana. "Rindu? Kalo emang rindu. Kenapa lo nggak ngabarin gue dulu?"

Helaan nafas Gendra keluarkan. Ia tahu kesalahannya di mana. Waktu itu saat sudah tiba di Australia. Dirinya ingin menghubungi Alin. Tapi nomor gadis itu tidak aktif. Lalu beralih menghubungi Citra. Tersambung. Tapi tak lama terputus karna pulsanya tak memadai. Dirinya me-miss call Citra, dan cewek itu tak kunjung menelponnya balik. Akhirnya ia pergi untuk mencari penjual pulsa.

Nahasnya. Dirinya tersenggol seseorang, ponselnya terlepas dari genggaman. Terjatuh. Terseret lalu kreetek. Ponselnya hancur karna tertindas mobil. Itulah sebabnya Gendra tak bisa menghubungi Alin duluan. "Maaf, waktu itu ponsel gue hancur."

Alin diam. Menganggap ucapan tadi hanyalah angin lewat. Tak penting juga karna sudah terlanjur. "Jalan rumah gue belok, kenapa lo terus?" tanya Alin tanpa sempat mengalihkan tatapannya dari jalanan.

"Ke rumah gue lah. Mama sama Balqis kangen juga sama lo."

"Terserah."

Hening melanda kembali. Membuat Gendra menjadi tak nyaman. Rasa ingin tahu dan bertanya menyelimuti. Sampai akhirnya ia menepikan mobil sebentar.

Kernyitan di dahi Alin terlihat. Ia jadi kesal karna tak segera pulang. Dirinya sudah lelah dan ingin berbaring di ranjangnya yang empuk. Dan malah cowok ini semakin mengulur waktunya dengan berhenti segala. "Kenapa berhenti?"

"Windi," panggil Gendra menatap tajam Alin dari tempatnya duduk. Gadis itu terlihat malas-malasan hanya untuk menatap dirinya. Padahal dulu, dia sangat antusias dan senang bila harus berjalan berdua dengannya.

"Apa?" jawab Alin jengkel. Ia membalas tatapan tajam Gendra dengan tampang dingin dan coolnya.

"Lo nggak papa 'kan?"

"Lo pikir gue sakit?"

"Ya enggak, lo kayak beda aja."

Alin kembali menatap jalanan di jendela. Malas berdebat dengan cowok yang suka mengusiknya di mimpi dan kenyataan. Dan benar, cowok itu memang menyebalkan. "Udah ah, jalanin mobilnya. Gue capek nih."

Gendra mencoba sabar. Mungkin Alin masih kesal dengannya. Ia kembali menjalankan mobilnya. Memasuki kawasan rumah lamanya. Aksennya masih sama dan terawat. Tidak sia-sia orang tuanya mengandalkan pembantu di rumah ini untuk merawat rumahnya.

Gendra melepas sabuk pengamannya. Menoleh ke Alin yang ternyata sudah berdiri di sebelah mobilnya. Biasanya cewek itu langsung masuk tanpa menunggu dirinya. Gendra keluar. "Kenapa diem di situ?"

Alin membalik badannya seratus delapan puluh derajat ke arah jam tiga. Wajahnya masih datar tanpa ekspresi. "Ya lo masuk duluan aja."

Langkah Gendra terlihat. Cowok itu berjalan menghampiri Alin. Berdiri di sebelahnya lalu merangkulkan tangannya di leher Alin dan munjuntai ke bahunya. "Yok dah."

Alin mengikuti langkah Gendra. Dia diam bukan karna apa. Tatapannya menyinis pada telapak tangan di bahunya. Ia akan menunggu sampai waktu dan tempat memihak dirinya. Untuk sekarang ikuti alur main dari lelaki di sebelahnya ini.

Pintu terbuka. Gendra membawa Alin untuk lebih masuk ke rumahnya. Tatapan Alin menyapu seluruh ruangan. Ia seperti pernah ke tempat ini. Dirinya berusaha berpikir sebisa mungkin. Jika sudah mentok, dirinya diam. Ia tak ingin membuat kepalanya pening hanya untuk mengingat seauatu.

"Windi ...!" seru suara seseorang menggemparkan seisi rumah. Tatapan Alin beralih penuh pada wanita yang sepertinya seumuran dengan Bundanya. Beliau langsung memeluk Alin dengan erat. Seakan sudah tak bertemu bertahun-tahun. Alin jadi heran. Kenapa banyak orang yang mengenalinya. Termasuk ... sepertinya wanita ini Ibu dari cowok menyebalkan di sebelahnya.

Tante Nina, Mama Gendra melepaskan dekapannya. Kedua telapak tangannya menangkup wajah mungil Alin. Tinggi mereka hampir sejajar, hanya saja Alin lebih tinggi beberapa cm. Alin dapat melihat binaran rindu menyelimuti mata itu. Jika dirinya bertindak tidak senonoh secara mendadak. Mereka pasti akan dapat menebak bila dirinya tidak lagi mengingat mereka. Jadi untuk sekarang. Dirinya harus pandai-pandai bersandiriwara.

Senyuman manis Alin tampakkan. "Hai Tante." Dan kata itu hanya sekadar basa-basi menghilangkan kecanggungan. "Perjalan Tante ke sini bagaimana?" Dan kalimat itu terluncur begitu saja. Ia tahu keluarga Gendra habis menikmati perjalanan jauh dari Australia ke sini. Karna Citra memberitahunya.

"Alhamdullillah perjalanannya lancar. Kita ngobrol sebentar di teras yuk," ajak Tante Nina menggandeng tangan Alin. Membawanya ke teras belakang. Dan Gendra pergi ke kamarnya. Lelaki itu mungkin merasakan keanehan di dalam dirinya. Tapi ya sudah biarlah. Masalah lelaki itu. Dirinya bisa menangani nanti. Dengan mengobrol banyak bersama Mamanya. Kemungkinan dirinya menemukan setitik cerah warna.

➷➷➷

ʕノ)ᴥ(ヾʔ

•FLASHBACK• (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang