Terlalu dibuat serius akan menjadi tak baik
»»————><————««
"Gen ...."
"Gendra ...!" teriak Alin di depan Gendra.
Kontan mata Gendra langsung menangkap mata Alin di depannya. Ia menatap sekitar, kelas sepi. Lalu kejadian tadi? Hembusan nafas Gendra terkeluarkan. Ternyata hanya imajinasinya saja.
Tangan Alin terulur memegang dahi Gendra dengan punggung tangan. "Lo kenapa sih? Ngelamunin apa?"
Gendra menggeleng. Ia mencari topik untuk mengalihkan semua, sehingga sebuah pertanyaan terlontar. "Jadi ikut gue ke lapangan 'kan?"
Alin mengangguk mantap. "Sumpah gue males latian sama Kak Tasya, jelasin nggak, marah-marah iya," bisik Alin kembali mencondongkan tubuhnya ke Gendra.
"Ya udah lah, yuk," ajak Alin. Dia berdiri, membenarkan kursinya seperti semula.
Gendra menggeleng pelan. Ada apa dengan dirinya sekarang. Lantas ia berdiri dengan membawa tas ranselnya ke punggung. Mengekori Alin yang duluan di depannya.
Di koridor langkah Alin termundur beberapa langkah karna tarikan di kerah belakangnya. Kemudian sebuah tangan menjuntai di belakang lehernya. Siapa lagi jika bukan sahabatnya. "Nyantai aja jalannya."
Alin mendongkak. Bertatapan langsung dengan mata itu lagi. "Gue mau tanya."
"Ngomong aja," jawab Gendra menatap depan. Jika tidak ya siap-siap untuk menabrak sesuatu.
"Kenapa ... lo ngelamun?"
Lipatan dahi Gendra terlihat sembari melirik Alin sekilas lalu kembali menatap depan. Kerutan itu hilang, diganti suaranya untuk menjawab, "Lagi kepikiran sesuatu aja."
"Hei Gen!" sapa teman setimnya—Zen, seraya melambaikan tangan pada Gendra.
Senyum Gendra mengembang, dia hanya membalas lambaiannya saja dengan lambaian juga. Lalu tatapannya beralih pada Alin di sebelahnya. "Gue ganti baju dulu ya."
"Oke, gue tunggu di sana ya?" jawab Alin menunjuk kursi penonton di sebelahnya. Selepas mendapat anggukan dan senyuman Gendra, Alin berderap ke tempat yang baru saja dirinya tunjuk, sementara Gendra berjalan ke ruang ganti khusus.
Alin duduk di bangku nomor tiga dari bawah. Agar dirinya bisa melihat jelas permainan Gendra. Daripada ditekan terus untuk melancarkan tangan di atas tuts-tuts putih hitam itu. Apalagi Valdi masih belum bisa mengajar dirinya seperti awal.
Tatapan Alin menyapu sekitar. Tempat ini luas dan sepi. Hanya ada anak basket laki-laki dan perempuan. Dan hanya ada dirinya sendiri yang duduk di bangku penonton ini. Tapi ya sudahlah. Yang penting sekarang. Matanya terfokus pada cowok yang mengenakan kaos basket tanpa lengan berwarna biru putih. Cowok itu berjalan dengan cool nya ke tengah lapangan. Menyapa ke rekan timnya dengan bertos ria di udara.
Senyum Alin semakin lebar kala mata Gendra beralih padanya dengan lemparan senyum. Tak bisa mengelak, hati Alin berbunga-bunga menerima senyum tampan itu. Meskipun sudah berkali-kali menerimanya, tetap saja hati dan jantungnya menari-nari. Walau Gendra sudah tak lagi menatapnya dan memilih bergabung bersama teman-temannya. Tetap saja senyum Alin masih setia menghiasi wajah manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
•FLASHBACK• (TAMAT)
Teen FictionBelum direvisi dan belum dilanjut. Maklum kalau acak-acakan. Dia adalah semangatku, inspirasiku, penyanggaku sejak dulu. Kesalahan di masa lalu terdengar biasa, lalu kenapa dia memperbesarnya dan menyimpannya hingga kini? Membuatku semakin merasa be...