Keadaan di dalam mobil sunyi senyap. Tidak ada yang angkat suara antara Giselle dan Satria. Tidak ada juga suara dari media player mobil Giselle. Kecanggungan karena kejadian di Food Plaza masih berbekas di antara keduanya.
Yang satu menunggu, yang satu kebingungan.
Giselle mencakupkan kedua tangan, menumpuknya di atas paha. Beberapa kali ia melirik ke arah Satria, namun tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir sang lelaki. Giselle sungguhan butuh penjelasan. Ia tidak suka dibiarkan menggantung seperti ini.
Satria dapat menangkap lirikan Giselle. Lelaki itu tahu kalau Giselle pasti berharap dirinya akan segera menjelaskan maksud ucapannya tadi. Satria jujur bingung bagaimana ia harus menjelaskan. Satria tidak akan menutupinya, ia menyukai Giselle. Mungkin saja sudah cinta, tapi Satria menyadari bahwa tidak akan mudah untuk menjalin suatu hubungan dengan Giselle setelah nantinya ia menyatakan perasaan.
Satria tidak yakin, namun dari cara Giselle menghindarinya sebulan terakhir, si lelaki datang pada kesimpulan bahwa gadis itu trauma dengan laki-laki. Giselle mungkin bisa bersikap manja pada Satria dulu, tetapi sekarang semua berbeda. Apalagi Satria sempat menyaksikan langsung bagaimana kejamnya Papa-nya Giselle pada sang putri.
Setiap mengingat kejadian itu, jantung Satria serasa diremas oleh hal fana. Sebagai sesama manusia, wajar jika Satria khawatir. Siapa yang tidak khawatir jika melihat temanmu disakiti? Tetapi khawatir yang Satria rasakan terlalu berlebihan. Apalagi namanya kalau bukan jatuh cinta? Kalau tidak cinta, tidak mungkin kamu akan se-khawatir itu bukan.
Satria membelokkan mobil menuju Pantai Mutiara dan menghentikan mobil di pinggir jalan yang berhadapan langsung dengan badan air. Satria keluar, memutari badan mobil dan membuka pintu di bagian Giselle duduk.
Giselle keluar dari mobil, menutup pintu dan menyusul Satria yang kini bersandar pada bagian samping mobil dengan tatapan teduh ke arah laut. Kedua tangan Satria menelusup ke kantung celana jeans yang lelaki itu kenakan. "Why we go here?" tanya Giselle.
"To talk," balas Satria singkat.
Sunyi kembali menyelimuti. Giselle dan Satria saling mendiami satu sama lain, tidak berani untuk angkat suara. Lima menit berlalu, barulah Satria berani berbicara.
"Gue suka sama lo, Giselle."
Sesingkat itu saja ucapan Satria, tetapi efeknya mampu membuat jantung Giselle berdetak cepat. Badannya panas dingin. Panas karena kerja jantungnya dan dingin karena terkena terpaan angin malam. Sungguh efek yang berbahaya.
Giselle tidak menyangka akan tiba hari di mana seseorang benar-benar menyatakan perasaan padanya. Giselle bukannya tidak pernah dekat dengan lelaki, tetapi tidak ada satupun yang berani mengucapkan kata suka padanya. Giselle selalu menghindar ketika kedekatannya dengan lelaki mulai mengarah pada hubungan romantis.
Hanya Satria yang bisa mencapai tahap menyatakan perasaan, seperti saat ini.
Satria berdeham pelan. "But I know very well you won't ready for deeper relationship. Bukan gue ngeremehin lo, tapi gue tahu lo punya trauma mendalam sama cowok. Efek yang Papa lo tinggalin itu besar banget buat lo. Dan kejadian sebulan yang lalu pastinya bukan yang pertama kali. He did it numerous time too, right?"
KAMU SEDANG MEMBACA
notre vie | aespa ✔️
General FictionIni tentang aespa, satu dari banyak 'geng' eksis di Hope University. Karina, Giselle, Winda, dan Ningning mungkin bersahabat, namun keempatnya punya cerita sendiri, dengan lika-liku yang berbeda. #1 on ningning | 2020.12.29 #1 on ningyizhuo | 2020.1...