lima puluh empat

738 138 6
                                    

Winda memejamkan mata, menikmati semilir angin menerpa wajah dan menerbangkan surai yang tergerai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Winda memejamkan mata, menikmati semilir angin menerpa wajah dan menerbangkan surai yang tergerai. Sudah lama sekali Winda tidak menikmati suasana menenangkan seperti ini. Pantai Ancol mungkin tidak seindah pantai-pantai di luar Jakarta, namun suasananya sudah sangat mampu membuat Winda tenang.

Sebelum ke Ancol, Winda diajak Sena mengelilingi Kota Jakarta dengan sepeda motor. Mereka tidak lupa untuk pergi makan siangㅡyang tidak bisa juga disebut makan siang karena mereka makan pukul tiga soreㅡdi warung kaki lima daerah Tanah Abang guna menikmati semangkuk sop kaki kambing. Sempat juga membeli es krim di A&W dekat pantai.

Langit Jakarta tidak seterik biasanya, namun tidak juga sangat mendung di mana hujan dapat turun kapan saja tanpa bisa ditebak. Cuaca yang sangat bagus untuk sekadar duduk di pembatas pantai sembari berbincang ringan.

"Feels great?" tanya Sena yang muncul dengan dua kaleng minuman karbonasi berwarna biru dengan tulisan berwarna putih. Satu kaleng ia berikan pada Winda sembari menjatuhkan tubuh di samping si gadis.

Winda menerima pemberian Sena. "Thanks," balas Winda dan setelahnya masing-masing sibuk dengan pemikiran sendiri. Sena lebih pada memberi Winda sedikit ruang untuk menenangkan diri. Sena tidak tahu apa yang Winda pikirkan, jadi ia biarkan si gadis berkelana di dunianya.

Beberapa saat, Sena memberanikan diri bertanya setelah dirasa Winda sudah lebih tenang. "Kamu kelihatan lagi banyak beban? Ada masalah?" Sena harap-harap cemas pertanyaannya dibalas atau tidak oleh Winda.

Winda terdiam cukup lama dengan netra menatap lurus pada garis cakrawala. Winda bukan mendiami Sena, hanya saja ia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya jenuh. Katakan Winda jenuh dengan tugas kuliah, tetapi sejenuh-jenuhnya ia tetap menyelesaikan tugas dengan baik. Matematika itu kesenangan Winda, bahkan si gadis merasa tidak akan bisa hidup tanpa problematika penghitungan.

"Sena?" panggil Winda tanpa menoleh.

"Iya?"

Winda menunduk pelan, jari telunjuk bergerak abstrak pada pembatas pantai di sekitar kaki. "Kamu pasti bosan dengan pertanyaanku. Kamu, kenapa bisa suka sama aku?"

"Maksud aku, apa yang kamu lihat dari seorang Winda Ayu Permatasari? Aku ini enggak ada spesialnya, kenapa kamu suka?" imbuh Winda.

Biasanya Sena mampu membalas pertanyaan Winda, namun kali ini lidahnya kelu. Memberi jawaban dengan nada bercanda seperti biasanya tentu tidak tepat dilontarkan sekarang.

"Sena?"

"Hmm?"

Winda menoleh menatap Sena yang sejak tadi menatap si gadis. Netra mereka bertemu dan Winda dapat melihat pantulan dirinya pada obsidian hitam si lelaki. Sena benar-benar tulus menyayanginya. Tidak ada yang perlu Winda ragukan dari sosok Sena, lelaki itu sangat bisa membahagiakannya.

Sena memang tidak perlu diragukan. Winda justru yang ragu pada dirinya sendiri. Bisakah perasaannya membuat Sena bahagia? Apakah perasaan ini akan selalu seperti ini nantinya? Mampukah Winda untuk tidak menyakiti Sena di masa mendatang? Winda ragu akan pertanyaan untuk diri sendiri.

notre vie | aespa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang