Satria menaiki tangga rumah Giselle dengan hati-hati agar air dari gelas ditangannya tidak tumpah ke lantai. Samar-samar, Satria bisa mendengar suara isakan dari salah satu ruangan yang pintunya terbuka. Tebakan Satria, ruangan tersebut adalah kamar Giselle.
Satria berdiri di ambang pintu, menyaksikan Giselle yang duduk di tempat tidur dengan posisi kaki terangkat dan kepala bersembunyi di sana. Satria awalnya ragu untuk mendekat, namun ia sudah terlanjur naik untuk membawakan air. Memanggil Karina untuk kembali juga tidak mungkin, gadis itu sudah memiliki acara dengan Tama.
Melihat Giselle menangis membuat hati Satria teriris. Sadar tidak sadar, Satria tidak suka melihat Giselle menangis, apalagi karena pria tua brengsek yang menyakiti si gadis setengah jam yang lalu. Betapa teganya seorang Ayah memukul anak gadisnya. Hubungan Papa dan Mama Giselle mungkin sudah berakhir, Satria tahu fakta tersebut dari Hendra dan Reza, tetap saja tidak pantas. Giselle masih anak kandungnya. Walau bukan anaknya sekalipun, pria itu tidak punya hak menyakiti Giselle.
Satria beranikan diri mendekat dan menempelkan gelas pada pipi Giselle. Giselle melirik gelas di samping pipi kanannya.
"Makasih, R..." Ucapan Giselle terputus saat ia mendongak dan tidak menemukan sosok Karina yang tadi membawanya ke atas, melain Satria.
"Maaf kalau gue lancang masuk kamar lo. Tadi Karin sama Pak Tama ada urusan, makanya mereka minta tolong gue bawain air buat lo," ucap Satria.
Giselle mengambil gelas dari tangan Satria dan meminum air dengan pelan. Giselle tidak lagi menunduk, membuat Satria dengan mudah dapat melihat bekas kemerahan pada pipi si gadis. Tanpa suara, Satria keluar dari kamar Giselle.
Giselle yang sudah selesai minum awalnya bingung dengan kepergian Satria, tetapi dalam waktu singkat si lelaki kembali dengan handuk kecil di tangan. Satria menaiki tempat tidur, menopang tubuh dengan lutut mendekati Giselle. Lelaki itu raih dagu Giselle pelan, lalu menempelkan handuk yang ia basahi dengan air dingin pada pipi kanan si gadis.
"Biar enggak merah lagi," ucap Satria.
Tubuh Giselle mendadak kaku. Jujur saja, ia tidak pernah berada dalam jarak sedekat ini dengan lelaki. Bukan tidak pernah, orang biasanya Giselle suka menempel pada Satria, tapi sebelumnya kan Giselle tidak pernah memiliki pikiran jatuh cinta. Tidak seperti sekarang, jantung Giselle selalu bekerja dua kali lipat saat berada dekat Satria. Yang membuat si gadis bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia sudah jatuh cinta pada pesona Satria?
Sampai saat ini, Giselle tidak tahu apa yang sesungguhnya ia rasakan pada Satria. Giselle selalu menyakinkan dirinya bahwa ia hanya menyukai Satria sebagai seorang fans. Kalau memang masih seperti itu, seharusnya Giselle tidak perlu menghindar. Dengan menghindari Satria, Giselle secara tidak langsung memberi petunjuk pada orang banyak kalau hatinya sudah benar-benar jatuh pada Satria.
Namun Giselle memilih mengelak isi hatinya. Ia ambil handuk dari tangan Satria dan ia tempelkan sendiri di pipi. "Biar gue sendiri."
Giselle takut untuk jatuh cinta. Pikirannya kembali mengingatkan kejadian setengah jam lalu saat sang Papa menampar, menjambak, dan hampir memukulnya. Dengungan itu lalu terdengar memekakan telinga Giselle setiap rasa trauma muncul di permukaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
notre vie | aespa ✔️
General FictionIni tentang aespa, satu dari banyak 'geng' eksis di Hope University. Karina, Giselle, Winda, dan Ningning mungkin bersahabat, namun keempatnya punya cerita sendiri, dengan lika-liku yang berbeda. #1 on ningning | 2020.12.29 #1 on ningyizhuo | 2020.1...