lima puluh satu

838 139 11
                                    

Giselle duduk di balik kaca yang memisahkan antara ruang pengunjung dan ruang tahanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Giselle duduk di balik kaca yang memisahkan antara ruang pengunjung dan ruang tahanan. Berada di rumah sakit kepolisian, pasien tetap harus dipisahkan dari pengunjung. Tangan Giselle menyatu di atas paha, sesekali mencuri tatap pada sang Papa yang duduk menatap dirinya.

Keduanya diam. Tidak ada percakapan. Giselle yang berniat berkunjung, justru tidak tahu apa yang harus ia ucapkan pada sang Papa.

"Ngapain kamu ke sini?" Papa menjadi yang pertama membuka mulut dengan pertanyaan bernada sengak.

Giselle sudah menduga kalau Papa akan bersikap demikian padanya. Bukan hal baru, sebelum bercerai dengan Mama pun pria itu sudah bersikap demikian. Bertingkah seperti tidak ada cinta di antara si pria dan sang Mama sebelumnya. Sikap tersebut juga dirasakan oleh Giselle.

"Aku tahu, Papa enggak menganggap kami part of your life anymore. Sama, aku dan Mama enggak pernah menganggap Papa part of our life too. You left big scars on our heart, gimana caranya semua kembali normal?" ucap Giselle. Semua jenis perasaan muncul bersamaan dan Giselle tidak peduli jika kini dirinya berhadapan dengan seorang tersangka beriwayat gangguan mental.

"Tapi Papa tahu siapa yang menang di antara kita? Aku dan Mama. Bukan Papa!" hardik Giselle.

Rahang Papa mengeras. "Iya, kalian pemenangnya! Dunia selalu membela kalian, dunia tidak pernah berpihak padaku! Semua selalu tentang kalian, kalian, dan kalian!"

Umumnya, jika terjadi perselisihan antara pengunjung dan tahanan, petugas akan segera melerai dan membawa tahanan kembali. Apalagi tahanan memiliki riwayat gangguan mental. Namun hal itu terjadi kini. Siapa yang punya kerjaan kalau bukan Kakek. Akui kalau Kakek sangat kejam karena membuat Papa semakin histeris, tetapi pria itu hanya ingin Papa sadar kalau semua memang salahnya.

Giselle rasanya ingin menangis saat itu juga. Kenapa Papa masih juga tidak sadar bahwa semua ini salahnya. Coba kalau dia tidak selingkuh. Coba kalau dia tidak melakukan kekerasan fisik pada Mama dan Giselle. Coba kalau dia tidak memanfaatkan kekayaan keluarga Mama walau sudah terlalu sering melakukan hal-hal menyakitkan. Hidup Papa tidak akan hancur kalau pria itu tidak melakukan semua tindakan tidak berperikemanusiaan tersebut.

"Papa tahu kenapa hidup Papa selalu menderita? Itu ulah Papa sendiri! Papa janji sama Kakek buat menjaga Mama, menjaga Giselle. Tapi apa yang Papa lakukan? Papa selingkuh, papa melakukan kekerasan ke aku dan Mama, dan sudah sejahat itu Papa dengan teganya memanfaatkan kekayaan Mama untuk selingkuhan Papa dan juga anaknya!" marah Giselle.

"Jaga bicara kamu! Jangan bicara buruk tentang istriku dan adik kamu!"

"Apa?! Adik?! Aku enggak pernah punya adik!"

"Dia lahir karena aku! Kamu juga lahir karena aku! Jadi kalian bersaudara!"

"Jangan harap!" Ia tidak mau menganggap anak sang Papa dari wanita lain itu sebagai sang adik. Sebaik apapun anak itu, Giselle tidak bisa karena hanya ada rasa sakit yang ia rasakan setiap teringat akan si kecil.

notre vie | aespa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang