Invincibility - Bagian 11

3 2 0
                                    

Sabtu siang ini, Evan mengajak Yudha untuk bermain di kamarnya. Ia sedang merasa kurang enak badan sehingga malas untuk bepergian keluar.

Seperti biasa, Yudha membawa laptopnya untuk mengulik perangkat lunak yang sedang dikerjakannya atau mengikuti diskusi di forum-forum pemograman. Ia sedang tertarik untuk belajar mengenai Artificial Intelligence (AI) sehingga nyaris mengacuhkan Evan yang mengajaknya bermain game di laptop miliknya.

"Oi, Yud!" Evan yang duduk di lantai tampak cemberut melihat Yudha tetap bergeming bersama laptop di atas ranjangnya.

Akibat diacuhkan, Evan mengeluarkan ponselnya dan menyetel salah satu musik Kpop dengan volum suara maksimal. Setelah beberapa saat, Yudha akhirnya melihat ke arah dirinya dengan wajah sewot.

"Iya, Van. Gw denger. Ini gw lagi nanggung baca soal isu-isu terkait Machine Perception di AI. Kecilin donk suaranya," Yudha mempererat tudung jaket hoodie-nya untuk mengurangi suara yang masuk ke telinganya.

"Oh, ayolah Yud," Evan berdiri dan menghampiri Yudha.

Ia melipat tangan di depan dada sambil mengamati Yudha yang tetap fokus kepada layar laptopnya. Evan menghentakkan kaki kanannya beberapa kali sambil menunggu sahabatnya tersebut selesai membaca. Bila sudah konsentrasi seperti ini, ia yakin gempa bumipun tidak akan membuatnya bergerak.

"... Setidaknya, lu gak usah pakai hoodie lu di kamar gw lah biar gak kepanasan," Evan membuka tudung hoodie yang menutupi kepala Yudha.

Begitu tudung dibuka, rambutnya yang lurus sedikit gondrong langsung berkibar. Sebentar kemudian, Yudha menghela nafas panjang dan menutup laptopnya sambil menyisir rambut dengan tangan kirinya.

"Udah, beres. Tapi... gw masih tetap gak paham," Yudha menggosok dagunya.

"Hah? Master coding kaya lu bisa sampai gak paham soal AI?" Evan membelalakkan matanya.

"Bukan. Maksud gw, aplikasi Superpower. Gw yakin kalau ini harusnya semacam independent AI, tapi gw tetap gak bisa paham kenapa aplikasi ini bisa-"


*PUK!*


Evan memukul pundak Yudha dengan agak kencang hingga berbunyi.

"Duh, ngapain sih lu mukul-mukul? Gw kan bukan samsak," Yudha meringis kecil sambil mengusap pundaknya.

"Dude," Evan langsung mengambil posisi duduk dan merangkul pundaknya, "Sudahlah. Gak usah terlalu digali. Gw takut lu bakal ngalamin nasib yang sama kayak koko gw."

"Dipaksa untuk bantu manipulasi kasus kematian Kak Peter itu? Emangnya orang lain, atau mungkin lu, punya rencana nyuruh gw manipulasi kematian orang juga?"

Evan langsung mengacak-acak rambut Yudha selama beberapa detik. Rambutnya terasa sedikit berminyak karena sering ditutup hoodie.

"Gak gitu juga lah. Maksudnya, somehow terlalu dalam mencari kebenaran tentang aplikasi Superpower mungkin bisa mendatangkan hal yang gak baik buat lu. Kalau lu sampai kenapa-kenapa...."

"Yah, memang kekuatan super itu kayaknya lebih banyak membawa kesedihan daripada kebahagiaan- UHUK!"

Evan tiba-tiba 'mencekik' sedikit Yudha dengan rangkulannya.

"Yud, kita sudah pernah bahas ini lho. Apakah kekuatan super itu membawa hal baik atau tidak, gak ada yang tahu. Gak lu, gak gw, gak si empunya kekuatan, bahkan gak juga si Korona. Itu semua tergantung persepsi."

Superpower - Your Life Is The PriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang