Time Freeze - Bagian 14

5 4 0
                                    

Siang hari ini, suasana di kafe Starbucky tidak begitu dipadati pengunjung.

Dua-tiga pasang pengunjung dan sekelompok mahasiswa tampak sedang sibuk membicarakan tugas atau pekerjaan mereka. Di sudut lainnya, sepasang pengunjung setia kafe ini juga tampak sedang menikmati minuman yang mereka pesan untuk mengantisipasi kedatangan seseorang.

"Duh Pak, itu anak lama banget ya?" celetuk Ellie sambil menyeruput segelas mocachinno hangat.

"Yah udah santai aja. Udah bagus kita berhasil dapat lead ke dia untuk tanya-tanya soal kasus di Rumah Sakit Masilo tempo hari dari jurnalis kenalan gw itu," jawab Satria sambil mengerjakan suatu artikel di laptopnya.

"Pak, ini kan possible lead buat Kasus Merah. Kenapa malah gw yang lebih was was daripada lu sih?"

Ellie memperhatikan sejenak atasannya yang sedang serius tersebut, kemudian melihat ke arah kakinya yang terus menerus bergoyang naik turun.

"Oh... ternyata lu juga memang lagi kesal nunggu yah Pak? Kebaca tuh dari kaki lu Pak," ucap Ellie sambil menahan tawa.

"Berisik ah. Ini gw lagi fokus dulu buat edit artikel yang lu tulis. Si Pak Riki tiba-tiba minta artikelnya naik sekarang," Satria berusaha fokus kepada laptopnya sambil sesekali menyeruput Iced Cofee miliknya.

Atasan Satria tersebut memang dikenal cukup ketat. Orangnya termasuk tipe yang penuh pertimbangan dan ingin sekali semua berjalan sesuai rencana yang ia susun. Oleh karena itu, Satria dan Ellie selalu berusaha untuk mengerjakan semua permintaan dari sang atasan sesuai tenggang waktu yang diberikan.

Bila mereka gagal menyelesaikannya, maka kinerja mereka akan langsung diberi penilaian sangat buruk. Meskipun sangat ketat, Pak Riki masih cukup fleksibel dalam membiarkan anak buahnya bekerja di manapun.

"Hmm... Ya sudah kalau begitu Pak. Gw tadinya mau kasih satu informasi penting yang berhasil gw korek-... Eh, kebetulan dapat dari adik gw. Soal kasus di kampusnya dua bulan lalu itu, sih."

Satria terkejut sesaat, kemudian meminta waktu lima menit untuk menyelesaikan suntingannya dan mempublikasikan artikel yang dibuat oleh Ellie. Setelah itu, ia mempersilahkan bawahannya tersebut untuk memulai ceritanya.

"Jadi Pak, Gisela yang diduga sebagai pelaku kasus itu adalah anak si Jonru Kapak Besi, Pak."

"Huh? Lu tahu dari mana?" Satria membelalakkan matanya.

"Dulu, gw sempat cover beritanya waktu merangkap ngebantu bagian local news. Dia tuh semacam punya dendam dengan Kapolres Bonar, papanya Reza, gara-gara dia menangkap kedua orang tuanya."

"Hmm... Anak bos gembong narkoba ya," Satria memegang dagunya, "Kalau memanfaatkan koneksi, mungkin ia menghilang saat ini karena dibantu koneksi dari papanya ya. Rasanya, itu sesuatu yang masuk akal dilakukan oleh orang yang terlibat underground business sih."

Ellie mengangguk dan melanjutkan pembicaraannya.

"Insting jurnalis gw bilang hal yang sama sih Pak. Saat ini, kemungkinan dia berada di bawah perlindungan koneksi papanya. Mungkin juga lho koneksinya ini mengetahui tentang kekuatan super yang mau kita selidiki ini."

Satria menggosok-gosok dagunya. Seperti biasa, pada dagunya masih terdapat bekas sedikit brewok yang tidak dicukur bersih. Ellie sering terlihat geli saat melihat bosnya menggosok bagian tersebut.

"Oke, kita asumsikan dia memang berada di bawah perlindungan koneksi orangtuanya. Kalau Gisela pelaku Kasus Merah, kemungkinan besar Jonru dan koneksinya ini juga punya andil."

"Yap, gw setuju sama analisis lu Pak Detektif!" Ellie mengacungkan jempolnya.

"Tapi, rasanya aneh juga seorang gadis seperti dia membunuh orang-orang secara random, termasuk papa gw. Kalau Reza, masih masuk akal sih..."

Ellie terlihat berpikir sejenak sebelum menanggapi atasannya tersebut.

"Pak, mungkin gak sih papanya lu sempat terlibat dengan Jonru? Atau mungkin, koneksinya?"

Satria mengernyitkan dahinya. Ayahnya seorang dokter, jadi wajar saja bila ia pernah mengobati Jonru ataupun anak buahnya tanpa ia sadari. Namun, rasanya itu bisa terjadi kepada siapapun yang bekerja sebagai dokter.

"Jangan-jangan Pak, papa lu terlibat dengan suatu organisasi bawah tanah lho. Bisa jadi dia dokter merangkap mad scientist yang sedang meneliti sesuatu. Lalu Gisela itu semacam assassin mereka," Ellie berbicara sambil memasang tampang seperti seorang detektif.

"... Kenapa ya rasanya gw pengen nampol lu atas imajinasi tadi...," Satria menyeruput beberapa teguk minumannya.

"Ampun, Pak. Namanya juga insting jurnalis. Haha."

"Tapi, terlalu riskan sih mengirim anak sendiri sebagai assassin," Satria memasang wajah serius, "Dan, ini baru satu kemungkinan lho. Masih ada kemungkinan lain yang bisa jadi lebih masuk akal."

"Misalnya, Pak?"

"Misalnya Gisela itu bagian dari kelompok berkekuatan super yang punya niat buruk, atau bisa juga semua teori kita salah. Ternyata ini bukan kekuatan super, tapi mereka punya metode pembunuhan baru yang tidak bisa dilacak polisi..."

"Wah, imajinasi lu juga mantap Pak!" puji Ellie sambil mengacungkan jempolnya, "Tapi, Pak. Gw penasaran. Kenapa lu jadi mulai berpikir kalau kekuatan super itu memang benar ada, sih?"

Satria menggosok lagi dagunya sebelum mulai menjawab bawahannya tersebut.

"Pemicunya sih karena teman gw yang tewas dibunuh pas acara Gala Dinner Diamond tempo hari, si Mike. Gw sempat ketemu dia sebelum acara mulai. Dia tiba-tiba menanyakan soal kekuatan super ke gw, dan tampangnya lumayan serius..."

"Memangnya, apa yang aneh Pak kalau dia tiba-tiba bertanya soal kekuatan super?"

"Nah itu... feeling gw doank sih. Rasanya dia mau menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan super kalau kita berjumpa lagi. Sialnya, dia tewas dibunuh sama bosnya yang asusila itu..."

Satria merasa belum perlu menceritakan soal ingatannya yang tiba-tiba 'terkunci' mengenai detik-detik kematian ayahnya. Ia masih ingin menyelidiki tentang kekuatan super lebih dalam.

Ia sempat diam selama beberapa saat sebelum lanjut berbicara kepada Ellie.

"Yah, sudahlah. Cuma, menurut gw yang paling masuk akal, Gisela saat ini ada di bawah perlindungan koneksi orangtuanya. Apakah ada hubungannya dengan kekuatan super atau tidak, kita pikirkan lagi nanti deh. Gw telepon dulu lead kita untuk suruh masuk."

"Eh? Memangnya dia udah datang Pak?"

"Iyah, dia udah datang dari setengah jam yang lalu tapi gw suruh makan di restoran sebelah. Soalnya ini artikel harus publish sekarang," Satria menunjuk ke layar laptopnya, "Sebagai gantinya, gw dan lu *uhuk* akan bayarin makanan dia tadi dan minuman apapun yang dipesannya di sini."

"Pak....," Ellie tampak ingin menangis mendengar hal tersebut.


***

Superpower - Your Life Is The PriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang