Levitation - Bagian 16

5 4 0
                                    

"Apa kabar, Sherly? Kamu... Sendirian saja jadinya?" tanya Pak Mario sambil berjalan menghampirinya. Ia menengok ke sekitarnya, seolah memeriksa apakah ada yang mendampingi Sherly atau tidak.

"Bapak... Kok ada di sini?"

"Oh, kebetulan hari Sabtu ini, saya lagi nemenin keponakan saya untuk konsultasi ke dokter. Terus, tadi saya lihat kamu lagi antri ke labirin ini. Jadinya, saya join juga deh bareng keponakan saya. Soalnya tampak fun," jawab Pak Mario sambil tersenyum ramah.

"Tapi, kok keponakan Bapak gak ada?" tanya Sherly dengan gugup.

"Dia tadi udah saya antar ke dekat pintu keluar. Kita udah beresin semua tugas lho," ucap Pak Mario sambil membuat simbol 'peace' dengan kedua jari tangannya, "Terus karena saya lihat kamu tadi sempat bareng kakak kamu, jadinya saya putuskan untuk menghampiri kamu dulu."

Dari pernyataannya barusan, guru tersebut tampaknya memang sudah mengincar momen ini untuk mendekati Sherly. Ia berjalan memutari Sherly dan langsung menggenggam pegangan kursi rodanya.

"Saya rasa, kita pindah ke tempat lain dulu ya untuk mengobrol. Ada satu area kecil di ujung jalan yang ini. Di sana, ada mahasiswa penjaga yang ngasih tugas. Kamu belum ke sana kan?" Ucapnya sambil tiba-tiba mendorong kursi roda Sherly.

"Eh? Bapak tahu dari mana? Ini mau ke mana?"

"Saya lihat kamu dan kakak kamu dari tadi gak memegang balon ungu. Itu bukti yang dikasih si mahasiswa pemberi tugas di ujung sana nanti. Yuk, Bapak temenin kamu sambil ngobrol soal kesalahpahaman kita."

Sherly diam saja sambil dibawa ke tempat yang dimaksud oleh Pak Mario. Dalam pikirannya, ia sedang memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk keluar dari situasi ini.

Perlukah ia menggunakan kekuatan Levitation untuk kabur? Tapi, percuma saja jika digunakan dalam kondisi sekarang. Pak Mario bisa-bisa malah berpegangan pada kursi rodanya untuk tetap berada di dekatnya.

"Nah, sudah sampai. Halo lagi, Mas Dito," ucap Pak Mario menyapa mahasiswa petugas.

Di area kecil tersebut, terdapat salah satu kolam ikan besar yang memang sudah menjadi bagian dari taman rumah sakit ini. Hanya saja, pintu pagar masuk ke kolam sudah dibuka.

Kemudian, terdapat sebuah papan kayu lebar yang menghubungkan dua tepi kolam tersebut. Satu tepi terhubung dengan pintu masuk ke kolam, sedangkan di tepi satu lagi terdapat beberapa balon berwarna ungu yang diikat pada tiang portable. Di sekitar mereka, tidak ada siapapun selain mahasiswa petugas bernama Dito tersebut.

"Oh, mas yang tadi ya. Bukannya tadi teh, sudah main di sini?" tanya si pemuda dengan logat bahasa Sunda yang cukup kental.

"Iyah, ini saya bantuin pasien lain yang kebetulan anak didik saya. Boleh kan?"

"Ohh, boleh atuh mas. Silahkan dek, siap-siap di pintu masuk. Tenang, ini mah aman kok buat yang pakai kursi roda juga," ujar si pemuda sambil mengarahkan keduanya ke dekat pintu masuk kolam.

Sherly memutuskan untuk mengikuti dulu permainan ini sambil mengamati situasi. Pak Mario juga masih belum membicarakan apapun tentang kejadian saat kemping awal tahun tersebut.

"Nah, tugasnya gampang. Adik... siapa namanya?"

"Sherly kak."

"Oke. Adik Sherly perlu mengambil balon ungu yang ada di seberang papan ini. Nah, masnya boleh kalau mau jalan duluan untuk lepasin ikatan satu balon dan nanti dikasih ke adik Sherly pas sudah sampai di seberang. Gampang kan?"

"Nanti, balik ke sininya boleh bareng, mas?" tanya Pak Mario.

"Boleh atuh mas. Oh ya, tenang aja. Kolamnya dangkal kok. Ikan-ikannya juga sudah ditampung sementara di kolam yang lain. Kakak stand by di sini kalau amit-amit kamu jatuh. Normalnya, mata kamu harus ditutup dan badan kamu diputar dulu tiga kali. Tapi kakak kasih kamu pengecualian karena pake kursi roda. Oke?" jelas si mahasiswa sambil menunjuk ke arah kain penutup mata.

"Hmm... saya... boleh pakai kain penutup matanya saja gak kak?"

Si mahasiswa petugas tampak bingung dan bertanya, "Eh? Memangnya kamu gak akan kesusahan ditutup matanya dik?"

"Gak apa-apa, biar jadi ada tantangan. Ini kursi roda, gampang untuk saya jalankan lurus aja. Biar lebih sulit aja sedikit kalau saya pakai penutup mata."

Sherly menjawab seadanya saja. Sebenarnya, ia hanya tidak ingin melihat wajah Pak Mario saja. Kalau beruntung, kakaknya mungkin akan berhasil menyusul dirinya ke tempat ini dan ia bisa lepas dari guru tersebut.

Saat Pak Mario sudah berjalan lebih dulu ke tempat balon diikat di seberang kolam, walkie talkie si mahasiswa tiba-tiba berbunyi. Tampaknya, suara di seberang meminta bantuan si mahasiswa untuk membantu melerai suatu keributan yang terjadi di dekat pintu keluar labirin.

"Ah, punten (permisi). Saya pergi sebentar ya. Saya yakin masnya sama adiknya gak akan curang kok. Semoga berhasil ya."

Mahasiswa tersebut segera berlari, sedangkan Sherly tampak bengong ditinggal begitu saja. Saat ini, tidak ada siapapun di area tersebut kecuali dirinya dan Pak Mario.

"Ayo, Sherly. Kita mulai secepatnya yuk. Tunjukkan semangat pengurus inti ekskul pecinta alam SMP Bina Bangsa!"

Mendengar ucapan tersebut, Sherly mengikat kain penutup matanya sendiri dan mulai mendorong kursi rodanya dengan sangat perlahan melewati papan kayu. Pak Mario meneriakkan peringatan apabila Sherly mulai berjalan miring.

Meskipun sedikit takut, entah mengapa ada perasaan senang di dalam hati Sherly. Ia mendadak teringat akan kegiatan kemping yang dilakukannya bersama para anggota ekskul pecinta alam. Betapa bahagianya bisa bermain dengan bebas di alam, apalagi bila tidak ada yang melarang.

"Yak, sedikit lagi. Tinggal lurus saja. Kamu pasti bisa!"

Suara Pak Mario terdengar semakin jelas. Ia sudah semakin dekat dengan posisi guru tersebut. Namun, ia tiba-tiba berhenti.

Sherly mendadak teringat akan kata-kata dari kakaknya untuk menghadapi apapun yang menjadi penghalang keinginannya. Hal serupa juga dikatakan oleh pemuda bertudung hoodie yang dulu membantunya membeli minuman di mesin penjual otomatis. Hal serupa juga pernah ia dengar dari pembawa acara Discovery Channel favoritnya maupun kutipan-kutipan bijak di media sosial. Bahkan, barusan saja gurunya mengatakan kalau ia pasti bisa mencapai goal kalau terus melangkah.

Mau sampai kapan dirinya harus terus berlari dari keadaan? Sekalipun Stanley berjanji mengusahakan dirinya bisa menjalani kegiatan sekolah jarak jauh, memangnya ada jaminan ia tidak akan pernah bertemu Pak Mario lagi suatu saat nanti?

Tidak bisa. Ia ingin bebas.

Ia tidak bisa terus melarikan diri dari Pak Mario. Ia harus memberanikan diri untuk melakukan sesuatu, sekarang.

"Sherly? Kamu kenapa berhenti?"

"Pak, saat ini, cuman ada kita berdua sajakah?"

"Iyah, cuman ada kita. Jadi abis kamu ke sini, kita balik dan ngobrol untuk meluruskan masalah kita."

"... Gak ada yang perlu diluruskan Pak."

Pak Mario menggelengkan kepalanya dan berkata, "Nah, jangan begitu Sher. Apa yang kamu lakukan waktu itu-"

"Pak Mario tahu, aku sebenarnya sudah berusaha menahan diri. Aku takut ketemu Bapak, tapi Bapak ternyata sangat gigih untuk menemui saya berkali-kali di rumah sakit ini. Jadi, aku juga akhirnya memberanikan diri aku...," ucap Sherly sambil membuka kain penutup matanya.

Ia mendadak berdiri perlahan dari kursi rodanya dan berjalan. Ya, ia bisa berjalan dengan normal tanpa tertatih. Wajahnya penuh dengan kepercayaan diri, tidak gugup sama sekali.

"Pak Mario," Sherly menyunggingkan senyum termanisnya saat tiba dan berdiri persis di hadapan gurunya yang tampak sangat kebingungan, "I love you, Pak."


***

Superpower - Your Life Is The PriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang