Time Freeze - Bagian 04

5 3 0
                                    

Beranjak keluar dari kamarnya, Peter sempat menengok ke pintu kamar sebelahnya. Kamar tersebut merupakan bekas kamar tidur kakak perempuannya yang kini tidak ditempati oleh siapapun.

Rumah yang ia tempati kini merupakan rumah pemberian dari nenek di pihak ibunya. Rumah yang terletak di kawasan elit Jakarta Selatan ini terdiri dari tiga lantai, di mana setiap lantainya memiliki fungsi khusus.

Lantai pertama merupakan lantai 'orang umum'. Tamu yang datang dipersilahkan untuk mondar-mandir di seluruh wilayah lantai pertama. Beberapa ruangan yang ada di sini antara lain ruang rekreasi umum, ruang makan besar, ruang museum koleksi tas dan heels bermerk milik ibunya, ruang museum koleksi sneakers milik ayahnya, ruang perpustakaan, dan ruang tidur tamu.

Lantai kedua merupakan lantai 'pekerja'. Kamar para pelayan dan pekerja di rumah berada di lantai ini, termasuk ruang makan dan rekreasi khusus untuk mereka. Salah satu bagian di lantai ini juga didedikasikan untuk ruangan bekerja ayahnya jika ia sedang ingin bekerja di rumah.

Lantai ketiga merupakan lantai khusus untuk anggota keluarga. Kamar tidur dan ruang makan keluarga berada di sini. Terdapat satu kamar yang paling luas untuk ditempati ayah dan ibunya. Meskipun punya kamar tidur bersama, mereka juga memiliki kamar masing-masing yang bisa digunakan jika mereka sedang tidak ingin tidur bersama. Menurut gosip para pelayan, kamar masing-masing tersebut lebih sering digunakan dibandingkan kamar tidur bersama.


'Hmm... wangi telur dadarnya masih terasa.'


Air liur Peter nyaris mengalir saat memasuki ruang makan. Ia segera menghampiri meja makan dan duduk sambil memandangi hidangan di hadapannya.

Ruang makan keluarga di rumah Peter tidak terlalu luas, namun didesain dengan cukup mewah. Berbagai perabotan dibuat dari gelas yang mengkilap karena selalu disikat setiap hari oleh para pelayan. Selain perabotan, ruang makan juga memiliki jendela ke arah kebun, sound system dan televisi yang digantung di langit-langit. Bila Peter hanya makan sendirian seperti sekarang, ia selalu meminta untuk diputar musik klasik dengan volum suara rendah.

"Tuan Muda, mau jus stoberi atau yang jeruk?" tanya Gerard kepada Peter yang sedang menikmati roti panggang dengan telur dadar.

"Umm... Gak apa-apa. Nanti saja saya tuang sendiri minumannya."

"Baik, Tuan Muda. Kalau begitu, saya pergi dulu untuk mengantar Tuan Besar."

Saat mendengar jawaban tersebut, Peter hanya bereaksi dengan mengangguk. Pria berpakaian seragam kepala pelayan berwarna hitam putih yang sudah terlihat paruh baya tersebut menunduk sejenak, kemudian bergegas pergi meninggalkan ruang makan.

Peter sudah terbiasa dengan ayahnya yang jarang sekali menghabiskan waktu bersamanya sejak empat tahun lalu. Saat itu, ibunya yang berprofesi sebagai fashion designer memilih untuk meneruskan karirnya di Prancis dan jarang sekali pulang. Sang ayah menyibukkan diri dengan berbagai proyek kantor atau kegiatan bisnis lain.

Makan bersama keluarga biasanya hanya terjadi setahun sekali. Dua kali, jika kebetulan sang ibu ada keperluan di Indonesia terkait pekerjaannya. Bisa dibilang, rumah ini seolah hanya ditinggali oleh dirinya saja bersama para pekerja. Gara-gara hal tersebut, beberapa pelayan sempat bergosip bahwa sang ibu sesungguhnya memiliki tambatan hati lain di luar negeri.

"Tuan Muda, ada pesan suara dari Nyonya Besar. Saya putar ya lewat speaker ruangan," ucap seorang pelayan wanita yang baru saja masuk ke dalam ruang makan.

"Oh, tumben mama kirim pesan. Boleh, terima kasih ya Nara."

Si pelayan wanita bergerak menuju salah satu sudut ruang makan. Di sana terdapat perangkat komputer yang digunakan untuk memutar musik, berita radio, ataupun pesan suara. Ibu dari Peter hampir tidak pernah menghubungi langsung anak maupun suaminya. Bila ingin berkomunikasi, ia selalu mengirim pesan suara kepada Nara, salah satu pelayan paling lama di sini setelah Gerard.

"Ehm...," suara sang ibu terdengar sedikit serak dari arah speaker ruang makan, "Peter, semoga Mama gak mengganggu waktu sarapan kamu ya. Mama tahu kalau kamu lebih sering makan sendiri dan Papa jarang berada di sana bersama kamu. Tapi kalau kebetulan Papa kamu ada di situ juga dan mendengar pesan suara ini, minta tolong ke Gerard atau Nara untuk menutup telinganya. Saya kasih per-mis-sion."

Peter tersenyum kecil mendengar kalimat terakhir. Nara tetap memasang wajah serius sambil menjaga sikap tegapnya.

"Belakangan, Mama mendengar kalau di Indonesia mulai banyak kejadian kejahatan atau kekacauan yang menggemparkan. Orang-orang dibunuh atau tewas tanpa sebab yang jelas. Kamu juga, bisa-bisanya terlibat dalam perkelahian mahasiswa sampai kena tusuk. Untunglah kamu sehat-sehat saja ya."

Memang benar beberapa bulan belakangan ini sering ada kasus kekacauan yang dapat disebut 'tidak biasa' di Jakarta. Kasus Merah, kasus pembunuhan terhadap karyawan startup lokal oleh atasannya sendiri, bahkan yang terbaru adalah kasus percobaan bunuh diri di Rumah Sakit Masilo akhir minggu lalu. Rumah sakit tersebut adalah tempat yang menjadi langganannya datang berobat karena sang ayah adalah salah satu komisaris di sana.

"Mama hanya mau nitip pesan untuk kamu selalu jaga diri dan kesehatan ya. Hindari tempat atau orang-orang yang berpotensi memiliki perilaku mencurigakan. Kalau ada apa-apa, kamu bisa sampaikan saja kepada Gerard atau Nara. Papa kamu orangnya punya dunia sendiri, jadi jangan terlalu ber-ha-rap. Understand?"

Peter tertawa kecil ketika mendengar kalimat terakhir tersebut. Ia juga merasa lega karena mamanya ternyata mengkhawatirkan dirinya.

Sudah hampir tiga bulan berlalu sejak ia menerima pesan suara dari ibunya. Ia selalu merasa lebih dekat dengan sang ibu saat mendengar pesan-pesan darinya yang datang setiap dua atau tiga bulan sekali. Saat mereka bertemu sesekali untuk makan bersama keluarga, ibunya cenderung diam atau hanya membicarakan hal-hal terkait bisnis sang ayah.

Sejak dulu, sang ibu memang orang yang cenderung tertutup. Namun, ia tahu bahwa sang ibu memperhatikan dia dan kakaknya lewat berbagai aksi yang dilakukan Gerard dan Nara. Kedua pelayan paling senior tersebut selalu menjadi perpanjangan tangan ibunya untuk mengurus dirinya.

"Tuan Muda, pesannya sudah selesai. Tuan mau menyampaikan pesan balasan untuk Nyonya Besar?"

"Ah... boleh Nara," jawab Peter sambil melahap sepotong roti.

Nara megeluarkan ponsel miliknya dan membuka aplikasi perekam suara kemudian menyerahkannya kepada Peter. Pria berkulit putih tersebut mulai merekam pesan balasan untuk diteruskan kepada ibunya. Ia bercerita mengenai kondisinya saat ini dan bagaimana sedihnya ia kehilangan seorang sahabat.

"Ma, aku kangen Reza dan juga yang lain. Aku tahu rasanya impossible untuk balik lagi seperti dulu, tapi aku harap, aku masih tetap bisa berteman dengan dua sahabat aku yang lain. Lalu, untuk Mama, terima kasih ya untuk pesannya. Semoga Mama sehat selalu di sana."

Selesai merekam pesan suara, Peter menenggak jus stroberi yang dituangnya sendiri ke gelas miliknya, kemudian beranjak pergi keluar. Ia mengelus perutnya sedikit karena merasa kenyang.

"Tuan Muda, hari ini ada rencana pergi? Biar sekalian saya info Gerard untuk kasih tahu supir yang bertugas di jam tersebut," tanya Nara tepat sebelum Peter melewati pintu keluar.

"Oh.... Hari ini kayaknya saya di rumah saja. Makasih ya."

Sesudah Peter pergi, Nara memeriksa ponselnya dan mengecek file rekaman pesan suara Peter yang baru direkam tadi.

Ia diam memandang sebentar ke arah ponselnya kemudian langsung menghapus pesan suara tersebut.


***

Superpower - Your Life Is The PriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang