Levitation - Bagian 06

5 3 0
                                    

Selesai makan siang dan beristirahat sejenak, Suster Miriam datang untuk membawa Sherly menuju ruang sarana latihan untuk pemulihan kaki yang cedera. Sementara itu, Friska memilih tetap duduk untuk menjaga tas dan barang lainnya sambil menonton film BL di ponselnya.

"Sus, saya boleh ikut lihat latihannya? Saya ingin tahu perkembangan kesembuhan adik saya," pinta Stanley sebelum adiknya dibawa keluar dari kompartemennya oleh Suster Miriam.

"Boleh, asal tidak mengganggu konsentrasinya ya. Nanti kamu berdirinya di dekat saya saja untuk mengamati perkembangannya."

Stanley mengiyakan, kemudian berjalan mengikuti Suster Miriam. Permintaan Gisela menjebak Reza dan kasus pembunuhannya sudah cukup menyita waktunya semenjak dua bulan lalu. Selain itu, sejak sibuk melakukan pekerjaan paruh waktunya beberapa bulan lalu, ia hampir tidak pernah memperhatikan baik-baik perkembangan adiknya.

Sejak kuliah, Stanley memang merasa hubungannya dengan sang adik sedikit merenggang. Dulu, mereka sering bercerita berbagai kejadian menarik yang dialami saat sekolah. Ia merasa bahwa kerenggangan tersebut merupakan hal yang wajar saat usia mereka mulai semakin dewasa, jadi ia tidak begitu mempermasalahkannya.

Yah, setidaknya hari ini ia ingin mencoba untuk berlaku sebagai kakak yang baik dan melihat langsung proses latihan adiknya. Toh, ia bahkan rela menyita sebagian besar waktu dan tenaganya untuk bekerja paruh waktu dan menghasilkan uang untuk membantu pembiayaan kesembuhannya. Ia ingin mengetahui sejauh apa perkembangan kesembuhan adiknya sekarang.

"Satu... Dua... Yak! Coba Jalan," ucap dokter yang membantu Sherly latihan berjalan.

Sambil menahan palang dengan kedua tangannya, Sherly mencoba melangkah dengan perlahan. Ia dapat menggerakkan kaki kanannya dengan lancar, namun masih kesulitan untuk melangkah dengan kaki kiri. Setiap memaksakan diri melangkah, Sherly tampak kesakitan.

"Kamu masih kesakitan?" tanya Stanley yang hampir bergerak menghampirinya, namun dicegah oleh Suster Miriam.

"Masih agak sih. Tapi, gak apa-apa kok. Aku coba melangkah lagi," jawab sang adik sambil terus melangkah.

Ia berusaha untuk berjalan di jalur yang telah ditentukan sambil tetap bertumpu pada kedua palang di sampingnya untuk membantunya berjalan. Dokter pengawas mencatat beberapa poin selama latihan berjalan, termasuk mengukur waktu yang ditempuh.

"Suster," ucap Stanley sambil menengok ke arah Suster Miriam yang berdiri di sampingnya, "Kira-kira, berapa lama lagi adik saya masih harus menjalani latihan seperti ini hingga bisa sembuh?"

Suster Miriam diam sebentar sebelum menjawab, "... Saya sebenarnya juga bingung sih, dik. Untuk kasus seperti dik Sherly, harusnya antara satu hingga dua bulan saja sudah sembuh. Apalagi kasusnya bukan patah tulang."

"Sudah yakin sus kalau adik saya benar-benar hanya lumpuh saraf sementara saja? Masa sih hampir enam bulan gini benar-benar gak ada kemajuan," ucap Stanley yang mulai terlihat emosi.

Wajahnya terlihat sedikit memerah akibat darah yang mengalir ke pembuluh di otaknya. Ia sudah banyak mengorbankan waktu dan tenaga untuk pengobatan adiknya, jadi ia merasa berhak untuk protes karena ternyata tidak ada perkembangan yang berarti. Apalagi, Rumah Sakit Masilo dikenal sebagai salah satu rumah sakit swasta terbaik di Indonesia.

"Benar, dik. Bulan lalu, kita sudah coba lagi rontgen tulangnya. Sudah tidak ada tanda-tanda retak dan patah. Kita juga masih mengecek kemungkinan penyebab lain seperti adanya penyakit atau semacamnya..."

"Suster gak sengaja menutupi sesuatu karena saya terlibat di kasus yang menewaskan anaknya suster kan?"

Suster Miriam tampak kaget karena Stanley menyinggung kasus tersebut. Kasus perkelahian mahasiswa yang menewaskan Reza tersebut sempat membuat kehebohan di berbagai lini media masa.

"Ah... Dik Stanley, saya seorang suster yang bertugas merawat pasien hingga sembuh. Apapun keterlibatan pasien atau orang dekatnya dengan kejadian yang mengakibatkan anak saya meninggal, itu tidak relevan dengan tugas saya. Mohon pengertiannya dan tidak terbawa emosi sesaat."

Stanley diam sebentar untuk menenangkan dirinya dengan menarik dan menghela nafas dalam beberapa kali. Ia sadar bahwa dirinya adalah tipe orang yang bisa bertindak keras saat dalam keadaan emosi. Bila dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin ia bisa melayangkan bogem mentah kepada Suster Miriam atau dokter jaga, hanya demi meredam emosinya.

"... Maaf kalau tadi saya sedikit lancang. Akhir-akhir ini, saya cukup banyak memiliki masalah. Apalagi, biaya perawatan adik saya terus meningkat, dan keluarga saya mulai kesulitan untuk membayarnya. Biaya sekolah adik saya juga terus jalan agar ia tidak tinggal kelas."

"Iya, tidak apa-apa. Saya paham perasaan dik Stanley. Saya berusaha profesional di tempat kerja, meskipun saya akui sangat berat ketika kehilangan satu-satunya anak di keluarga saya."

Stanley terdiam beberapa saat. Ia kembali teringat atas perbuatannya yang membantu Gisela untuk membalas dendam kepada Reza. Jika bukan karena wanita gila tersebut, mungkin anak Suster Miriam masih hidup sampai sekarang.

Bila bisa memilih, ia tidak mau mencari masalah dengan Reza. Ia merasa bahwa orang ceria tersebut sebenarnya punya kepribadian yang seru, begitu pula dengan teman-temannya. Hal tersebut menjadi salah satu beban pikirannya hingga sekarang, namun ia tidak ingin menceritakannya pada orang lain.

'... Kalau bukan gara-gara si cewek br*ngsek tersebut, harusnya gw malah bisa berteman dengan mereka... dengan dia...'

Stanley termenung kembali sambil melihat adiknya yang masih berusaha untuk berjalan dengan menyangga palang. Dokter jaga tampak berteriak menyemangati Sherly.

"... Kalau Dokter Candra masih ada, mungkin dia bisa langsung menyembuhkan apapun yang menjadi penyebab sakit dik Sherly," gumam Suster Miriam.

"Dokter Candra? Siapa itu dok?" tanya Stanley yang langsung menyimak serius.

"Itu... salah satu dokter kebanggaan rumah sakit kita dulu. Orangnya ramah dan disenangi banyak pasien. Tingkat kesembuhan pasien yang dia tangani termasuk paling tinggi di sini..."

"Lalu, ke mana dia sekarang sus?"

"Orangnya sudah meninggal."

"Oh... sayang sekali," ucap Stanley dengan ekspresi kecewa, "Meninggal karena sakit, sus?"

"Bukan sih. Dia... saya tidak bisa bilang, namun dia meninggal dengan tidak wajar. Bukan karena penyakit, sepertinya."

"Oh, oke sus. Jangan bilang meninggalnya seperti korban Kasus Merah?"

Suster Miriam langsung melotot tajam kepada Stanley, hingga membuat pemuda tersebut kaget.

"Eh? Kenapa sus? Saya tadi hanya menerka aja sus."

"... Tidak apa-apa. Maaf dik Stanley. Saya hanya... merasa sebal saja kenapa Kasus Merah tersebut masih belum berhasil dipecahkan."

"Suami suster kapolres kan? Memangnya, belum ada kemajuan apa-apa sus? Tapi seingat saya, korban terakhirnya hampir sekitar tiga bulan lalu sih yang di Kota Tua itu. Sudah lama waktu berlalu sejak jatuh korban terakhir."

"... Iya, belum ada perkembangan apa-apa... Oh," Suster Miriam tiba-tiba mengubah topik pembicaraan, seolah teringat akan suatu hal penting, "Dik Stanley, saya ingin bertanya sesuatu. Ini agak pribadi, tapi mungkin ada hubungannya dengan penyebab dik Sherly masih belum sembuh."

"Iyah silahkan tanya sus, saya coba jawab sebisanya, apalagi kalau menyangkut kesembuhan adik saya," jawab Stanley sambil berharap pertanyaan tersebut tidak berkaitan dengan kasus dirinya.

"Apakah dik Sherly pernah mengalami pelecehan seksual?"


***

Superpower - Your Life Is The PriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang