Time Freeze - Bagian 02

6 4 0
                                    

[Catatan muka dari Author: Chapter ini tidak begitu disarankan untuk dibaca saat sedang sendirian atau malam hari]


Malam hari itu, kampus Taruna Bangsa kembali menggelar acara pentas seni. Suara riuhnya terdengar samar-samar hingga ke gedung lama Fakultas Teknik Industri yang posisinya cukup jauh dari tempat acara berlangsung.

Peter berjalan perlahan melewati lorong di gedung lama tersebut. Ia berjalan sendirian saja, hanya ditemani oleh suara samar-samar acara pentas seni di luar dan remang-remang penerangan di sepanjang lorong. Tidak ada satupun makhluk hidup yang tampak di sekitarnya. Bahkan, suara nyamuk maupun cicak yang terkadang lewat saja tidak terdengar.

Ia tidak tahu bila 'sesuatu' yang dicarinya ada di gedung ini atau tidak, namun ia merasa harus terus melangkah ke depan untuk mengetahuinya. Lorong demi lorong, tangga demi tangga, ia lalui untuk menemukan 'sesuatu' tersebut.


'Gw... Gw harus bisa... Menemukannya...'


Saat sudah menelusuri gedung tersebut dengan cukup dalam, ia tiba di depan sebuah pintu besar berwarna coklat. Kini, keriuhan pentas seni di luar sudah tidak terdengar sama sekali di telinganya.

Peter berdiri diam dan menutup matanya sejenak. Ia merasa bahwa 'sesuatu' yang dicarinya berada di dalam ruangan ini. Tidak ada waktu lagi untuk ragu-ragu. Ia merasa harus bergerak sekarang dan membuka pintu tersebut.


*KRITT!*


Suara pintu berderit memecah keheningan begitu ia menggeser pintu coklat tersebut ke samping dengan sedikit mengerahkan tenaganya. Pintu tersebut sudah sulit digeser karena tampaknya jarang orang yang memasuki ruangan ini setelah gedung fakultas sudah mulai dipersiapkan untuk dirubuhkan.

Ruangan yang berada di balik pintu tersebut adalah suatu aula besar yang dulunya sering digunakan untuk upacara atau kegiatan akbar fakultas. Namun, Peter lebih mengenali ruangan tersebut sebagai tempat yang memberikan salah satu kenangan terpahit sepanjang hidupnya.

Ruangan aula itu tampak lebih gelap dibandingkan lorong-lorong yang dilalui sebelumnya. Hanya ada sedikit penerangan dari lampu di langit-langit yang menyala dengan redup. Beberapa baris kursi dan meja tampak tertumpuk di pinggir aula sedangkan area panggung tidak terlihat dengan jelas.

Ia melangkah maju ke dalam ruangan dengan perlahan.


Peter...


Terdengar suara sayup-sayup memanggil namanya. Ia mencoba untuk menengok ke sekelilingnya untuk mencari asal suara tersebut, namun nihil. Tidak ada siapa-siapa di ruangan aula tersebut.

Atau mungkin, orang yang memanggilnya sulit terlihat karena penerangan yang minim di aula ini.


*KRRIITTT....!*


Pintu masuk aula tiba-tiba tertutup sendiri dengan bunyi berderit yang kencang.

Peter mencoba menahan kaget dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia kembali melirik ke sekitarnya. Ia merasa bahwa 'sesuatu' yang dicarinya berada di ruangan ini. Ia tidak perlu memikirkan soal pintu masuk tersebut.

Ia kembali melangkah perlahan, menelusuri dinding aula. Berbekal pencahayaan yang buram, ia mencoba melihat dengan seksama apapun yang mungkin menarik perhatiannya. Hanya dalam beberapa langkah, ia berhasil melihat bagian dinding yang sedikit retak, seolah dihantam sesuatu yang keras.

Superpower - Your Life Is The PriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang