Time Freeze - Bagian 09

5 4 0
                                    

Sebelum bertemu dengan CrazyMonsta, Peter memiliki berbagai macam bayangan akan wujud sesungguhnya sahabat penanya tesebut. Mulai dari orang yang ekstrover seperti Reza hingga orang yang tampak kutu buku namun punya jiwa petualang.

Ia sempat menduga kalau CrazyMonsta sesungguhnya adalah salah satu orang yang sempat ia kenal atau ketahui di kampus, namun tidak pernah terpikir sama sekali bahwa orang tersebut adalah orang yang menyebabkan kekacauan dua bulan lalu yang menghilangkan nyawa Reza.

Apakah CrazyMonsta alias Stanley sebenarnya sudah mengetahui identitas dirinya sejak awal dan memiliki niat tidak baik?

"Lu... Stanley? Lu CrazyMonsta?"

"A... Iya. WhitePete itu... lu?"

Keduanya diam di tempat dengan wajah terkejut. Tampaknya, Stanley juga tidak menyangka bahwa WhitePete adalah dirinya. Peter merasa dirinya ingin kabur saja dari tempat tersebut.

Ya, kabur sejauh mungkin dari orang yang berkontribusi atas perubahan kehidupannya sekarang.

"Emm.. Anu... Kayaknya gw harus-"

"Tunggu!" Stanley langsung menggenggam lengan kanan Peter sebelum ia mulai bergerak, "Gw benar-benar gak tahu WhitePete itu lu... Tapi seperti yang gw bilang di surat, gw benar-benar butuh orang untuk diajak ngobrol."

Mata Stanley tampak sedikit berkaca-kaca. Suaranya terdengar agak bergetar. Bahkan, genggamannya pun terasa agak kuat, seolah mengharapkan pertolongan darurat.

"WhitePete... Bisakah lu... Tetap di sini? Please?"

Peter diam untuk menimbang sebentar. Di satu sisi, orang ini memiliki keterlibatan atas penyebab kematian sahabatnya. Di sisi lain, Peter merasa dia serius membutuhkan orang untuk menjadi tempat pencurahan beban pikirannya. Yah, meskipun dirinya juga sedang memiliki banyak beban pikiran.

"... Tapi, gw juga mengerti kalau lu sangat benci dengan gw. Sori, gw juga gak bisa memaksa lu," ucap Stanley dengan nada pasrah. Ada kesedihan yang terpancar dari ucapannya.

Peter bukan seorang psikolog, namun ia bisa melihat bahwa mata Stanley tidak berbohong. Pancaran matanya sangat berbeda dibandingkan dengan yang pernah ia lihat ketika melihatnya di kampus semester lalu.

Orang ini benar-benar membutuhkan teman berbagi cerita.

"Emm... Oke. Oke. Gw... udah janji mau mendengar curhatan CrazyMonsta. At least, gw akan berusaha bersikap biasa saja, asalkan kita gak membahas kejadian yang lalu..."

Wajah Stanley seolah sedikit bersinar ketika mendengar ucapan Peter. Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali.

"Thanks so much," ucapnya sambil tersenyum tipis.

"Iya, sama... Lu bisa lepasin pegangan lu dari tangan gw nih," Peter menunjuk ke arah lengannya yang masih digenggam Stanley sejak tadi.

"Oh... Sori sori. Soalnya gw khawatir lu kabur lagi kayak waktu itu di rumah sakit. Haha," ucap Stanley sambil melepaskan genggamannya.

"Baru tadi gw bilang jangan bahas kejadian yang lalu..."

"Eh! Sori, gw kira cuman kejadian yang lebih lawas itu. Oke, sori. Pretty sorry," Stanley mengatupkan kedua telapak tangannya sambil meminta maaf berkali-kali.

Setelah menggulingkan bola matanya sebagai reaksi atas permintaan maaf tersebut, Peter duduk di hadapan Stanley dan mulai memesan beberapa makanan kepada pelayan yang berjaga.

Sambil menunggu makanan datang, mereka berdua nyaris tidak banyak berbicara satu sama lain. Peter memilih untuk mengulik ponselnya, sedangkan Stanley lebih memilih diam atau berbasa-basi seadanya sambil terus melihat ke arah Peter.

"Engg... WhitePete...,"

"... Panggil nama gw aja, gak apa-apa," jawab Peter tanpa melepas tatapannya dari layar ponselnya.

"Oh, oke. Peter."

"Iya... Kenapa?"

"Itu, jaket sweater lu bagus ya. Beli di mana?"

"Emm... Ini hadiah ulang tahun gw tahun lalu," jawab Peter sambil mencubit sedikit sweater yang dikenakannya.

"Oh, oke oke."

Mereka berdua kembali hening. Peter kembali sibuk dengan ponselnya untuk melihat beberapa Instangram Story, sedangkan Stanley mengatupkan tangannya dan bermain adu jempol. Beberapa saat kemudian, Stanley kembali membuka mulutnya.

"Di sini... Seperti agak panas ya?"

"Literally? Atau apanya yang panas? Gw sih gak merasa gerah ya," Peter memicingkan mata sebagian sambil menatap Stanley.

"Oh. Iya gw merasa sedikit gerah. Mungkin karena di luar lagi panas kali ya,"

"... Terakhir sebelum gw masuk sini sih, anginnya lagi sepoi-sepoi kok."

"Hm... Begitu ya... Jadinya sweater lu melindungi dari dingin di luar ya. Haha..."

"Oh..."

Peter tidak begitu menanggapi lagi basa-basi Stanley dengan serius.

Sebenarnya, ia merasa sedikit puas melihat image Stanley yang menurutnya agak keras itu bertindak malu-malu kucing di hadapannya. Namun, Peter berusaha bersikap agak galak karena mencoba menenangkan dirinya yang kini duduk semeja dengan 'lawan' kelompok sahabat - atau mantan kelompok sahabat - dirinya.


***


Setelah beberapa basa-basi tidak jelas lagi dan jawaban 'oh' dari Peter, makanan akhirnya datang. Keduanya memesan ayam bakar dan sayur asem, lengkap dengan beberapa hidangan lauk pelengkap seperti tahu, tempel, perkedel, dan sambal terasi. Mereka mulai makan dan tidak saling berbicara selama beberapa menit hingga Stanley akhirnya membuka pembicaraan..

"Enak gak makanannya, Peter?"

"Emm... Lumayan sih. Gw baru pertama kali makan di sini sih."

"Ohh, kalau gitu, lu cobain deh perkedelnya. Ini enak kok, apalagi pakai sambal terasinya," Stanley memindahkan perkedel di piringnya ke piring Peter dan menyodorkan piring kecil dengan sambal terasi di atasnya.

Peter diam sebentar melihat ke arah Stanley. Ia menyodorkan tangannya untuk meminta Peter mencobanya. Setelah berpikir sejenak sambil melirik perkedel tersebut, ia akhirnya mencoba menyantapnya.

Begitu perkedel tersebut digigit dan isinya berhamburan di dalam mulutnya, Peter langsung merasakan sensasi kenyal yang gurih.

"Oh, iya enak. Rasanya gurih juga. Gw coba pakai sambalnya ya," Peter mengambil secuil sambal terasi dan mengoleskan ke potongan perkedel miliknya. Ia menyantap kembali potongan perkedel tersebut dan mengatakan bahwa paduan sambal dan perkedelnya terasa pas di lidah.

"Nah, sekarang tambahin lagi kuah sayur asemnya. Sini, gw sendokin," Stanley mengambil satu sendok kuah sayur asem dan menuangkannya di atas perkedel yang akan dimakan Peter. Saat dimakan, Peter mengatakan bahwa rasa gurih bercampur asamnya sangat enak.

"Mmm... Enak. Lu sering makan di sini? Kok seperti yang tahu banget trik supaya makannya lebih enak."

"Iya, biasanya sebulan sekali sih. Dulu, gw makan sama beberapa teman gw di sini kalau weekend. Mereka juga senang di sini."

"Teman-teman... Yang badannya besar sama kurus itu?"

Peter ingat bahwa Stanley dulu sering bepergian bersama dua orang teman - atau mungkin 'bawahan' - ke mana-mana, terutama saat dulu mereka mencari keributan dengan Reza.

"Oh... si Bongsor dan si Ceking? Iya. Mereka teman-teman kuliah sih..."

"Iya, lu sering bareng sama mereka ke mana-mana, kan?"

"Hmm...," wajah Stanley terlihat sedikit muram, "Mereka... sayangnya sudah gak ada di sini lagi."

"Eh!?" Peter terkejut.


***

Superpower - Your Life Is The PriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang