Time Freeze - Bagian 07

6 3 0
                                    

Di hari Sabtu siang ini, taman Central Park cukup ramai dikunjungi oleh para pengunjung mal yang membawa peliharaan. Carlo tampak bermain dengan riang bersama mainan tulang karetnya di dekat salah satu kolam.

"Ci, itu dogi gak kasihan apa main di dekat kolam? Kalau jatuh kecebur, nanti bosnya Cici gak ngamuk, apa?" komentar Edwin yang sedang duduk berdua bersama kakaknya di salah satu bangku yang posisinya berada di dekat kolam.

"Ah, santai aja. Carlo itu anjing yang pintar kok. Gak akan tiba-tiba menceburkan dirinya ke kolam, kecuali ada yang ngedorong dia," jawab Ellie sambil melahap es krim vanila yang dibelinya di salah satu stand makanan.

"Hmm, tapi kan itu mungkin kalau dia jalan-jalan bareng sama Evan atau majikannya. Biasanya kan dogi lebih menurut sama orang yang gak asing dengan mereka. Terus-"

"Nih!" Ellie tiba-tiba menyodorkan sesendok es krim kepada adiknya, "Udah, gak usah banyak pikiran. Dari tadi juga Carlo menurut aja kok sama kita di sini."

Edwin memandang sebentar sendok es krim di hadapannya.

"Gak ada racunnya. Yuk makan!"

Edwin pasrah ketika Ellie memutuskan untuk langsung menyuapi es krim tersebut ke dalam mulutnya akibat dirinya tidak langsung menjawab apapun. Merasa es krim tersebut enak, Edwin akhirnya meminta disuapi lagi oleh kakaknya.

Keduanya tampak menikmati cuaca cerah dengan hembusan angin sepoi-sepoi di taman tersebut. Yudha dan Evan sedang pergi belanja kebutuhan rumah Yudha titipan mamanya. Berhubung hari ini seharusnya tugas Yudha untuk mengajak Carlo berjalan-jalan sebelum dibawa ke dokter hewan oleh Satria, akhirnya ia minta tolong kepada kedua saudara Evan untuk mengawasi peliharaannya sementara di taman Central Park.

"Itu anak duaan akrab banget yah, pergi ke mana-mana bareng terus," gumam Edwin setelah melahap sendok es krim ke tujuh.

"Yah, namanya juga sahabat dekat sejak SMP. Kamu juga bukannya punya tiga teman akrab kan?"

"Iya... tapi satunya kan sudah tiada," jawab Edwin.

Ellie diam sebentar sebelum kembali berbicara, "Kan, masih ada dua teman yang lain?"

"Aku... Gak tahu mereka masih disebut teman atau gak."

"Wah, adik aku lagi berantem ya? Coba sini. Cerita ke Cici. Siapa tahu Cici bisa ngasih advise berguna."

"Emangnya Cici pernah punya teman dekat gitu?" dahi Edwin mengernyit, "Perasaan dulu sekolah dan kuliah, Cici jarang banget pergi jalan-jalan bareng teman. Pacar aja aku gak pernah lihat. Kayaknya Cici kurang relevan deh kalau mau ngasih advise- ADUDUH!"

Ellie menjewer telinga adiknya dengan agak kencang dan memasang muka galak. Edwin mengerang kesakitan selama beberapa detik sebelum jeweran tersebut akhirnya dilepas.

"Cici punya teman-teman kok. Yah meskipun sebenarnya mereka...," Ellie sempat bermuram, "Nah, lupakan."

"Oh, pasti ini kejadian yang dulu bikin Cici nang- Eh, gak. Sorry. Aku gak tahu apa-apa," Edwin mendadak menutup mulutnya.

Ellie tampak hening sejenak dan melirik ke arah lain sebelum lanjut berbicara.

"... Dede aku ini orangnya terlalu banyak mikir ya. Yah kalau gak mau cerita juga gak apa-apa sih. Bukan Cici yang rugi," ucap Ellie sambil berusaha menghabiskan es krim sendirian, tanpa membagikan ke adiknya.

Edwin mulai mengelus telinganya yang tadi dijewer dan tampak merenung sebentar sambil memandang ke tanah. Sepoi-sepoi angin sempat membuat mata kirinya terlilip debu.

"... Ci, aku ini orangnya emang terlalu banyak mikir ya?"

"Mm, kamu baru ngerasa? Cici masih ingat lho, kamu mikir sampai hampir setengah jam sebelum memutuskan untuk beli album digital Blackpink atau impor beli fisiknya. Aku sampai harus nungguin kamu karena belinya pake kartu kredit aku," jawab Ellie sambil menjilati sisa-sisa es krim di cup.

"Hm, teman-teman aku bilang hal yang sama ke aku sih. Mereka gak ngasih suatu informasi krusial karena takutnya aku terlalu banyak pikiran. Tapi, akibatnya yah... Reza sekarang sudah tiada. Apa aku ini cacat ya?"

"Hah? Info krusial ap-... Eh, itu entar nanti dulu," Ellie melempar cup es krim yang sudah kosong ke tong sampah terdekat - dan masuk - kemudian mengecilkan jarak duduknya dengan adiknya, "Kamu itu gak cacat. Punya banyak pikiran atau pertimbangan itu bisa dibilang suatu talent juga kok."

Edwin menatap kakaknya dengan sendu, "Talent maksudnya ci?"

"Bosnya bos aku, alias bosnya Pak Satria, itu tipe orang yang penuh pertimbangan banget. Namanya Pak Riki. Kalau gak tahan sama tipe orang kayak begitu, mungkin Cici udah resign dari lama kali."

Ellie bercerita tentang atasan tak langsungnya tersebut. Setiap kali ia dan Satria hendak membuat ulasan khusus tentang topik tertentu, Pak Riki selalu menjabarkan kelebihan dan kekurangannya. Ia juga selalu meminta beberapa data pendukung untuk pengambilan keputusannya.

Hal tersebut sering berdampak terhadap pengambilan keputusan yang cenderung lama. Namun, keputusannya cenderung tepat sasaran. Karena sudah paham dengan sifat Pak Riki, baik Satria maupun Ellie langsung memberikan banyak masukan sejak dini agar pengambilan keputusannya juga lebih cepat dan tepat.

"Oh, ia agak mirip ya sama aku. Aku juga lebih senang kalau apa-apa sudah terencanakan sejak awal sih."

"Iya. Lagipula, tim kita termasuk yang bagus lho performance-nya berkat dia."

Edwin tampak lebih lega mendengar jawaban tersebut. Memang, dulu ketiga sahabatnya sering mempercayakan kepada dirinya untuk membantu pengambilan keputusan yang lumayan berat, seperti tempat mereka berlibur saat akhir tahun lalu. Bukan itu saja, dirinya juga dipercaya menyusun rencana perjalanan karena dia tipe orang yang paling detil di antara mereka berempat.

"Memang, ada kalanya beberapa hal tidak perlu dipikirkan terlalu dalam, tapi itu menurut Cici sih."

"Hmm... Iya kali ya," Edwin memangku dagunya.

"Sepertinya sih, kalian masih shock karena kehilangan seorang sahabat dekat. Jadinya kalian mudah terpengaruh pikiran yang buruk. Kamu sudah mencoba untuk berbicara baik-baik sama mereka gak?"

Edwin menggelengkan kepalanya.

"Cici rasa, mereka gak punya maksud jahat kok untuk gak membagikan suatu informasi. Punya sahabat itu dijaga, deh. Jangan kayak Cici yang ke mana-mana cuman sama keluarga atau Pak Bos yang tiap hari makin rajin cari update Kasus Merah," Ellie meregangkan kedua tangannya.

"Ohh... Cici sering pergi sama bosnya Cici? Apa Cici ada feeling sama dia?"

"... Kok kamu malah ngerusak suasana dengan nanya balik ke aku. Kan, kita lagi ngebahas soal kamu."

Mereka berdua tertawa bersama. Suasana hati Edwin sudah tampak membaik. Ia malah berbalik menggoda perasaan kakaknya kepada Satria, namun sang kakak selalu menepis 'tuduhan' adiknya.

"Kalau kamu mau baikkan, tadi Cici kayaknya sempat lihat salah satu teman kamu lewat. Yang kulitnya putih itu lho. Gimana kalau kamu surprise-in dia? Bawa es krim sana buat dia, terus ngobrol baik-baik."

"Oh, Peter? Hmm..." Edwin tampak memikirkan beberapa hal.

"Udah, kalau untuk hal ini gak usah banyak mikir. Percaya sama Cici deh. Aku beliin es krimnya. Tapi kamu perginya nanti ya, temenin dulu jaga si Carlo sampai saudara kita balik."

"Huff... Iya, Ci," Edwin menggaruk kepalanya sambil tersenyum.

"Sambil nunggu, ceritain yah apa informasi krusial yang diketahui teman-teman kamu yang tadinya gak diceritain ke kamu," ucap Ellie dengan memasang wajah penuh rasa ingin tahu.


***

Superpower - Your Life Is The PriceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang