Happy Reading
.
.
.
------"Jangan membenci orang yang telah
membencimu. Karena, dari dia
kamu belajar sabar, tegar dan
mengikhlaskan."****
Aira membuka matanya saat pagi menjelang tiba. Gadis manis itu bangun dari tempat tidurnya yang rewot. Aira melipat selimutnya yang sudah lusuh dan di letakkan di atas bantal dimana bantalnya sudah tak layak dipakai. Gadis itu keluar dari kamar membuat sarapan untuk keluarganya. Kegiatan yang selalu dilakukannya setiap pagi.
Aira tersenyum melihat Bi Inah-pembantu rumah tangga di keluarga wijaya sedang melap meja makan. Wanita itu sudah lama bekerja saat kakaknya Reza masih kecil. Aira dengan riang melangkah mendekat pada Bi Inah ingin memeluk wanita itu dari belakang. Ia memejamkan matanya, nyaman dalam pelukan wanita itu.
Bi Inah tersenyum, tangannya mengelus kepala Aira yang menempel di bahunya. Setiap bangun pagi Aira selalu memeluknya.
"Pagi, Non." Sapanya masih terus mengelus rambut gadis itu.
Aira mengangkat kepalanya hingga dagunya bersentuhan dengan bahu Bi Inah. Dengan semangat gadis itu membalas sapaan Bi Inah.
"Pagi bibi." Ujarnya sambil mengecup pipi wanita itu. Membuat Bi Inah merasakan hangat di hatinya. Sudah lama ia menginginkan anak perempuan tapi tak pernah ke sampaian.
"Gimana tidurnya, non, nyenyak nggak?" Tanya Bi Inah kembali mengelap meja. Aira melepaskan pelukannya tak ingin mengganggu wanita itu.
Aira mengangguk. "Nyenyak, Bi. Bibi masak apa?" tanya Aira sambil membuka kulkas, melihat ada banyak bahan makanan di dalamnya. Gadis itu mengambil sebuah wadah yang berisi beberapa potong ayam dan menaruhnya di meja. Ia berencana membuat ayam sambal balado untuk sarapan pagi mereka. Keluarga Wijaya tak pernah memakan roti saat sarapan, mereka lebih suka makan makanan berat.
"Bibi lagi masak sayur kangkung kesukaan den Arkan." Balas Bi Inah membuat Aira mengangguk. Mereka dengan serius memasak sesekali bercanda dan membahas topik lucu yang membuat Aira dan Bi Inah tertawa.
Setelah selesai menata makanan Aira bergegas ke kamar bersiap-siap ke sekolah. Beberapa menit kemudian keluarga Wijaya sudah berkumpul di meja makan. Aira datang dengan seragam sekolahnya. Gadis itu hendak duduk sebelum suara Anita menghentikannya.
"Ngapain kamu disini?" Tanya Anita menatap tajam Aira, membuat Aira langsung berdiri tak mau kena semprot makian Bundanya.
Aira menunduk tak berani menatap Anita. Gadis itu memilin ujung dasi abu-abu yang di pakainya. Netranya melirik Arkan yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya diam melahap makanannya dengan tenang.
"Ngapain masih disini? Sana pergi!" Usir Anita mengibaskan tangannya tak mau menatap Aira. Aira memakai tasnya dan berjalan menuju ayahnya berniat menyalam. Belum juga ia mengulurkan tangannya, Andre bangkit dari duduknya memakai jasnya yang tersampir dikursi lalu mengecup kening istrinya dan melangkah meninggalkan meja makan. Kakak-kakaknya juga ikut menyalami Anita dan keluar dari rumah diikuti sang bunda mengantar anak dan suaminya ke depan.
Aira berkedip beberapa kali menghalau air matanya agar tidak turun. Ia menatap tangannya nanar sebelum menurunkan-nya. Gadis itu tersenyum menutupi sakit hatinya. Dengan lemas ia keluar dari rumah, melihat Anita hendak masuk.
Aira berhenti. "Bun, Aira mau berangkat." Ujar gadis itu mengulurkan tangannya. Bukannya menerima tangan Aira, Anita malah menghempaskan lengan gadis itu kuat membuatnya sedikit terhuyung.
Dengan sinis ia berujar. "Saya nggak sudi nyentuh kamu." Setelahnya ia masuk kerumah tanpa memikirkan perasaan Aira. Aira tersenyum, sudah biasa baginya. Gadis itu berjalan keluar gerbang rumah menuju halte. Miris sekali, saat kakaknya ke sekolah memakai kendaraan masing-masing ia malah menggunakan bus atau angkutan umum.
Aira turun dari angkutan dan berjalan memasuki gerbang sekolah. Langkahnya terhenti saat melihat segerombolan motor masuk ke parkiran membuat semua para murid memekik histeris. Aira tau siapa mereka, siapa lagi kalau bukan Darren dan teman-temannya? Seperti kebanyakan orang, Aira juga kagum dengan mereka. Aira sering melihat mereka di sosial media, bahkan ia tau Darren memenangkan balapan tempo hari.
Aira melanjutkan langkahnya sembari berpikir dimana ia mencari pekerjaan. Tadi malam sebelum tidur Anita bertanya bagaimana dengan guci yang ia pecahkan, Aira hanya menjawab supaya di berikan waktu.
Aira masuk ke kelasnya di X IPA 1. Gadis itu duduk di bangku depan dekat dengan jendela. Aira membuka bukunya dan mempelajari materi hari ini sembari menunggu guru masuk.
****
Aira membereskan bukunya sebelum keluar dari kelas. Gadis manis itu berjalan ke perpustakaan mengambil beberapa buku sembari bersenandung kecil. Ia sesekali menyapa orang yang dikenal-nya.
Sedang asiknya berjalan, Aira melihat kakak keduanya sedang berciuman dengan seorang gadis didekat tangga. Aira terkejut, ini bukan pertama kalinya ia melihat Devan berciuman. Hanya saja ini di sekolah, bagaimana jika guru atau murid melihat seorang Devan yang menjabat sebagai waketos mencium seorang gadis? Untung lorong ini sepi.
Aira ingin menghampiri dan melarang kakaknya tapi ia takut. Di sekolah ini tak ada yang tau bahwa Aira adalah anak dari keluarga Wijaya. Identitas nya disini hanya namanya saja tanpa nama belakang keluarganya. Itu semua atas permintaan bundanya. Entah apa alasan Anita melakukan itu, Aira sama sekali tidak tau.
Saat sedang asik melamun, Aira kaget mendengar suara langkah kaki mendekat. Gadis itu merasa waspada, yang ada di pikirannya sekarang adalah menjumpai kakaknya agar tidak ada yang melihat Devan berciuman. Namun, bukannya murid atau guru yang datang melainkan Devano. Gadis yang tadi bersama dengan Devano sudah pergi entah kemana.
Devano menatap tajam Aira yang berdiri tepat di depannya. Cowok itu memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.
"Ngapain lo disini?" Tanyanya datar.
Aira merasakan tubuhnya bergetar, tatapan Devano mengingatkan ayahnya. Gadis itu menunduk.
"Gak denger lo apa yang gue bilang? Ngapain lo disini?" Ulang Devan mengeraskan rahangnya. Melihat gadis ini, ingin sekali ia membanting-nya ke dinding. Tangannya mengepal menahannya agar tidak meninju Aira disini.
"A-ku ma-u ke per-pustakaan kak." Jawab gadis itu terbata-bata. Kepalanya menunduk tak berani menatap kakaknya.
Devan menyeringai. Tanpa berkata apa-apa laki-laki itu berjalan melewati Aira dan dengan sengaja Devan menubrukkan bahunya dengan bahu Aira cukup kuat membuat gadis itu terjatuh kelantai.
Aira meringis seraya bangkit dengan cepat. Gadis itu menatap punggung kakaknya yang mulai menjauh. Sejak kecil ia tidak pernah di sayang, selalu diasingkan. Mereka satu rumah tapi bagaikan langit dan bumi. Sangat jauh. Mereka makan ayam tapi ia makan tempe, mereka makan di meja makan tapi ia makan di dapur, mereka santai dihari libur tapi ia harus bekerja membereskan rumah jika tidak mau tidak diizinkan makan malam. Namanya memang menyandang Wijaya tapi tak pernah dikenal dengan marga itu. Sungguh miris. Apakah ada orangtua seperti itu?
Lain lagi jika bersama kakaknya. Mereka tak segan memukulinya saat ia sedikit saja melakukan kesalahan. Bahkan ia pernah di kunci dikamar mandi saat teman-teman kakaknya datang berkunjung ke rumah.
Tapi Aira selalu tersenyum menutupi kesedihan hatinya dan berusaha tetap tegar. Ia selalu menerapkan dihatinya bahwa suatu saat nanti keluarganya akan menerimanya. Tapi pertanyaannya, sampai kapan?
****
TbcJangan lupa tinggalkan jejak kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darren : My Husband [ END ]
Teen Fiction*FIKSI REMAJA* [ 𝕊𝔼𝔹𝔼𝕃𝕌𝕄 𝔹𝔸ℂ𝔸 𝔽𝕆𝕃𝕃𝕆𝕎 𝔸𝕌𝕋ℍ𝕆ℝ ] Baca sebelum di hapus Warning [ 🔞 ] mengandung kata-kata kasar, kekerasan, kata kotor, vulgar harap bijak dalam membaca. Konflik dalam cerita ini berat, jika tidak suka jangan baca d...