Happy Reading
.
.
.
.
---------- 🤗Dua minggu setelah Aira melahirkan, kini pasangan muda itu pulang ke rumah dengan Darren yang mengemudi sementara Aira duduk di samping sang suami sembari memangku si kecil Baby Bian yang sedang tertidur pulas dengan kedua tangan mungil-nya memakai sarung tangan bayi.
Senyum kebahagiaan dan mata berbinar cerah secerah langit biru tak mampu tertutupi bagi Darren maupun Aira. Senyum keduanya terus terbit seakan menggambarkan suasana hati mereka yang berbunga-bunga terlebih hadirnya si kecil diantara mereka. Darren tidak tau lagi bagaimana ia mengungkapkan rasa senangnya dan haru yang menjadi satu di hidupnya. Jika ada alat ukur kebahagiaan, Darren berada di puncak teratas bahkan melebihi alat ukur itu sendiri.
"Ihh, Bian lucu banget." Gemas Aira menoel kecil ujung hidung mungil bayinya.
Darren menoleh. "Iya, kayak aku."
"Dih, gak ya. Gak ada lucunya sama sekali." Kilah Aira menggeleng cepat.
"Loh, gak dengar kamu apa kata Mama? Aku waktu bayi kayak Ian malah mirip lagi."
"Tapi menurut aku, Bian lebih lucu. Ihh gemes aku."
Darren mendengus. "Ihh gimis iki" cibir laki-laki itu kesal. Bolehkah ia bilang kalau Ian saingan?
Aira terkekeh, menunduk kecil untuk berbisik di telinga mungil Bian.
"Papa kamu ngambek, sayang."
Darren menghela napas, tangan kirinya yang tidak memegang setir mobil meraih tangan kanan Aira menuju bibirnya lalu mengecupnya lembut kemudian di tempelkan di rahang-nya.
"Mana ada ngambek."
"Oh ya? Terus kenapa cemberut?"
"Boleh gak sih, Ai, kalau aku bilang Ian itu saingan aku?"
Aira mengernyit bingung. "Saingan gimana? Ada-ada aja kamu masa anak di bilang saingan."
Darren menggigit pipi bagian dalam, gemas dengan jawaban Aira.
"Aku juga gak tau. Ian kayak,-"
Oeekkk. Oeekk
Tiba-tiba Bian menangis sambil mendusel hidungnya di dada sang Mama. Aira yang tau anaknya haus menarik tangannya dari genggaman tangan Darren untuk mengangkat kaos biru langit longgar miliknya ke atas menampakkan buah dadanya yang besar dan padat di balik bra merah yang ia pakai. Wanita itu mengeluarkan dada kirinya dan mengarahkan puting-nya di bibir mungil Bian yang langsung menghisap sumber kehidupannya.
Lampu merah membuat laki-laki tampan itu menghentikan mobilnya di depan sebuah truk yang mengangkut kayu bakar. Darren menyerongkan tubuhnya menghadap Aira yang tengah mengusap pipi gembul bayi mereka.
"Ini yang aku maksud. Kayak orang bilang kalau ada anak pasti suami dilupakan atau nggak dia bisa ganggu waktu kita berdua." Keluh Darren mengerucutkan bibir merahnya.
Aira menggeleng geli. Belum apa-apa, Papa muda ini bahkan mereka belum tiba di rumah sudah mengeluh seperti ini. Bagaimana ke depannya nanti?
"Iya enggak lah, aku gak mungkin lupain kamu. Kalian berdua itu prioritas aku, gak mungkin aku abaikan kamu gara-gara Bian gak mungkin juga aku abaikan Bian karena kamu. Ih, kamu mah udah punya anak juga jangan kayak anak kecil yang butuh perhatian. Gak malu apa sama Bian?" Tanya Aira menepuk kecil puncak kepala Darren.
Darren hanya diam dan kembali menjalankan mobilnya ketika lampu berubah hijau. Tiba di rumah orangtua Darren, mereka turun dari mobil dan masuk ke rumah yang pintunya dibuka oleh Mpok Siti yang wajahnya tampak tidak bersahabat melihat Aira tapi merubah raut wajahnya jadi ramah saat menatap Darren. Darren memutuskan untuk sementara waktu mereka tinggal di rumah Alvian, katanya biar ada yang menjaga Aira dan bayinya di saat ia sekolah nanti juga kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darren : My Husband [ END ]
Ficção Adolescente*FIKSI REMAJA* [ 𝕊𝔼𝔹𝔼𝕃𝕌𝕄 𝔹𝔸ℂ𝔸 𝔽𝕆𝕃𝕃𝕆𝕎 𝔸𝕌𝕋ℍ𝕆ℝ ] Baca sebelum di hapus Warning [ 🔞 ] mengandung kata-kata kasar, kekerasan, kata kotor, vulgar harap bijak dalam membaca. Konflik dalam cerita ini berat, jika tidak suka jangan baca d...